Menelisik Lebih Jauh Makna HAM dalam Islam

HAK ASASI MANUSIA (HAM), sebagai hukum Internasional, menawarkan misi pembebasan manusia dari segala bentuk tindakan dan praktik budaya yang dianggap tidak memanusiakan manusia (dehumanisasi).

Dengan kata lain, HAM hadir untuk mengangkat harkat dan martabat manusia (human dignity) dari segala bentuk diskriminasi, marginalisasi, dan suboordinasi terhadap manusia dengan alasan apa pun, baik itu alasan dogma agama ataupun praktik budaya.

Namun, salah satu isu dan poin yang paling sering menjadi perdebatan sejak awal dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights (UDHR) adalah Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) atau Freedom of Religion or Belief (FORB).

Hal penting yang menjadi pertanyaan bagi para pemuka agama adalah sejauh mana kebebasan beragama dan berkeyakinan itu dapat diekspresikan oleh setiap orang, terutama di ruang-ruang publik yang tentunya akan berbenturan secara langsung dengan hak dan kebebasan individu atau kelompok lain.

Banyak pemuka agama yang mengkhawatirkan bahwa HAM, dengan konsep kebebasannya, akan membuat seseorang menjadi mudah untuk melakukan perpindahan ataupun  keluar-masuk agama (Conversion of religion), menyebarkan ajaran “sesat”, dan mengganggu harmonisasi sosial atas nama “kebebasan”.

Baca juga: Bahaya Mayoritanisme

Oleh karena itu, isu kebebasan untuk melakukan konversi agama ini adalah isu yang paling sering mendapat penolakan oleh sebagian kelompok Islam terhadap kehadiran HAM, selain isu gender dan kelompok minoritas.

Beberapa kalangan muslim berpandangan bahwa HAM tidak relevan dan mengancam eksistensi Islam karena memberi ruang bagi setiap individu untuk memilih mengadopsi, berkeyakinan, dan (atau) tidak beragama sekalipun tanpa risiko dan konsekuensi.

Namun, dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR), aspek dan “batas” kebebasan beragama dan berkeyakinan ini telah dipertimbangkan dengan menerapkan dua prinsip utama dalam kaitannya dengan kebebasan, yaitu kebebasan internal (forum internum) yaitu kebebasan sebagai individu yang merdeka atas dirinya sendiri, dan kebebasan eksternal (forum externum) yaitu individu sebagai anggota masyarakat.

Kebebasan internal mencakup kebebasan yang dimiliki oleh individu untuk memilih mengadopsi, atau berganti agama. Kebebasan internal ini tidak bisa diganggu gugat (inviolable) atau bersifat final sebagai pilihan individu yang memiliki hak prerogatif atas dirinya sendiri atau  sebagai individu yang merdeka untuk memilih tanpa adanya paksaan dari siapa pun.

Baca Juga  Masjid yang Bermasalah atau Orang yang ke Masjid yang Bermasalah

Sedangkan kebebasan eksternal adalah kebebasan yang dimiliki oleh individu atau kelompok dalam memanifestasikan atau mengekspresikan agama, baik dalam praktik maupun upaya penyebarluasan ajaran agama di ruang publik.

Kebebasan eksternal ini bersangkut paut secara langsung dengan hak asasi individu atau kelompok lain, dan karena itu kebebasan eksternal ini perlu untuk dibatasi demi harmonisasi sosial.

Oleh karena itu, dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan, HAM pada dasarnya bertujuan untuk melindungi orang yang beragama, bukan melindungi agama (believers rather than belief).

Pandangan ini merujuk pada nilai paling fundamental dari HAM itu sendiri, yakni penghormatan pada martabat dan kemuliaan manusia (human dignity).

Sehingga, segala bentuk praktik yang melanggar prinsip human dignity harus dicegah, sekalipun ia dijustifikasi dengan argumen keagamaan. 

HAM dalam Islam

Topik ini tentu saja tidak untuk mempertanyakan apakah Islam kompatibel dengan HAM atau tidak,  tetapi jauh dari itu, topik ini mencoba menggali nilai-nilai universal dalam Islam yang telah jauh mengatur relasi manusia, terutama relasi antar kelompok keagamaan yang jika ditelisik lebih dalam, konsep kebebasan dan penghormatan terhadap martabat manusia itu telah ada dan terkandung dalam ajaran Islam.

Islam telah jauh mengenal istilah karomah al insan, yaitu konsep yang telah lama mengadopsi hak dan kebebasan manusia sebagai individu yang merdeka, juga sebuah konsep yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

Karomah al insan didefinisikan sebagai hak setiap individu untuk dihargai tanpa syarat (unconditionally respected), yaitu menghormati kemuliaan (dignity), kebebasan (freedom), dan kesetaraan (equality) manusia tanpa melihat status, gender, agama, suku, dan budaya mereka.

Landasan argumen yang sering dikutip untuk menegaskan pengakuan Islam terhadap martabat manusia sebagai karunia Tuhan ialah QS 17:70: “Sungguh telah Kami muliakan anak-cucu Adam” (Walaqad karramna bani Adam).

Baca juga: Oksigen Baru untuk Pancasila

Baca Juga  Pemikiran TGH. Munajib Khalid tentang Literasi dan Pendidikan Pondok Pesantren

Oleh karena itu, kendati HAM merupakan produk modernitas, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bukanlah sesuatu hal yang baru. Nilai-nilai itu telah ada dan terkandung dalam ajaran hampir di semua agama dan budaya dalam peradaban manusia.

Ha ini tidak terkecuali dalam Islam, yang memang dikenal sebagai al-Islam huwa ad-adin baina al-Ilahiyah wa al-Insaniyyah. Yaitu agama kemanusiaan, sekaligus juga merupakan agama ketuhanan.  Di antara buku yang mengulas hal ini: Mohammad Hashim Kamali, The Dignity of Man: An Islamic Perspective (2001)

Disebut sebagai agama insaniyah atau kemanusiaan, karena ia sepenuhnya hadir untuk menebarkan “kerahmatan” kepada seluruh semesta-ciptaan Allah tanpa terkecuali, baik yang beriman maupun yang tidak beriman karena Islam hadir dengan spirit dan tujuan yang sepenuhnya untuk menjamin kemaslahatan umat manusia di dunia maupun di akhirat kelak.

Oleh karena itu, kita tentu  sepakat bahwa Islam menjunjung tinggi kebijaksanaan, keadilan, kerahmatan, dan kemaslahatan dalam menjamin dan melindungi kebutuhan manusia, termasuk hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Inilah esensi HAM dalam Islam. HAM harus bermula dengan penghormatan terhadap kemuliaan manusia, yang mana darinya lahir nilai kesetaraan dan kebebasan. Kesetaraan di sini bermakna bahwa tidak ada satu pun individu atau kelompok yang secara inheren lebih mulia dan lebih baik daripada kelompok lain.

Semuanya manusia sama dan setara, sedangkan kebebasan bermakna bahwa tidak boleh ada satu pun individu atau kelompok yang memiliki hak untuk memaksakan kehendaknya terhadap kelompok lain.

Karena sejatinya, harmonisasi kehidupan beragama yang berlandaskan pemaksaan dan intimidasi merupakan harmoni yang semu dan palsu.

Harmoni yang sebenarnya adalah harmoni yang harus dibangun dengan kesadaran penuh bahwa setiap individu sadar dan tanpa paksaan memilih dan mengamalkan agama dan keyakinannya masing-masing.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *