AWAS buaya! Itulah yang dikatakan Clifford Geertz untuk mengungkap hal-hal masa lalu yang belum selesai di Indonesia. Hal-hal yang masih menyimpan tanda tanya atau sengaja tidak diungkap untuk menjaga nama baik satu keluarga atau rezim. Sampai kapan? Tidak ada yang tahu, mungkin Geertz juga tidak tahu sampai kapan isu yang sama akan diulang, dinarasikan, atau dituduhkan pada golongan tertentu.
Geertz seakan mengingatkan kita dengan analogi buaya itu. Hal-hal yang tidak diselesaikan di masa silam bisa menjadi redup (diam) seperti buaya yang sedang beristirahat. Atau bisa jadi kebalikannya, bisa menjadi buaya yang buas untuk menakuti dan memukul kelompok tertentu, pada saat waktu dan momen tertentu. Tidak terkecuali pada saat pemilu. Semua bisa dilakukan. Seolah wajar, padahal itu “hil yang mustahal”.
Baca juga: Gerwani, Seksualitas, dan Penundukan Perempuan
Isu PKI di Indonesia setiap tahun menjadi momok bagi negeri ini. Energi bangsa terkuras untuk membahasnya. Itulah kerja buaya, yang disentil sedikit saja bisa bangun dari tidur panjangnya. Kemudian, yang repot ialah pawangnya, bertugas menenangkan si buaya. Dalam konteks PKI-PKI-an ini, tentu saja pawangnya adalah sejarawan. Sejarawan mendadak ribut selama sehari di TV-TV untuk menenangkan buaya yang sedang ngamuk ini.
Jika merujuk pada perdebatan-perdebatan terdahulu, masalah PKI ini ialah tidak adanya titik temu antara pihak yang menyerang PKI dan para keturunan PKI hari-hari ini. Seolah keturunan PKI harus bertanggungjawab dan memikul beban sejarah “hitam” itu.
Jelas, keturunan PKI tidak mau disalahkan atas berbagai peristiwa menelan korban yang “dicap” dilakukan oleh PKI. Sebaliknya, kelompok yang menyerang PKI mendesak bahwa PKI-lah yang salah dan harus bertanggungjawab dengan alasan apa pun.
Belum lagi jika masalah PKI ini ditujukkan kepada dua keluarga besar yang pernah menjadi penguasa di negeri ini. Tambah runyam lagi. Padahal jika kita menyitir kembali Clifford Geertz, ia berpendapat bahwa yang dilakukan oleh Soeharto di masa kepemimpinannya ialah kesinambungan apa yang diinginkan oleh Soekarno. Walaupun ia mengakui memang ada perbedaan sedikit antara dua rezim itu, tapi persamaaan dan kesinambungan lebih banyak terlihat.
Terlepas dari ambivalensi dua sikap di atas, kubangan air yang ditempati buaya sudah dikeruhkan oleh kognisi publik yang membenci dan mengganggap PKI sebagai musuh dan harus dibasmi. Segala bentuk keburukan dan demoralisasi yang terjadi sampai hari ini selalu kaitkan dengan PKI. Seperti iklan jamu, kognisi kebencian itu diwariskan dari generasi ke generasi.
Catatan-catatan “hitam” PKI memang menghiasi cerita bangsa ini, dari Peristiwa Kanigoro, Tragedi Sumatera Timur, hingga G30S itu. Semua peristiwa itu dialamatkan ke bendera palu arit. Sialnya, yang menjadi korban dari peristiwa itu kebanyakan ialah orang “Islam”, masih dalam tanda kutip, karena sebenarnya tokoh-tokoh PKI juga ialah orang Islam yang taat juga beragama.
Baca juga: Islam, Ideologi dan Tafsir Kesetaraan Pancasila
Setelah tidak mendapat tempat di era Orde Baru, hari-hari ini, PKI seakan mendapat “keistimewaan” pada rezim Jokowi. Para oposan Jokowi menuduh bahwa Jokowi ialah PKI bahkan keturunan PKI. Wajar-wajar saja memang, di tengah pansanya udara politik. Tetapi, yang perlu diingat bahwa, keberpihakan Jokowi kepada PKI atau keturunan PKI ialah bagian dari konsekuensi demokratisasi yang terjadi Indonesia.
Demokratisasi yang terjadi menghendaki semua warga negara setara dalam mendapat jaminan dan kelayakan hidup, dan rasa tenang. Tidak diancam oleh stigma negatif dan cap-cap sinis sebagai keturunan PKI. Siapa pun berhak mendapat “ampunan” dan publik harus berbesar hati menerima. Sebab, jalan panjang pendewasaan demokrasi bangsa ini sedang terjadi.
Lebih dari itu, pembukaan akses keturunan PKI menjadi anggota TNI, atau menjadi anggota DPR merupakan hal lain yang patut disyukuri, bahwa kita bisa percaya bahwa kesempatan akses untuk semua golongan dan tanpa embel-embel “dosa sejarah” yang ada di belakang nama mereka sudah tidak menjadi persoalan lagi.
Oleh karena itu, akses demokratisasi yang semakin terbuka, harus diikuti dengan edukasi dan penerimaan publik bahwa semua orang berhak. Tugas sejarawan sebagai pawang dan pencerah yang harus menjadi edukator untuk membuka pikiran dan mendewasakan publik. Memaafkan jika ada yang salah, saling menerima dan menyadari kesalahan masing-masing atau saling berendah hati menerima fakta kebenaran masing-masing.
Baca juga: Islam Wasathiyah: Jalan Tengah di Negeri Multikultural
Dampaknya, stigma negatif dan cap-cap sinis lainnya bisa diminimalisir agar keakraban warga negara bisa dinikmati bersama. Selain tugas sejarawan, guru-guru sebagai garda depan juga harus mulai mengoreksi kata-kata kasar yang dialamatkan kepada PKI untuk menegur siswanya yang nakal. Guru-guru harus lebih selektif menggunakan diksi dalam menegur siswa-siswanya. Sebab, produksi kognisi kebencian antar warga negara salah satu jalurnya lewat guru-guru jumud itu.
Selain itu, peringatan G30S tahun ini sedikit “meriah” dengan adanya “buaya baru”. Bukan lagi buaya seperti yang dimaksud Clifford Geertz, tapi buaya liar yang mengamuk sampai melakukan KDRT. Duh, padahal dulu sempat menjadi pasangan impian milenial.
Seperti Geertz, hantu PKI, Kanigoro, Mei 98, dan yang lainnya, saya memprediksi bahwa buaya-buaya baru memang akan muncul dan beranak pinak. Mungkin juga menjelang pemilu 2024.
Kita tunggu saja, siapa yang menjadi buaya dan siapa yang bertindak menjadi pawang. Yang lain siap-siap menjadi penonton yang bersorak untuk memanaskan suasana.[]
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe