KEMAJUAN yang terjadi di era teknologi atau era digital tidak saja mempermudah dalam menyelesaikan pekerjaan, tetapi juga mempermudah dalam melakukan aktivitas sosial, keagamaan, dan aktivitas lainnya. Jika dulu sebelum era digital kita melakukan seluruh aktivitas kehidupan serba manual, kini aktivitas apapun dapat dilakukan dengan cepat secara mekanis.
Ruang-ruang untuk beraktivitas tersedia secara terbuka dan luas, terutama di dunia maya, ruang aktivitas itu jauh lebih luas dan lebih ramah dibanding di dunia nyata. Mau melakukan apa saja, mau melihat apa saja, mau membaca apa saja, mau mengirim apa saja, dan mau menonton apa saja diberikan akses bagi siapa saja.
Keterbukaan ruang tersebut menuntut kemampuan kita untuk beradaptasi dan mengadopsi secara sehat dan cerdas. Kemampuan beradaptasi dan mengadopsi di dunia maya akan menjadi ukuran dari kualitas diri kita.
Menyikapi keterbukaan ruang di dunia maya, penting bagi kita untuk memiliki rujukan dan pegangan sebagai prinsip, jangan sampai kita larut dan hanyut dalam keterbukaan itu tanpa prinsip yang tegas. Kata orang bijak, hanya ikan mati yang hanyut dalam derasnya air sungai.
Baca juga: Respons Positif terhadap Ajakan Kebaikan
Dalam kolom hikmah ini, ingin mendialogkan bahwa ruang aktivitas baik yang bernuansa kebaikan maupun keburukan bertambah luas setelah adanya ruang virtual, tinggal kita menyikapinya secara arif dan logis.
Dalam konsep agama, kita diberi kebebasan untuk berpihak pada dua pilihan, yakni berbuat kebaikan atau berbuat keburukan. Dan masing-masing pilihan itu telah ditegaskan konsekuensinya. Dan konsekuensi itu hanya dapat dimengerti dan dipahami secara logis oleh siapa saja yang memiliki prinsip yang kuat dalam menjalani rute kehidupan. Tentunya prinsip yang lahir dari kesadaran imani, bahwa kebaikan itu pasti mengarah kepada kebenaran sejati yang membahagiakan, sebaliknya keburukan pasti mengarah kepada kejelekan dan malapetaka.
Di era kemajuan teknologi, lingkup kehidupan itu terasa semakin luas dengan terbukanya ruang virtual yang menyajikan ruang kebebasan untuk berkreasi dan ruang kreativitas seluas-luasnya. Kondisi itu menuntut adanya prinsip yang tegas dan kuat dalam diri, dan menjadi keniscayaan bagi generasi yang hidup di era teknologi sekarang ini, terutama dalam menikmati ruang virtual yang bebas yang tak bertepi itu.
Yang jelas jalan untuk menempuh kebaikan tersedia sangat luas, demikian juga jalan untuk menempuh keburukan terbuka sama lebarnya dengan jalan kebaikan, bahkan jalan dari kedua pilihan hidup itu tanpa batas waktu—kapan saja bisa dinikmati, tanpa batas ruang—di mana saja dapat kita akses, dan tanpa dibatasi gender dan usia—siapa saja dan berusia berapa saja akan dapat menikmatinya.
Bagi kita yang berorientasi kebaikan, tentunya era virtual merupakan pesantren paling modern untuk kita gunakan menimba pengetahuan dan kebenaran, maka hendaknya kita harus tetap pada rute kebaikan dalam menelusuri setiap kalimat yang tersaji dalam berita, dalam kisah, dalam kajian-kajian hikmah.
Tetaplah konsisten pada pandangan yang sehat dengan tontonan-tontonan yang wajar dan pantas. Tetaplah istikamah pada menyimak orasi-orasi yang mengarah kepada kebenaran. Dan kita harus tetap ingat bahwa dalam ruang kebenaran pasti ada tantangan dan godaan.
Tentunya di sekitaran bacaan, sima’an, dan tontonan di ruang virtual itu akan muncul godaan-godaan yang ingin memindahkan rute kita kepada hal yang tidak pantas dan tidak senonoh. Di situlah dibutuhkan kekuatan hati dalam mempertahankan komitmen kebenaran.
Begitu juga dengan jalan menempuh keburukan, terasa semakin lebar dengan hadirnya ruang virtual. Persis sama dengan ruang kebaikan, ruang keburukan itu pun terbuka bagi siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Juga ruang itu tersaji sangat luas seluas hasrat manusia dan hampir tak bertepi.
Bagi kita yang berorientasi keburukan, tentunya di era virtual itu seakan-akan menjadi meja hidangan yang menggiurkan. Semua sajian berita tentang kejahatan dapat kita baca dan nikmati, tontonan yang tak pantas dapat memanjakan mata, retorika yang berbau gibah dan fitnah menjadi alunan yang meninabobokkan akal sehat.
Bagi yang tidak memiliki prinsip hidup yang berstandar imani, maka ia akan dibuai dan terbuai dengan ruang keburukan yang begitu menggoda.
Baca juga: Belajar Memahami Kehidupan
Maka penting bagi kita untuk merefleksi kembali logika akal sehat dalam menempatkan diri, apakah kita memilih jalan tempuh untuk rute kebenaran atau memilih haluan tempuh untuk rute keburukan. Sesimpel itu prinsip yang ditawarkan oleh syariat agama.
Untuk menguatkan hati dan pendirian kita dalam memilih dua poros nilai (kebaikan atau keburukan) baik dalam dunia nyata maupun virtual, penting kita ingat bahwa kiprah kita di bumi ini apa pun bentuknya, di mana pun kita tunaikan, kapan pun dilakukan, dan dalam keadaan bagaimanapun, tetap akan tercatat, terpantau, terekam, dan tersimpan dengan aman. Dan pada waktunya akan dihadirkan di hadapan kita nanti sebagai kaleidoskop perjalanan hidup kita.
Dalam ranah apa pun kita beraktivitas, prinsip memilih antara kebaikan dan keburukan tetap menjadi sajian yang penting kita renungkan. Jangan sampai kita salah memilih haluan, karena rute manapun kita pilih akan berkonsekuensi terhadap diri kita sendiri, baik di bumi maupun di langit. “wa mā yażżakkaru illā ulul-albāb”. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (QS. Al-Baqarah ayat 269).[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram