Agama-Agama Pra-Islam dalam Berbagai Sorotan (2)

MENURUT Sya’ban Muhammad Ismail, bahwa agama Islam tidak berdiri sendiri, tetapi satu kesatuan sebagai episode lanjutan dari perjalanan sejarah agama-agama sebelumnya. Dalam hadis, Nabi menyebutkan labinah, merupakan gambaran posisi risalah Nabi sebagai penyempurna, bukan pemutus, penghancur mata rantai paralelitas agama-agama sebelumnya.

Ismail juga menuturkan, bahwa hal ini merupakan strategi Allah dalam mendesain kesinambungan bangunan agama-agama sebagai kreasi Ilahiyyah dalam upaya mengedukasi umat beragama, yaitu memberlakukan syariah secara bertahap (tadrij), tidak sekaligus.

Ajaran Yahudi lebih banyak pada sisi sosial, berbuat baik pada orang tua. Ajaran Injil mengarah pada kesalehan sosial, kidung-kidung, nyanyian, dan berbuat baik kepada orang tua. Nabi Muhamamd saw datang menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya dengan ajaran yang lebih komprehensif.

Dengan cara pemahaman seperti itu, menurut Sa’adullah, tidak akan terjadi lompatan dan kesenjangan bagi pemeluk agama dalam mengapresiasi ajaran-ajaran tersebut.

Alasan penolakan naskh

Penolakan atas naskh intra Qur’anik dikarenakan ayat-ayat al-Qur’an seluruhnya merupakan wahyu pilihan yang tetap operatif, kalaupun ada pertentangan harus dipahami secara proporsional berdasarkan kondisi sosio-historis, tidak saling menghapus antar ayat.

Baca juga: Agama-Agama Pra-Islam dalam Berbagai Sorotan (1)

Penolakan naskh ekstra Qur’anik karena pengabrogasian agama-agama pra-Islam bertentangan dengan realitas kontinuitas wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad saw sebagai kelanjutan dari ajaran nabi-nabi sebelumnya.

Al-Qur’an diturunkan justru untuk membenarkan, melanjutkan, dan menjaga paralelitas kitab-kitab suci sebelumnya, bukan untuk menganulirnya. Dari sekian ribu ayat dalam al-Qur’an dapat dipastikan tidak ada satu ayat pun yang menyatakan abrogasi atau penghapusan agama.

Alasan QS. al-Baqarah: 62 tidak dapat di-naskh oleh QS. Ali Imran: 85 karena masih ada 2 ayat lagi yang kandungannya hampir sama yaitu, QS. al-Maidah: 69

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالصَّابِـُٔوْنَ وَالنَّصٰرٰى مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, shabiin dan orang-orang Nasrani, barangsiapa beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati.

Dan QS. al-Hajj: 17

Baca Juga  Mengapa dan Bagaimana Islamisme Muncul: Bedah Buku The Failure of Political Islam Karya Olivier Roy (Bagian 2)

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالصَّابِـِٕيْنَ وَالنَّصٰرٰى وَالْمَجُوْسَ وَالَّذِيْنَ اَشْرَكُوْٓا ۖاِنَّ اللّٰهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْد

Sesungguhnya orang-orang beriman, orang Yahudi, orang Sabiin, orang Nasrani, orang Majusi dan orang musyrik, Allah pasti memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sungguh, Allah menjadi saksi atas segala sesuatu.

Di samping itu, menurut kelompok kontra naskh bahwa naskh itu hanya berlaku pada ayat-ayat hukum, tidak berlaku pada ayat-ayat yang lain. QS. al-Baqarah: 62 ini adalah ayat berita ikhbariyyah bukan ayat hukum. Jika ayat berita dihapus, maka pembawa berita dianggap bohong. Sementara sumber berita dalam al-Qur’an adalah Allah Swt sendiri.

Urusan masuk surga atau neraka, bukan berkaitan dengan agama, tapi berhubungan dengan amal perbuatan (QS. an-Nisa’: 123-124.

لَيْسَ بِاَمَانِيِّكُمْ وَلَآ اَمَانِيِّ اَهْلِ الْكِتٰبِ ۗ مَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا يُّجْزَ بِهٖۙ وَلَا يَجِدْ لَهٗ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلِيًّا وَّلَا نَصِيْرًا وَمَنْ يَّعْمَلْ مِنَ الصّٰلِحٰتِ مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُوْنَ نَقِيْرًا

Pahala dari Allah) itu bukanlah angan-anganmu dan bukan (pula) angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalas sesuai dengan kejahatan itu, dan dia tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah. Dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikitpun.

Alasan lain, riwayat terkait naskh itu dianggap lemah karena hadis-hadis yang mempublikasikan naskh dikategorikan sebagai tidak mutawatir.

Baca juga: Menilik Kembali Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia

Kesimpulan buku ini menolak naskh intra Qur’anik dan naskh ekstra Qur’anik.  QS. al-Baqarah: 62 tidak dapat di-nasakh oleh QS. Ali Imran: 85. Bahwa agama Sabiah, Yahudi, dan Nasrani tetap diakui eksistensinya karena tidak bisa diamandemen oleh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Tanggapan dan Catatan Kritis

Menanggapi apa yang dipaparkan oleh penulis buku tersebut, dua pembahas buku memberikan catatan kritisnya. Pertama, Dr KH Abdul Ghofur Maimoen, MA. putra dari KH. Maimun Zubair.

Pria yang akrab disapa Gus Ghofur ini berpendapat bahwa orang Islam – lebih-lebih ulamanya – hampir tidak ada yang menyatakan agama Islam menganulir atau me-naskh agama-agama sebelumnya.

Abu Muslim al-Asfahani, ulama kesohor yang banyak dinukil oleh Imam Fakhruddin al-Raji, tidak mengingkari adanya teori naskh, tapi menentang adanya ayat al-Qur’an yang di-naskh atau dianulir, sebagai contoh dalam QS. Al-Mujadalah: 12, “Wahai orang-orang yang beriman kalau kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kamu bersedekah (kepada orang-orang miskin)”.

Praktek bersedakah seperti ini tidak lagi dilakukan bahkan sudah ditiadakan dengan diturunkannya QS. Al-Mujadalah: 13 yang membolehkan menghadap Nabi tanpa bersedekah terlebih dahulu.

Baca Juga  Mengaji dan Mengkaji Tasawuf Lintas Disiplin

Lebih lanjut, Gus Ghofur berpesan kepada penulis buku, jika mengutip sesuatu harus mengutip yang benar. Bahwa naskh itu harus ada gantinya, tapi yang dicontohkan dalam buku tidak memperlihatkan adanya yang mengganti.

Jika demikian, maka akan merusak teori naskh Imam Syafi’i. Murid-murid Imam Syafi’i banyak memaknai arti ganti itu dengan mengganti hukum, misalnya dari wajib menjadi mubah, dari wajib menjadi tidak wajib, dan seterusnya.

Sebagaimana ayat tentang khamar yang turun beberapa kali, di mana hukum awalnya mubah, kemudian menjadi haram. Ini dilakukan secara bertahap, gradual. Apakah ayat-ayat awal itu di-naskh? Menurutnya, ayat-ayat tersebut tidak di-naskh karena masih memiliki faedah yang lain.

Berdasarkan ayat tentang khamr tersebut, dapat dimaklumi bahwa penetapan suatu hukum itu dilakukan secara gradual. Hal inilah menurutnya yang menjadi perdebatan di kalangan ulama.

Menurut Muhammad Abduh dan ulama lainnya, bahwa naskh itu tidak ada dalam al-Qur’an, karena ayat-ayat yang datang kemudian itu memiliki fungsi operatif sebagaimana yang dijelaskan oleh penulis buku.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *