George Orwell, seorang penulis Inggris dalam tulisannya Marrakech tahun 1939 menyitir dengan sedikit nada sinis orang-orang Maroko. “…Apa arti Maroko bagi seorang Prancis? Kebun jeruk atau pekerjaan di pemerintahan. Apa arti Maroko bagi seorang Inggris? Unta, benteng, pohon kelapa, Legiun Asing Prancis, nampan kuningan, dan penyamun…Dan bagi sembilan dari sepuluh penduduk, kenyataan hidup adalah berjuang membanting tulang untuk mendapat sedikit makanan dari tanah yang tandus…”
Maroko hari ini adalah Maroko “yang sedang menjadi” (becoming). Setidak-tidaknya selama gelaran Piala Dunia 2022. Maroko sedang dilihat dunia, Maroko sedang dibicarakan dunia, mata kamera sedang diarahkan ke negeri magribi itu. Di sisi lain, dunia mengernyitkan dahi sambil bertanya-tanya: sedang dan apalagi yang akan dilakukan negeri itu?
Baca juga: Perempuan Penerang Islam dari Maroko
Maroko telah berlari jauh, Si Singa Atlas itu menggiring bola mainannya sampai ke semifinal pesta sepak bola dunia. Kiprahnya di ajang itu, mungkin membuat speechless George Orwell, dan mungin kalau ia masih hidup akan merevisi tulisannya menjadi: Maroko memang penyamun, tapi penyamun yang merampas hegemoni sepak bola Selecao das Quinas-nya Portugal dan penyamun yang membuat El Matador bertekuk lutut di depan banteng dan singa, atau penyamun yang berani berdiri sama tinggi dengan dagu terangkat dan seolah-olah menjadi egalit dengan Prancis – negeri yang menjajahnya – dulu sampai babak belur.
Begitulah cara kerja kebudayaan lewat sepak bola. Sepak bola ialah heterotopias (wilayah lain) – meminjam istilah Foucault – sebagaimana dikutip Wahid dan Wardatun (2022). Dalam heterotopias itu diniscayakan ada keahlian tertentu (linuwih), jelas dalam jagat hidup Maroko hari ini diartikan dalam bahasa sepak bola.
Sepak bola akhirnya menjadi modus perlawanan (alternatif) bagi Maroko terhadap dominasi dunia dan Asia-Afrika, setidaknya pesan tersembunyi untuk sepak bola Eropa, Prancis dan Inggris atau Asia-Afrika yang hanya melulu soal Jepang, Korea Selatan, Kamerun, Senegal, dan Ghana.
Quasi hegemoni ala sepak bola Maroko ini diam-diam mengangkat derajat mereka dari pariah politik dan hegemoni budaya negeri-negeri yang kompleks di pesisir Selat Gibraltar.
Jauh dari itu, kerja quasi hegemoni ala sepak bola Maroko ini bekerja lebih keras mempengaruhi jagat hidup negeri-negeri Asia dan Afrika apalagi lewat simbol-simbol Islam yang ditunjukkan oleh pemain-pemain mereka di lapangan hijau. Sujud syukur, sayang ibu, doa ibu, fatihah-nya, doa-doa dengan berbagai praktiknya merasuk dalam jagat negeri-negeri yang merasa diri pernah dijajah atau memang dijajah oleh bangsa kulit putih.
Ramai-ramai rakyat di negeri itu mendukung Maroko sebagai negara “yang senasib-sependeritaan” dengan “kami”. Walau sebelumnya kita tidak mendukung bahkan tidak pernah terlintas dalam pikiran kita, Maroko akan jauh berlari dengan segala keterbatasan seperti yang digambarkan oleh George Orwell di atas.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana gelindingan bola Maroko bisa sejauh itu? Di sinilah peran agen dan otoritas negeri itu bekerja. Achraf Hakimi yang lulusan La Fabrica-nya Real Madrid, Hakim Ziyech dari akademi SC Heerenveen, Belanda atau Romain Saiss yang tumbuh dalam karakter sepak bola Prancis.
Semua itu tidak ada soal, kedigdayaan sepak bola Maroko tidak bisa dilepaskan dari “modernisasi” Eropa. Kasus tersebut, sama halnya dengan modernisasi Indonesia, sebagaimana pengaruh, konstribusi, diisi, dan saling mengisinya kebudayaan membuat Indonesia kosmopolit dan berwarna. Begitu juga sepak bola Maroko. Seperti kata kaum cerdik-cedekia: Kita bisa belajar di mana saja, tentang apa saja, dengan cara apa saja, kemudian pulang ke negerinya dan bangun negeri asalnya. La syarqiyyah wa la gharbiyyah.
Baca juga: Menjaga Eksistensi Islam
Hal itulah yang benar-benar dipraktikkan oleh Maroko lewat sepak bolanya. Orang boleh saja menganggap Timnas Maroko sebagai timnas diaspora. Toh, Timnas sepak bola mana di dunia ini yang hari ini tidak menerapkan naturalisasi pemain bola. Sebagai contoh, Spanyol dengan Diego Costa-nya, Portugal dengan Deco-nya., atau Indonesia dengan Gonzales, Irfan Bachdim, dan Maitimo-nya.
Dus, kerja-kerja sepak bola bukanlah kerja kebudayaan biasa. Jelas, telah terjadi “apa-apa” dalam dunia sepak bola. Gelindingannya, benturan, dan bentuknya seperti apa ke depan akan tetap ditunggu dalam perkembangan wacana olahraga ini. Begitu juga dengan sepak bola Maroko, dunia Asia dan Afrika menunggu kabar baik dari sebelum terbenamnya matahari di negeri itu. Selain, kabar baik untuk sepak bola Arab Saudi, Jepang, Kamerun, Mesir, Senegal, dan Ghana.
Mungkin saja, Raja Muhammad VI bersiar ke dunia, “hey dunia, Maroko sekarang bukan lagi hanya soal Islam ala mazhab Maliki, Ibnu Batutah yang keliling dunia, atau soal episteme bayani, burhani, irfani–nya Al Jabiri yang mewakili dunia Islam. Tapi sekarang kami punya sepak bola yang bagus yang akan mewarnai dunia, warna bendera kami juga akan ada di bola yang kalian tendang”.
Quasi hegemoni itu nyata adanya, suara-suara untuk melawan dominasi budaya sepak bola Eropa itu terlihat di depan mata. Dan kita di sini, di Indonesia masih menunggu kabar baik dari Hakimi, Ziyech, dan segerombolan Singa Atlas bahwa bola umpan lambung mereka sampai ke Indonesia dan ditangkap oleh Iwan Bule yang mau nyalon Gubernur Jawa Barat, hahaha.
Dan itu sampai kapan, ya?[]
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe
Sehat dan produktif selalu Bang Anas. Dohoe mencerahkan sekali.