Jam Malam, Ria Ricis, dan Sekolah yang Kesepian

SEJAK 13 Januari 2023, Bupati Dompu H Kader Jaelani secara resmi mengeluarkan Surat Edaran Nomor  300/09/DPPPA/SE 2023 tentang Pemberlakuan Jam Malam Bagi Anak di Kabupaten Dompu. Mereka dilarang berkumpul dan melakukan aktivitas di luar rumah pukul 22.00 hingga 04.00 Wita.

Kebijakan pemberlakuan jam malam diambil menyusul tingginya tingkat kriminalitas sosial oleh remaja/anak sekolah baik sebagai pelaku maupun korban seperti kejahatan jalanan, kenakalan  remaja, pemanahan liar, narkoba, pergaulan bebas, seks bebas, pelecehan seksual, pemerkosaan, penganiayaan dan lainnya.

Saat kami tim STKIP Yapis Dompu dan STIE Yapis bersilaturahmi dengan Kapolres Dompu, Iwan Hidayat SIK di kantornya, Rabu (11/1/2023) Kapolres menyatakan bahwa tiap 3 jam terjadi kasus penganiayaan di Dompu. Mengerikan bukan? Pemberlakuan jam malam diharapkan dapat mengurangi terjadinya kriminalitas tersebut.

Baca juga: Wacana Lain Pendidikan Karakter di Indonesia

Meski bukan remaja, tetapi Minggu malam, saat berangkat dengan istri untuk  menonton pementasan drama mahasiswa di kampus,  saya tetap membekali diri dengan alat pengenal seperti surat undangan, jaket kampus, dan kartu identitas saya sebagai Humas STKIP Yapis. ‌

Kami pulang  jelang pukul 23.00 Wita. Saat melewati kantor bupati suasana di sepanjang trotoar di sisi timur cukup ramai oleh pedagang dan penjual. Mereka duduk di atas tikar dan meja-meja kecil yang berjejer. ‌Di depan Kantor DPD Golkar, di sisi utara saya lihat ada aparat dan mobil Pamong Praja dan mobil Dalmas polisi yang diparkir. Sepertinya aparat sedang berpatroli terkait dengan pemberlakuan jam malam tersebut.

Meski Surat Edaran Bupati Dompu di atas memberikan beberapa pengecualian bagi anak remaja untuk keluar malam dengan alasan tertentu, tetapi menurut saya, pemberlakuan jam malam tersebut tetap sangat  memprihatinkan, karena hal itu menunjukkan bahwa kondisi Dompu ternyata “sedang tidak baik-baik saja”.

Bayangkan, dengan jumlah penduduk yang cukup kecil ini (kurang dari 300 ribu jiwa) ternyata rasa aman menjadi sesuatu yang mahal di daerah ini. Apalagi ini menimpa kalangan anak remaja sebagai calon pemimpin masa depan. Hak tumbuh kembang mereka terenggut. Pemberlakukan jam malam juga merupakan pukulan telak karena Dompu mendapat penghargaan KLA (Kabupaten Layak Anak) beberapa waktu lalu.

Baca Juga  Kecerdasan Buatan: Kehidupan Paradoks Masa Depan

Sejak awal, penghargaan ini sudah menuai polemik di tengah problem sosial yang akut di Dompu seperti pernikahan dini, tingginya angka perceraian, KDRT, stunting, gizi buruk, joki anak, dan lainnya. Penghargaan KLA terasa absurd dan jadi sandiwara di tengah beberapa problem sosial yang menyandera Dompu.

Sandiwara  penghargaan semacam ini seharusnya dihentikan, karena Dompu faktanya justru mengalami darurat anak. Pemberlakuan jam malam menunjukkan kegagalan Pemda dan masyarakat dalam menghadirkan suasana aman dan nyaman bagi anak-anak. Padahal rasa aman adalah salah satu kebutuhan manusia paling dasar selain ekonomi.

Selain menunjukkan buruknya manajemen pemerintahan daerah, pemberlakuan jam malam juga menunjukkan fakta lain bahwa ternyata banyak orang yang memutuskan menikah tetapi tidak siap menjadi orang tua. Di negara-negara maju, orang tua yang tidak mampu apalagi secara sengaja menelantarkan anak dapat dipidana penjara dan anaknya disita dan dirawat oleh negara  karena mereka dianggap gagal dan tidak bertanggung jawab menjadi orang tua.

Tindakan youtuber Ria Ricis misalnya, yang meng-upload foto balitanya yang berusia lima bulan naik jetski bersama suaminya awal Januari lalu,  adalah contoh buruk dan bodoh yang lain. Semuanya semata-mata demi kebutuhan konten. Sebagai pesohor, tindakannya – apa pun alibinya – tetap berpotensi diikuti oleh jutaan penggemarnya.

Baca juga: Ke Mana Arah Pendidikan Kita?

Miskinnya literasi mengakibatkan konten sampah dan unfaedah  pun tetap digemari publik negeri ini. Kasus Ria Ricis menegaskan bahwa sebelum punya anak orang tua memang harus punya otak. Di sekitar kita juga tak kurang melihat sikap dan perilaku banyak orang tua yang tak layak dicontoh sebagai orang tua. Mulai dari bapak yang merokok sambil menggendong bayi hingga menggepit bayi dengan satu tangan saat berkendara, sedangkan tangan satunya memegang stang motor.

Dengan kata lain, kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa banyak orang tua sebenarnya disebut orang tua hanya karena bisa bikin anak. Sementara tugas dan tanggung jawab sebagai orang tua belum sepenuhnya dipahami.

Baca Juga  Menilik Kembali Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia

Para pemangku kepentingan harus saling bersinergi untuk mengatasi masalah sosial ini termasuk mengurangi tren pernikahan dini yang terus meningkat dan angka perceraian yang juga makin tinggi. Di sekolah maupun di masyarakat juga harus diperbanyak berbagai pilihan kegiatan positif dan konstruktif buat anak-anak, baik intra maupun ekstra kurikuler.

Bebas saja pilihannya, entah itu di bidang olahraga, seni, keagamaan, akademik, pecinta alam, palang merah, dan lainnya. Sebab harus diakui selama ini banyak sekolah kita yang “kesepian” karena kurangnya kegiatan ekstrakurikuler.

Selain makin rendahnya komitmen dan dedikasi guru dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya, masalah sosial yang makin kompleks, dunia pendidikan yang kian kapitalistik juga telah merampas  public sphere anak-anak sebagai tempat aktualisasi diri. Mari  selamatkan anak-anak kita![]

Ilustrasi: Mantrasekolah.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *