JANJI adalah utang. Demikian statement singkat dari Nabi saw sebagai salah satu indikasi betapa beliau begitu menyayangi umatnya, agar sedapat mungkin tidak menjadikan janji sebagai komoditi yang ditransaksikan dengan murahan dan gampangan.
Statement Nabi dalam hadis di atas sebagai satu cara beliau mengkomunikasikan tentang posisi dan kedudukan janji, yang selama ini masih banyak dari kalangan umatnya yang belum menempatkannya sebagai perkara yang serius, sehingga dari berbagai kalangan dan komunitas, mengobral janji masih dijadikan sebagai pemanis atau daya tarik dari materi dalam berinteraksi dan bertransaksi.
Baca juga: Memahami Kehidupan sebagai Festival
Kedudukan janji sebagai utang memiliki makna sebagai sesuatu yang harus dibayar, ditunaikan atau ditepati, karena jika tidak, maka janji itu tetap akan menjadi kebiasaan yang dipermainkan dan menjadi tumpukan utang yang lama kelamaan tidak mampu dihitung dan tidak mampu diingat jumlahnya.
Janji-janji yang tidak ditepati lama kelamaan akan menjadikan pelakunya memiliki kebiasaan untuk berbohong, yang berefek buruk terhadap perilaku dan sikapnya, minimal obral janji dilakukan tanpa merasa bersalah. Itulah sebabnya Nabi saw menggunakan diksi “berhutang” bagi siapa saja yang tidak atau enggan menepati janji, satu pilihan diksi yang seharusnya berefek jera, malu, dan menakutkan.
Kenyataannya dalam ruang-ruang perjumpaan di mana terjadi negosiasi, transaksi, interaksi, dan lobi-lobi, tak jarang terjadi obral janji yang dilakukan sebagai bentuk keseriusan dari kedua belah pihak, padahal janji-janji itu hanya sebagai retorika yang tak terikat oleh komitmen.
Kata orang bijak: terkadang janji itu sebuah kalimat penenang, namun berakhir dengan kebohongan.
Mungkin karena material janji itu sifatnya tak nampak (baca: gaib) sehingga tidak terlalu menjadi beban untuk tidak segera dibayarkan atau ditunaikan. Bahkan lebih sering menjadi janji tinggal janji daripada menjadi kenyataan.
Sebagai hamba yang berhati-hati dalam urusan agamanya, maka janganlah menganggap enteng kebiasaan mengumbar janji dan tidak membayarnya, karena statement Nabi saw tentang janji sebagai utang, mengindikasikan bahwa kita tidak boleh mempermainkan janji.
Sekalipun barangkali muatan utang yang disematkan pada janji berbeda dengan utang materi atau barang ataupun utang uang, namun hakikatnya sama-sama utang yang harus dibayar.
Perhatikan penegasan Tuhan di surah al-Isra’ ayat 34: “wa aufụ bil-‘ahdi innal-‘ahda kāna mas`ụlā”. Penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
Baca juga: Kelezatan Hidup untuk Orang yang Lurus
Membuat janji apabila kita tarik maknanya ke konsep beragama yang serius, menurut sebagian ahli hikmah sama nilainya dengan bernazar, karena bernazar itu adalah janji diri sebagai utang yang wajib dibayar.
Banyak ayat al-Qur’an yang mewasiatkan agar umat manusia bersikap setia terhadap janji dan transaksi yang telah ditetapkannya. Bahkan al-Qur’an melarang setiap pengkhianatan dan pengingkaran terhadap janji-janji yang telah disepakati bersama. Pengkhianatan terhadap janji akan menghilangkan kepercayaan terhadap sesama umat manusia.
Kata Kiai Zakky Mubarak yang dikutip dari NU Online, bahwa mereka yang mengingkari janjinya setelah janji itu teguh, digambarkan al-Qur’an sebagai seorang wanita tua yang pikun. Pada siang harinya ia menenun dengan sungguh-sungguh, tetapi pakaian yang telah ditenun itu diurainya kembali satu persatu di malam hari, sehingga pekerjaannya menjadi sia-sia dan tidak pernah selesai.
Sebegitu pentingnya memenuhi janji dalam ruang dan kesempatan apa pun, bagi seorang muslim dalam kapasitas dirinya sebagai yang beriman, maka keengganannya memenuhi janji dapat menurunkan kualitas dirinya dari seorang muslim menjadi seorang munafikun.
Dari itulah kita harus berhati-hati dalam menyuarakan janji di mana pun, kapan pun dan dengan siapa pun, karena ikrar itu dalam ranah keislaman tetap mejadi utang yang harus segera dibayar.
Boleh kita memandang janji itu sebagai perkara yang kecil, ringan, dan spele, akan tetapi ingatlah, bahwa menumpuk-numpuk kekeliruan kecil akan menjadi kekeliruan yang berserakan. Dan biasanya kekeliruan kecil yang menumpuk-numpuk dan berserakan akan lebih susah diurai ketimbang kekeliruan yang besar.
Pernah suatu waktu, seorang perempuan mengadukan dosa temannya kepada seorang kiai karena temannya diindikasikan melakukan dosa besar. Oleh kiai yang bijaksana itu tidak langsung menghakimi seorang wanita yang terlapor, akan tetapi meminta keduanya menghadap sang kiai.
Setibanya dua perempuan tersebut di hadapan kiai, sang kiai meminta perempuan yang melapor itu untuk memungut beberapa butir batu kerikil kecil, sementara yang terlapor diminta untuk mencari satu buah batu besar. Singkat cerita, kembalilah kedua perempuan itu menghadap kiai dengan masing-masing membawa batu yang diminta sang kiai. Lalu sang kiai meminta kedua perempuan itu untuk mengembalikan batu yang dipungut itu ke tempatnya semula.
Perempuan yang memungut batu kerikil kecil itu kebingungan untuk mengembalikannya ke tempat semula, sementara perempuan yang membawa batu besar dengan gampang mengembalikannya ke tempat semula.
Sang kiai memberikan penjelasan kepada kedua perempuan itu. Ibarat memungut batu dan mengembalikannya lagi ke tempat semula, itulah gambaran pelaku dosa kecil yang sulit untuk mengingat dan meminta maaf, sementara pelaku dosa besar sangat gampang diingat dan gampang pula meminta ampun.
Membiasakan berhati-hati dalam masalah yang ringan, akan membentuk kita menjadi berhati-hati dalam urusan yang besar. Jika mengingkari janji dipandang sebagai sesuatu yang ringan dan perkara kecil, akan tetapi dengan memahami bahwa janji adalah utang yang harus dibayarkan sesuai statement Nabi, marilah kita pandang sebagai urusan yang serius, siapa tahu perbuatan yang kita anggap kecil dan ringan, justru dapat menjadi penolong bagi kita di saat keadaan sangat sulit dan tidak ada pertolongan di yaumil akhir.
Ingatkah kita dengan kisah seorang pelacur? hanya memberi minum seekor anjing yang kehausan dengan sepatu miliknya, Tuhan mengampuni dosanya dan memasukkannya ke dalam surga.
Itulah perkara yang dipandang sepele, kecil, dan ringan yang tidak disangka-sangka menjadi perkara yang amat besar nilainya di kehadirat Tuhan yang maha kuasa.
Sebagai penutup dari kolom “Hikmah” ini, berhati-hatilah kita dalam perkara janji, peganglah dengan komitmen yang serius, bahwa membuat janji sama artinya mengambil utang. Mengumbar janji dan tidak menepatinya janganlah dijadikan kebiasaan. “innaka lā tukhliful-mī’ād”. Sesungguhnya Tuhan tidak pernah ingkar janji.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
Toyyib ayahnda MasyaaAllah….
Mengingkari janji jangan dibiasakan 💪💪😇aamiin….
Jum’at berkah dibulan Rajab, Semoga Allah sehatkan selamatkan ayahanda dan keluarga,,aamin..,🤲🤲
Menarik sekali utk dipahami.
Tertarik dengan penegasan “keengganan seorang memenuhi janji, akan menurunkan kualitas darinya dari seorang muslim menjadi munafik/kunafikun.l
Sesungguhnya konsistensi adalah identitas. Sebagian ahli bilang, identitas seorang muslim ada pada janjinya. Tuhan pun tdk memaafkan apabila janji antar hamba-Nya tdk dipenuhi.
Wallahu a’lam.