PADA tahun 2019, kami meneliti narasi nasionalisme di kalangan mahasiswi bercadar. Salah satu temuan yang menarik sekaligus mencengangkan adalah ada sebagian mereka yang tidak setuju kalau Pancasila menjadi dasar negara.
Alasannya, Pancasila bertentangan dengan Islam. Walaupun jumlah mereka tidak banyak, tetapi pandangan seperti ini ada di kalangan milennial yang merupakan generasi penerus, patut menjadi pemantik kesadaran.
Sebagai pengingat, bahwa bangsa Indonesia belum memiliki visi yang sama terkait Pancasila sebagai dasar negara. Kehadiran buku berjudul “Islam dan Pancasila: Perspektif Maqashid Syariah Prof K.H Yudian Wahyudi” yang ditulis oleh Syaiful Arif adalah salah satu aksi nyata untuk menjawab keraguan bahkan penolakan tersebut.
Baca juga: Menjaga Eksistensi Islam
Saya berbahagia diberi kesempatan untuk menjadi pembahas buku ini pada dua forum sekaligus. Forum yang pertama berpusat di Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, NTB, pada 28 Februari 2023 sedangkan yang kedua diselenggarakan atas kerja sama tiga kampus di Kota Bima yaitu Sekolah Tinggi Ilmu al Quran (STIQ), Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), dan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) pada tanggal 2 Maret 2023. Kedua forum ini terutama menyasar mahasiswa, selain juga hadir para akademisi, tokoh agama, tokoh pendidikan, serta tokoh perempuan.
Pesan inti yang disampaikan oleh Syaiful Arif melalui buku ini adalah Pancasila merupakan kalimatun sawa’ (bahasa yang sama sekaligus pemersatu) bagi bangsa Indonesia yang diistilahkan oleh Prof Yudian Wahyudi sebagai Dar al Ijma (negara persatuan).
Buku ini, bahkan dengan tegas menyampaikan bahwa “berpancasila adalah bertauhid” sembari mengutip keputusan Munas Ulama Nahdhatul Ulama sejak tahun 1983. Tidak tanggung-tanggung, Pancasila disetara-levelkan dengan “tauhid”, yang merupakan pondasi dasar dari keislaman bahkan keberagamaan.
Lalu, apa yang dimaksud dengan bahwa berpancasila adalah bertauhid? Inilah poin penting pertama yang diurai oleh buku ini dengan baik sekali. Penulis berhasil menuangkan perspektif Prof Yudian, yang terserak dari forum dan tulisan beliau sendiri.
Menurut Prof Yudian, Islam adalah proses aktif menuju keselamatan dan kedamaian. Keselamatan dan kedamaian ini bisa terwujud hanya dengan bertauhid secara baik dan benar. Tauhid murni, bukan hanya tauhid nama seperti yang pernah diistilahkan oleh mendiang Cak Nurcholis Madjid, itu adalah tauhid integratif yaitu menyatukan tiga bentuk ayat al-Qur’an di dalam praktik berislam.
Ayat qauliyah berupa teks al-Qur’an, ayat kauniyah berupa fenomena alam, dan ayat insaniyah berupa fenomena sosial harus disatukan sehingga menjadi Islam yang kaffah atau Islam dengan huruf “I” besar. Jika ketiganya tidak disatukan, maka sesungguhnya keislaman masyarakat Muslim baru menjadi islam dengan ‘i’ kecil.
Selanjutnya, Pancasila adalah wujud dari tauhid integratif tersebut di mana sila pertama adalah ejawantah dari teks agama, sila ketiga dan keempat adalah tanda dari hukum alam atau kosmos (sunatullah) sedangkan sila kedua dan kelima adalah operasionalisasi dari ayat kosmis atau kemanusiaan (insaniyyah) tadi.
Bertauhid (keyakinan agama) kemudian perlu diturunkan menjadi bersyariah (ajaran dan amalan agama). Inti dari syariah adalah maqashid al syariah. Dalam pandangan Prof Yudian, yang juga dijelaskan dengan apik oleh buku ini, maqashid syariah terlihat jelas dalam teks Pancasila.
Maqashid syariah adalah maksud atau tujuan diturunkannya ajaran Islam yang terbagi dalam tiga level yaitu dharuriyyat (kebutuhan primer), hajjiyyat (kebutuhan sekunder) dan tahsiniyyat (kebutuhan tersier).
Kebutuhan primer atau dhaririyyat itu sendiri diproyeksikan untuk memelihara lima hal penting yaitu agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta. Dan pemeliharaan kelima hal tersebut semua tersimpul dalam Pancasila. Pancasila juga mengakomodir tiga level kebutuhan tersebut.
Jadi tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Islam bertentangan dengan Pancasila, karena kedua hal yang prinsip di dalam beragama (tauhid dan syariah) sudah tersimpul di dalamnya. Pancasila tiada lain adalah operasionalisasi dari keberislaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Poin penting kedua dari buku ini adalah menunjukkan change (perubahan) sekaligus continuity (kesinambungan) diskursus Pancasila dari masa ke masa. Buku ini menjelaskan bagaimana dinamika pemikiran, konflik dan kontestasi, diskusi dan negosiasi sehingga menjadi Pancasila seperti sekarang. Pancasila bukanlah ide yang terpisah dari konteks kehidupan tetapi digali dari nilai-nilai kehidupan, keberagamaan, dan keragaman masyarakat Indonesia.
Pancasila sendiri telah melalui proses, jika dalam pidato Sukarno pada tanggal 1 Juni 1945, Pancasila bersifat obyektif, maka pada Piagam Jakarta bersifat normatif, namun Pancasila yang kita kenal sekarang, menurut pemikiran Prof Yudian, bersifat tauhidik-maqashidi, yaitu Pancasila yang menjadi ideologi untuk mewujudkan keimanan dan keberislaman yang kaffah.
Evolusi sifat pancasila tersebut sama sekali tidak bertentangan, tetapi saling mengisi satu sama lain. Misalnya Pancasila obyektif yang disampaikan oleh Sukarno berisi lima hal yang ada pada Pancasila sekarang tetapi dengan urutan yang berbeda yaitu Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme (Peri Kemanusiaan), Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan terakhir Ketuhanan.
Baca juga: Dua Pendengaran Manusia: Catatan untuk Dua Suara Tuhan
Posisi ketuhanan yang terakhir inilah yang pada saat itu kontroversial, walaupun maksud Bung Karno sebenarnya justru ketuhanan menjadi wadah bagi semua nilai di atas dan sebagai wadah pastilah letaknya lebih bawah daripada isi.
Namun, kontroversi ini direspon dengan menormatifkan Pancasila. Yaitu dengan menyepakati untuk menaikkan ketuhananan pada sila pertama. Rumusan tersebut menjadi Piagam Jakarta dengan berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.”
Berkat kebesaran hati para pemuka agama demi persatuan Indonesia yang plural pada waktu itu menyimpulkan bahwa sebaiknya sila pertama dihapus tujuh kalimatnya dengan menyisakan Ketuhanan yang Maha Esa untuk menunjukkan keimanan yang inklusif bagi dasar negara. Pancasila inilah yang menurut prof Yudian bersifat Tauhidik-Maqashidi itu.
Selain kedua hal tersebut, buku ini juga meyakinkan pembaca bahwa diskusi terkait hubungan erat Islam dan Pancasila akan terus signifikan terutama dalam konteks sosial-politik Indonesia kontemporer dan masa depannya.
Dalam buku ini ditunjukkan fakta bahwa sampai zaman reformasi masih ada segolongan masyarakat yang mempermasalahkan Pancasila bahkan mengkategorikannya sebagai kekafiran. Organisasi HTI (Hizb at Tahrir Indonesia) misalnya melihat Pancasila bermasalah karena ia masih memerlukan ideologi lain untuk pelaksanaanya.
Hal ini terbukti ketika Orde Lama menggunakan ideologi sosialisme, Orde Baru meminjam ideologi kapitalisme, sedangkan era reformasi memakai ideologi neoliberalisme di dalam mewujudkan Pancasila. Dalam pandangan mereka, ketiga ideologi tersebut sesat dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu, HTI mengusulkan syariah sebagai ideologi yang menggantikan ketiga ideologi “sekuler” itu. Dari pendapat ini, terkesan bahwa syariah justru menjadi operasionalisasi dari Pancasila dan oleh karenanya bersifat lebih khusus dan menempati hirarkhi yang lebih rendah. Padahal dalam pandangan perspektif maqashid syariah yang diurai buku ini justru sebaliknya, syariah menjadi sumber, Pancasila menjadi implementasi.
Selain ketiga garis besar di atas, buku ini menjawab pula beberapa kontroversi terkait dengan sosok Prof Yudian dan pemikirannya sebagai Kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).
Misalnya, terkait dengan video pendek yang banyak beredar yang memuat statement beliau bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama bukan etnis. Demikian juga terkait salam Pancasila yang beliau usulkan untuk menjadi salam formal bagi acara-acara resmi.
Banyak orang melihat salam Pancasila ini berlebihan karena menggantikan “assalamu’alaikum” yang menjadi salam yang selama ini dipakai. Bagaimana sebenarnya kedua hal itu? Buku ini tuntas menjawabnya.
Secara umum, buku ini sangat runtut dan lugas menyampaikan keterkaitan Islam dan Pancasila dan bagaimana perspektif maqashid syariah versi Prof Yudian dengan memberikan pemahaman yang baru dan berbeda mengenai keterkaitan itu.
Tawaran yang paling unik yang beliau jelaskan adalah lima kepasangan di dalam hukum Islam bahwa sebuah hukum tidak hanya bersifat ketuhanan, absolut, universal, abadi, dan literal, tetapi juga mengandung nilai kemanusiaan, relatif, lokal, sementara dan maknawiyah. Dan Pancasila menggambarkan nilai-nilai hukum Islam tersebut.
Sayangnya, aspek keterkaitan lima kepasangan ini belum digambarkan secara seksama dan lebih detail di dalam buku ini. Mungkin sebaiknya dijadikan pembahasan tersendiri dengan menautkan praktik baik di tengah masyarakat maupun dalam kebijakan pemerintah terkait bagaimana lima kepasangan ini diinternalisasi oleh ideologi Pancasila dan diwujudkan dalam kehidupan yang nyata.[]
Identitas Buku
Judul: Islam dan Pancasila: Perspektif Maqashid Syariah Prof. K.H. Yudian Wahyudi, Ph.D
Penulis: Syaiful Arif
Penerbit: Cakrawala Yogyakarta + Tarekat Sunan Anbia Press
Tahun Penerbitan: Juli 2022
Pengantar: Siswanto Masruri dan Agus Moh Najib
Tebal Buku: 209+ xxxi
Isi Buku: 7 bab (Pendahuluan, 5 bab isi, Penutupan)
Ilustrasi: FB Syaiful Arif.
Direktur La Rimpu (Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan), Peneliti Perempuan dan Perdamaian, dosen UIN Mataram.