MUKTAMAD (55) tampak “religius” dengan kopiah haji, baju takwa, dan sarung. Maklum, ia baru saja pulang dari masjid untuk salat Magrib berjamaah pada hari pertama Ramadhan. Warungnya, di tengah kampung Gili Trawangan, mendapat tamu bule yang tampilannya “sekuler” dan “terbuka”. Ia melayani tamunya tanpa canggung. Saat tamunya lagi asyik makan, saya yang sedari tadi memperhatikannya diam-diam, coba konfirmasi hal itu, ia bilang, “kami di sini sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Kami tidak boleh tertutup, dan tidak mungkin melihat tamu secara serampangan.”
Saya coba mencerna pemahaman di balik diksi “tertutup” dan “serampangan” itu. Bagi tokoh kita ini, melayani tamu dan memberi mereka kenyamanan di satu sisi, dan mencari rezeki di sisi yang lain keduanya kewajiban. Kewajiban di sini bukan hanya tuntutan hidup tetapi amalan keagamaan. Tampaknya, agama sesuatu yang terpatri, sementara pariwisata adalah hajat hidup. Keduanya tidak dipertentangkan. Bahkan, agama yang ia pahami dan jalani adalah pranata penjaga harmoni. “Orang-orang tua kami sejak dulu mengajarkan begitu,” cetusnya.
Gili Trawangan, pulau kecil dengan luas 340 hektar yang terletak di sebelah barat laut pulau Lombok ini, amat terkenal karena eksotiknya. Gili ini surga bagi wisatawan, terutama bagi para turis mancanegara. Pada masa sebelum Pandemi Covid-19, tidak kurang dari 1000-an turis keluar masuk setiap hari. Pada musim puncak seperti Tahun Baru dan musim libur jumlahnya lebih membludak lagi.
Penduduk Gili Trawangan, sekitar 2.000-an jiwa, juga penduduk dua gili lainnya, yakni Gili Meno dan Gili Air, semula adalah nelayan yang berasal dari berbagai daerah di Lombok, juga dari Bugis, dan lainnya. Karena terjadi perubahan moda produksi ekonomi, lansekap fisik pulau juga berubah, hidup mereka pun ikut berubah. Kini mereka menggantungkan hidup dari pariwisata. Dalam transformasi itu, mereka harus mengadaptasi cara hidup baru.
“Dulu, sekitar 1980-an, ketika orang luar negeri mulai berdatangan ke sini, kami diajarkan berdagang, membuka warung, dan menjaga kampung supaya para tamu merasa nyaman. “Lama-lama kami lupa bernelayan,” kata Muktamad. “Jika pun kami masih mengoperasikan perahu, itu bukan untuk menangkap ikan tetapi untuk mengantar turis dari gili ke gili. Jadilah kami pekerja pariwisata,” imbuhnya.
Orang-orang di pulau kecil ini segera menjadi kosmopolit. Mereka menerima kehadiran orang lain, bukan saja dari tetangga pulau, tetapi bahkan dari luar negeri. Yang terakhir ini justru mendominasi pemandangan di sepanjang pinggir pantai. Mereka hidup dengan kepentingan, juga dengan gaya hidup dan kultur masing-masing. Ada yang berbaur dengan masyarakat di tengah kampung, ada juga yang menciptakan enclove sendiri.
Dalam interaksi itu ada saling keterpengaruhan. Transformasi sosial-budaya berlangsung di kalangan penduduk. Mereka sudah mengenal berdagang beserta permainannya. Anak-anak kampung berubah seperti anak-anak kosmopolitan. Dalam pada itu, terutama orangtua menghawatirkan gaya hidup generasi mereka berubah ke arah sekuler, mengikuti gaya hidup modern dari luar.
Baca juga: Membumikan Islam di Pasar Terapung Banjarmasin
Ada juga sebaliknya, turis tertarik dengan gaya hidup lokal. Minimal mereka menikmatinya sebagai suatu “kemewahan modernitas”, yakni tradisi dan atmosfir hidup yang tak mereka temukan di negeri asal. Ada kasus sang turis menemukan wajah sebenarnya dari Islam (sebagai agama penduduk) dari praktik keramahan seorang perempuan gili. Pengalaman spiritual ini dialami Elizabeth Gilbert, dan direkam melalui buku best-seller-nya berjudul Eat Pray Love, terbit pertama kali 2007.
Tentang agama di Gili Trawangan menjadi isu yang sudah mulai diteliti. Beberapa penelitian menggambarkan, antara lain: pariwisata telah mengubah bukan saja aspek fisik berupa alih fungsi lahan dan lahirnya problem ekologi, tetapi juga ikut menggerus pranata kultural dan agama (Fariana, 2016); agama menjadi medan kontestasi baru di kalangan pelaku partiwisata dan penduduk (Baihaqi, 2019); agama mengalami inklusifisasi melalui penguatan nilai lokal (Kadri, 2022).
Gambaran-gambaran tersebut memperkuat teori, bahwa agama memang tumbuh bersama tantangan. Agama menyediakan mekanisme untuk merespon situasi zaman dan tempat di mana pemeluknya hidup, yang memungkinkan mereka bisa berdamai dengan keadaan. Agama mengajarkan kelenturan dalam perjumpaan kebudayaan. Apa yang disebut Kadri (2022) sebagai inklusifisasi adalah bagian dari mekanisme itu di kalangan masyarakat Gili Trawangan.
Agama yang dipahami, diinternalisasi, dan dipraktikkan seperti ini hanyalah modus fungsionalisme-struktural dalam sebuah sistem sosial. Memang menghasilkan harmoni dan integrasi, menjadikan penganutnya bisa bersanding dengan entitas lain. Tetapi (penganut) agama kehilangan kepekaan terhadap problem sosial. Tidak bisa menghasilkan budaya tanding atau alternatif. Alih-alih mengubah keadaan sebagaimana dibayangkan oleh penganutnya. Intervensi konsep dan regulasi Wisata Halal menjadi buntu (Baihaqi, 2019), hemat saya disebabkan lemahnya dimensi agama yang mengubah itu.
Agama sebagai Kritik dan Yang Mengubah
Suara selakaran malam Jum’atan dari masjid yang letaknya tidak jauh dari zona party, terdengar nyaring dan lantang. Keriuhan itu seakan menantang suara vibe-reggae yang membahana dari arah pantai. Pada nadham (bait) tertentu, tiba-tiba nada-nadanya meninggi seperti katarsis, mengeluarkan kegundahan dari dalam kalbu. Setelah itu, imam berdo’a, doa umum sebenarnya. Tetapi ada nada yang kuat merepresentasikan kegundahan: “Ya Allah, jauhkan kami dari bala dan bencana, yang dohir dan yang bathin”. Bait ini khusus dilantunkan dalam bahasa Indonesia, dan dengan nada yang getir, berulang tiga kali.
Saya bertanya kepada imam, di sela rehat tadarusan al-Qur’an setelah salakaran, apa kiranya definisi mereka tentang bala dan bencana, yang lahir dan bathin? Saya mengira itu terkait trauma gempa 2018 lalu, di mana gili ini sebegitu dekatnya dengan episentrum gempa. Ternyata yang mereka sebut bencana adalah kehawatiran komunal tentang perubahan aspek moralitas, yang sering tak kasat mata. Mereka menunjuk serbuan narkoba, miras, dan budaya luar yang semakin menulari anak-anak muda dan orang kampung.
Namun, proses itu memerlukan kehadiran aspek lain, misalnya budaya, sebagai tandemnya. Di dalam budaya, nilai agama bisa diboncengkan. Itu misalnya berlangsung dalam Tradisi Mandi Safar di kalangan masyarakat Gili Trawangan. Atau dalam Arak, yakni hukuman bagi pelanggar norma agama dan adat dengan cara mengarak keliling kampung. Agama menggandeng budaya, supaya memiliki modus operandi bagi internalisasi nilai dan menjalankan norma.
Dalam proses ini memang nilai dan pemahaman agama menjadi pedoman, tetapi memerlukan otoritas yang bekerja sebagai “ideolog” untuk menerjemahkan nilai agama menjadi panduan praksis. Ini bukan berarti revolusioner jangka pendek, tetapi melalui proses kulturalisasi agama.
Melihat geliat di dua masjid di Gili Trawangan, potensi kreatif agama seperti itu ada. Dan itu bisa ditumbuhkan dan dikonversi menjadi gerakan sosial. Namun, lagi-lagi perlu agensi dan otoritas, yakni para penerjemah dan pekerja agama yang kreatif sebagai semacam intelektual organiknya. Memang saat ini, tampaknya otoritas agama belum tumbuh seiring dengan tidak adanya institusi agama yang memadai selain masjid, seperti pesantren atau kelompok tarekat (kreatif).
Baca juga: Jatuh-bangun Etos Intelektual-Ulama dan Gerakan Kultural yang Bisa Dilibati
Orang-orang di sini merencanakan pondok pesantren, yang berdiri di atas bukit tengah kampung. Ini pengandaian yang progresif. Mereka membayangkan suatu tempat di mana para alumni Nurul Hakim Kediri, NWDI Pancor, Al-Aziziyah Kapek, juga alumni Temburo di Jawa yang sudah mulai kembali, dapat bersinergi dalam meneropong dan mengontrol situasi pinggir pantai.
Jika faktor-faktor ini bekerja, maka agama dan komponennya bukan saja dilihat “ada”, tetapi “ikut hadir” dalam setiap problem sosial. Dalam konteks aktual, paling tidak bisa menunjukkan keberpihakannya dalam silang sengkarut soal pemukiman, sengketa lahan, ekologi, dan peminggiran masyarakat. Dengan begini, cetusan kritis “agama itu berat” dari Pak Robet, penjaga homestay yang muazin itu, tidak akan terdengar lagi.[]
Pengkaji agama dan budaya, direktur Alamtara Institute dan founder Kalikuma Library & EduCamp NTB
MANTAP…. Beragama tanpa memaknai agama itu sendiri. beragama tidak membentuk perilaku agamis. seolah-olah agama berjalan sendiri di tengah kehidupan. kehidupan tanpa tersentuh agama
smuliono@gmail.com