Tidak Ada Larangan Wisuda Siswa PAUD, Tapi…

BELAKANGAN ini ramai sekali netizen memperbincangkan masalah wisuda di PAUD dengan segala pro dan kontranya. Yang ikut nimbrung dalam kontroversi ini tidak hanya masyarakat awam, tetapi juga dari kalangan akademisi dan praktisi di bidang tersebut. Tentu ini menjadi sangat menarik untuk kita ulas sisi positif maupun negatif dari prosesi yang sudah menjadi program tahunan di banyak satuan PAUD di Indonesia ini.

Menurut KBBI, wisuda sendiri sebenarnya bermakna peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Kata kuncinya dalah peresmian atau pelantikan dan upacara khidmat. Tidak sama sekali disebutkan bahwa wisuda itu hanya untuk peresmian atau pelantikan mahasiswa S1, S2, dan S3 yang sudah dinyatakan lulus dari pendidikannya.

Artinya, penggunaan kata wisuda boleh saja disematkan pada jenjang pendidikan mulai dari pendidikan anak usia dini. Dalam bahasa Inggris, padanan kata wisuda adalah graduation yang juga berlaku untuk semua jenjang pendidikan.

Lantas, mengapa hal ini menjadi kontroversial di masyarakat? Dari pengamatan saya pribadi, baik secara langsung maupun dari media sosial, akar masalahnya ada pada praktik yang dilakukan pada saat prosesi wisuda dilaksanakan sangat mirip dengan wisuda kakak-kakaknya di jenjang S1-S3. Padahal di PAUD tidak harus seperti itu, bahkan bisa dimodifikasi sesuai karakteristik pembelajaran di PAUD. 

Jika kita amati berbagai prosesi wisuda di PAUD, banyak praktik yang keluar dari koridor dan prinsip-prinsip pembelajaran di PAUD. Beberapa fakta di lapangan yang sangat indentik dengan pelaksanaan wisuda di PAUD antara lain:

Pertama, dandanan khas wisuda selayaknya orang dewasa. Dalam banyak literatur, mendandani anak selayaknya orang dewasa dapat memberikan dampak buruk terhadap perilaku maupun kesehatan. Ketika kita menelisik prosesi wisuda di PAUD, tidak bisa dipungkiri bahwa anak-anak banyak yang didandani selayaknya wisuda sarjana di usia 17-an tahun.

Kedua, pemberian buket bunga sudah menjadi budaya yang wajib dilakukan. Wisuda tanpa buket bunga (dengan segala inovasi dan model terkini) ibarat sayur tanpa garam. Orang tua harus berpikir ekstra keras untuk menyiapkan buket bunga terbaik agar anak bahagia dan tidak kalah dari temannya yang lain. Entah apa makna buket bunga bagi anak usia dini tidak menjadi persoalan.

Ketiga, tidak ada suasana bahagia khas anak-anak selama prosesi wisuda. Namanya wisuda, tentu penggunaan toga dan pemindahan tali menjadi sebuah keniscayaan. Ketika hal bersifat sakral ini dilakukan, tentu keceriaan dan kebahagiaan khas anak-anak menjadi terlupakan. Akhirnya, prosesi wisuda di PAUD menjadi mirip dengan sarjana S1-S3 di mana anak-anak hanya duduk diam dan menunggu panggilan untuk pemindahan tali dan foto bersama.

Keempat, biaya untuk pelaksanaan wisuda yang cukup besar dan menjadi beban bagi sekolah dan orang tua. Sebagian besar PAUD di Indonesia ini adalah PAUD swasta, bahkan tidak sedikit yang merupakan swadaya masyarakat yang ingin anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang layak sejak usia dini.

Ditambah lagi beberapa kasus yang saya ketahui bahwa SPP PAUD di kampung-kampung sangat rendah, bahkan ada yang cuma 10 ribu rupiah. Jika kondisinya seperti ini, bisa dibayangkan susahnya mendapatkan sumber pemasukan untuk operasional lembaga.

Dari mana sumber dana untuk acara wisuda yang sangat meriah? Jika tidak dibebankan kepada orang tua, tentu lembaga harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan bantuan dana untuk penyelenggaraan wisuda. Di sisi lain, penggunaan dana yang besar itu hanya untuk sekali pakai, ibarat memasukkan uang ke dalam tungku.

Baca Juga  Kegenitan dan Gosip Komunal: Duka-Duka Kemanusiaan Kita

Selain dari ke empat poin di atas, wisuda pada prinsipnya tidak dilarang dan sah-sah saja dilakukan selama tidak menyalahi fitrah anak sebagai makhluk yang penuh dengan kebahagiaan dan keceriaan. Bahkan wisuda menjadi sangat positif jika dilakukan dengan cara yang benar, misalnya dengan mengadakan pentas seni, pemberian pengharaaan atas karya dan prestasi, family gathering untuk menambah suasanan kekeluargaan yang diisi dengan berbagai permainan, pembagian sembako bagi masyarakat yang kurang mampu sebagai tanda syukur atas kelulusan anak, dan hal-hal positif lainnya.

Jangan sampai tujuan baik kita untuk meninggalkan pengalaman yang berkesan bagi anak justru menjadi beban dan luka yang mendalam pada diri mereka, sehingga prosesi wisuda yang kita harapkan bisa berulang dilakukan hingga ke jenjang S3 malah hanya berakhir di bangku PAUD.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *