BERLOMBA-LOMBA dalam kebaikan (fastabiqul-khairāt) dapat menjadi pemantik bagi semangat dan ambisi untuk melakukan sesuatu yang bernilai kebaikan dalam kehidupan kita. Sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kebiasaan santai, malas, dan kebiasaan menunda-nunda dalam segala aktivitas, khususnya aktivitas kebaikan, maka Tuhan memilih diksi “berlomba” sebagai daya dorong agar segera melakukan aktivitas tersebut. Pertanyaannya, mengapa Tuhan memilih diksi “berlomba” dalam melakukan kebaikan?
Berlomba yang dimaksud Tuhan dalam berbuat kebaikan tidak dimaknai sebagai bersaing, kalau berlomba artinya berjuang merebut kebaikan sebanyak-sebanyaknya dalam rangka meraih ridha dan keberpihakan Tuhan atas amalan kebaikan yang kita kerjakan, sementara bersaing dimaknai sebagai tindakan merebut capaian dengan standar ukuran penilaian manusia dan perjuangan yang dilakukan didasari semangat memperoleh kemenangan atau hasil secara kompetitif.
Di samping itu, berlomba dimaknai juga sebagai berbuat baik yang harus dilakukan di garis depan sebagai orang pertama dalam melakukannya, dan yang jelas siapa saja yang lebih dahulu melakukan kebaikan, maka nilainya pasti akan lebih tinggi derajatnya daripada orang yang melakukan kebaikan yang sama setelahnya (fi awwali waqtiha). Berbeda dengan bersaing yakni melakukan sesuatu secara kompetitif dengan semangat persaingan—ada yang harus dikalahkan dan ada yang harus menjadi sasaran persaingan.
Selanjutnya berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan juga memiliki makna terus-menerus memproduksi kebaikan dari berbagai kemampuan dan potensi yang kita miliki, tanpa ada ukuran melampaui, karena ukuran standar volume kebaikan ada pada Tuhan dan volumenya sangat elastis (hatta ya’tiakal yakin). Sementara dalam bersaing terdapat asa tak ingin dilampaui oleh orang lain, ukurannya ketat yakni capaian orang lain, sehingga kita akan berjuang untuk melebihi standar capaian orang lain—dan kita pasti sangat lelah, karena ada rasa tak rela apabila capaian kita didahului atau dilampaui oleh capaian orang lain.
Kemudian dalam berlomba juga di dalamnya terbentuk kesadaran diri bahwa kebaikan itu diperjuangkan untuk diri sendiri, maka siapa yang mengusahakan kebaikan lebih banyak akan mendapat keberuntungan lebih banyak pula, sebaliknya siapa yang tidak maksimal mengumpulkan kebaikan akan mendapat keuntungan lebih sedikit. Berbeda dengan persaingan, selalu ada rasa bersaing dengan siapa pun dan akan melahirkan sikap perlawanan atau permusuhan demi mendapatkan capaian yang lebih dari orang lain.
Berikutnya di dalam berlomba kita akan fokus mengumpulkan kebaikan dengan usaha dan ikhtiar terus-menerus dalam melakukan kebaikan dan tidak perlu membandingnya dengan apa yang diproduksi oleh orang lain. Berbeda dengan persaingan, kita pasti tidak fokus dalam melakukan proses usaha dan ikhtiar, karena nilai keberhasilan yang kita capai berstandar kepada apa yang dicapai oleh orang lain—kita dikatakan berhasil apabaila melampaui capaian orang lain.
Dari itulah maka tuntunan Tuhan kepada hamba-Nya dalam melakukan aktivitas kebaikan adalah berlomba bukan bersaing. Berlomba dalam melakukan kebaikan diharapkan atas seorang hamba untuk harus berupaya mengembangkan diri menjadi lebih baik tanpa harus menakar dirinya dengan orang lain. Karena ukuran standar kebaikan itu berada dalam genggaman Tuhan, maka menakarnya dengan capaian manusia adalah takaran yang sia-sia. Lain halnya dengan bersaing, di mana kita melakukan sesuatu yang bernilai kebaikan selalu bercermin atau berstandar pada capaian orang lain, karena kita akan dikatakan telah melakukan kebaikan lebih banyak apabila telah melampaui standar capaian pada orang lain.
Tuhan tak meminta dan tak mengarahkan kita untuk bersaing dalam kebaikan, akan tetapi berlomba-lomba yakni bersusah payah mengumpulkannya dan tak perlu bercermin kepada pencapaian siapa pun, karena kalau nilai perbuatan itu dilakukan dengan cara membandingnya dengan volume perbuatan orang lain, akan melahirkan kerakusan, tamak, iri, dengki, dan bisa juga sombong, karena capaiannya harus berada di atas capaian orang lain.
“Fa maṡaluhụ kamaṡali ṣafwānin ‘alaihi turābun fa aṣābahụ wābilun fa tarakahụ ṣaldā”. Terjemahannya: Maka perumpamaan (orang yang riya’) seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah lagi). al-Baqarah ayat 264.
Banyak kasus yang kita temukan di mana orang-orang mempraktikkan berlomba-lomba dalam kebaikan dengan membuat persaingan, seperti mendirikan lembaga dengan niat menyaingi lembaga yang ada, mengeluarkan infak dengan niat menyaingi infak saudaranya, mendirikan tempat ibadah yang lebih besar guna menyaingi tempat ibadah di sekitarnya, memasang pengeras suara dengan daya yang lebih besar di tempat ibadah untuk menyaingi suara sound system dari tempat ibadah lain. Memang bahasanya adalah berlomba-lomba untuk kebaikan, namun sering kali praktiknya adalah saling saing, saling mengungguli, dan saling melintasi.
Berhati-hatilah kita dalam melakukan kebaikan, berlomba-lombalah dan jangan bersaing. Berlomba-lomba itu adalah upaya melakukan apa saja yang daya dorong dari dalam diri dalam bentuk kesadaran untuk bahu membahu, berupaya maksimal, berusaha serius, menghimpun amalan sebanyak-banyaknya dan dengan daya upaya. Kalau bersaing akan terbentuk daya aktivitas dari rasa ingin lebih dibanding orang lain, ingin melampaui capaian orang lain, ingin mengalahkan orang lain, dan ingin mengungguli orang lain.
Dan ingatlah, bahwa setiap upaya yang dilakukan karena dan demi manusia (salah satunya persaingan), maka Tuhan tak akan mencatatnya dalam lembar dokumen keabadaian, sebagaimana Nabi saw menyampaikan hadis qudsi “bahwa Tuhan berlepas diri dari amalan yang menggandengkan-Nya dengan makhluk”.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram