PONDOK pesantren merupakan tonggak ajaran Islam yang masih mempertahankan nilai nilai orissinil dari risalah ajaran yang dibawa oleh nabi agung Muhammad Saw, di dalamnya dikaji kitab-kitab turats para ulama salafussalih yang benar-benar memiliki kapasitas unggul pada bidangnya masing-masing, seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Balagah, Tafsir, Usul Tafsir, Hadist, Usul Hadist, Fiqih, Ushul fiqh, Mantiq dan lain-lain.
Para kader calon-calon ulama dibentuk dan dididik untuk mampu menghafal, membaca, memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi argumentasi bahkan sampai mengembangkan suatu konsep teori dan kaidah tertentu untuk diajarkan dan disampaikan kepada umat. Cara didik pondok pesantren yang efektif dan sistematis menurut Drs. TGH. Munajib Kholid dibentuk dalam satu konsep yang bernama “Sittah Al-Maqhasid Al-Al-Ma’hadiyah” enam tujuan fundamental pendidikan pondok pesantren yang akan saya uraaikan di bawah ini.
1. Mampu Menghafal dan Membaca. (طاقة الحفظ والقرآءة)
Pada tingkatan ini seorang santri dididik dan dibentuk untuk bisa menghapal kitab-kitab (matan) dasar yang menjadi rujukan pembelajaran pada masing-masing disiplin ilmu terutama ilmu alat, seperti dalam bidang Nahwu, bermula dari Matan Al-Ajrumiyah, Nazam Imrtihy kemudian Alfiyah Ibnu Malik, dalam bidang shorof seperti Amtsilah Al-Jadidah, Matan Bina Wa Al-Asas dan Nazom Al-Maqsud.
Sembari mereka menghafal mereka diajarkan tema dan kandungan isi dari kitab kitab tersebut yang akan membawa mereka diajarkan tema dan kandungan isi dari kitab kitab tersebut yang akan membawa mereka kepada tingkat mampu membaca yang mensyaratkan seorang santri menguasai dua ilmu alat yaitu Nahwu dan Shorof. Imam Al-Imrithy berkata:
وَالنَّحْوُ أَوْلَى أَوَّلًا أَنْ يُعْلَمَا ÷ إِذِ الْكَلَامُ دُوْنَهُ لَنْ يُفْهَمَا
Artinya: “Dan Nahwu adalah ilmu yang paling dasar dan utama untuk dipelajari karena ilmu-ilmu ulama dalam kutub at-turats tidak akan dapat dipahami dengan baik dan mendalam kecuali dengan menguasai ilmu Nahwu.”
Para ulama juga bertutur:
( مَنْ فَاَتهُ النَّحْــــــــــــــــــوُ فَذَاكَ الْأَخْرَسُ ÷ وَفَهْمُهُ فِي كَــــــــــــــلِّ عِلْمٍ مُفْلِـــــــــسُ )
( وَقَــــــــــــــــــــــــــــدْرُهُ بَيْنَ الْوَرَى مَوْضُــــــــــــــــوْعُ ÷ وَإِنْ يُـــــــــــــــنَاظِرْ فَهُـــــوَ الْمَقْطُـــــوْعُ )
( لَا يَهْتَدِي لِحِكْمَةٍ فِي الذّكـــــــــــــــــــــــرِ÷ وَمَــــــــــــا لَهُ فِي غَامِضٍ مِنَ الْفِكْــــرِ )
Artinya: “Mereka yang tidak memahami ilmu nahwu diibaratjan seperti orang yang bisu Pemahamannya pada setiap bidang ilmu agama yang ia bicarakan dianggap menipu”
“Kedudukannya dihadapan ummat hanyalah manipulasi, jika diperhatikan secara teliti dia adalah orang yang tidak memiliki nilai sama sekali”
“Orang yang tidak faham ilmu nahwu adalah orang yang tidak bisa mendapatkan hikmah dalam zikirnya serta tidak bisa tajam dama fijirnya”
Tingkatan ini mendasari para santri untuk bisa membaca buku buku para ulama salafusalih dengan baik dan benar.
Tingkatan ini merupakan tingkatan lanjutan dari jenjang sebelumnya. Setelah seorang santri mampu untuk membaca kitab-kitab turats dengan baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah ditentukan dalam bahasa Arab maka selanjutnya santri akan bisa sungguh memahami karya-karya para ulama jika dia dapat menerjemahkan satu ibarat/literlatur yang ditulis oleh para ulama dengan baik menggunakan bahasa yang mudah dipahami baik dengan leksikal ataupun gramatikal.
Setelah mampu menerjemahkan dengan baik maka tingkat selanjutnya seorang santri harus bisa memahami bacaan dan hasil terjemahannya dalam bentuk pemahaman yang sesuai dengan murod (maksud) yang diinginkan oleh penulis kitab. Tahap ini tentu tidak bisa lepas dari tahap tahap sebelumnya. Menurut Al-Bajuri Faham adalah kemampuan mengonsepkan suatu masalah di dalam otak.
4. Mampu Menjelaskan/Interpretasi (طاقة الشرح)
Tidak cukup sampai tingkatan paham, tetapi seorang santri harus bisa menyampaikan dan menjelaskan apa yang dia pahami dari hasil bacaan dan terjemahnya dengan bahasa dan interpretasi yang mudah ditangkap dan dipahami oleh audiens. Pada tingkat ini sangat perlu diperhatikan tentang penggunaan diksi kata dan lawan bicara.
خَاطِبُوْا النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلهِمْ (الحديث) أَي فَمُخَاطَبَةُ النَّاسِ بِمَا يَعْقِلُوْنَ أَوْلَى
Berkomunikasilah dengan lawan bicaramu sesuai dengan takar kemampuan mereka, maksudnya adalah berbicaralah dengan bahasa dan kata yang mudah dipahami oleh lawan bicaramu, begitulah seperti yang dikatakan oleh Syaikh. Prof. Dr. Ali Jumah. Karena sejatinya tingkat sastra yang paling tinggi adalah membuat orang lain paham dan mengerti dengan bahasa yang kita sampaikan.
5. Mampu Menulis. (طاقة الكتابة)
Tingkatan ini merupakan tingkatan yang harus dilakukan dan dibiasakan untuk bisa menjelaskan, meringkas, memetakan suatu konsep bahasan ilmu dalam bentuk tulisan pada fase ini seorang santri dituntut untuk bisa berkiprah dalam dunia literasi secara lisan maupun tulisan. Para ulama berkata:
اللِّسَانُ يُنْسَى بِمُضِيِ الزَّمَانِ، وَالْكِتَابَةُ تُبقِيْ أَثَرًا أَبَدًا
Ucapan akan dilupakan dengan berlalunya waktu, sedangkan tulisan akan menyisakan bukti dan peninggalan yang tetap.
6. Mampu Mengamalkan. (طاقة العمل)
Tingkatan ke enam ini adalah inti dan jantung dari semua tingkatan sebelumnya karena sesungguhnya nilai sejati dari sebuah ilmu tergambarkan dalam aktualisasi pengamalan. Maka ketika kita sudah sampai di tingkat ini maka kita sudah bisa dikatakan sebagai santri ilmiyah amaliyah dan amaliyah ilmiyah yang menjadi penerus juang para ulama. Imam Ibnu Rusalan mengatakan dalam Zubad-nya:
فَاعْمَـلْ وَلَوْ باِلْعُشْرِ كَالزَّكَاةِ تَخْرُجْ بِنُوْرِ الْعِلْمِ مِنْ ظُلْمَاتِ
فَعَالِـــــمٌ بِعِلْمِهِ لَمْ يَعْمَلَنْ مُعَذَّبٌ مِنْ قَبْلِ عُبَّـــــادِ الْوَثَـــــــــــــــــنِ
وَكُــلُّ مَنْ بِغَـــــيْرِ عِـلْمٍ يَعْمَلُ أَعْمَـــالُهُ مَـــــــــــــــــــرْدُوْدَةٌ لَا تُقْبَــلُ
Artinya: “Amalkanlah ilmu, meskipun hanya sepersepuluh seperti zakat dzuru’ dan tsimar maka insyaAllah kamu akan keluar dengan cahaya ilmu ilahy dari gelapnya situasi kebodohan”
“Maka orang yang alim akan tetapi tidak mengamalkan ilmunya, maka dia akan disiksa sebelum disiksanya para penyembah berhala”
“Dan setiap orang yang beramal tanpa dasar ilmu yang jelas, maka seluruh amalnya dianggap batal dan tertolak”
Enam jenjang literasi ini sudah mencakup nilai-nilai inti dari literasi itu sendiri (Enlightment mencerahkan, Enrichment memperkaya wawasan, dan Empowerment membentuk mental keberanian/memberdayakan) proses literasi dalam kaderisasi semacam inilah yang akan membuat mereka siap menjadi generasi penerus bangsa dan agama.
Buka logika perbanyak literasi, dunia tak hanya hitam atau putih semata. Ada nuansa lembut berlapis makna dalam setiap diksi kata dan cerita. Perbanyak literasi, luas cakrawala tak kan sesat langkah meski jalan berbeda. Buku adalah jendela, aksara adalah suara yang dengannya kita mengenal dunia lebih nyata.
Dalam tulisan ada ribuan kehidupan membuka mata dan pada beragam pengalaman. Logika yang tajam, hati yang lembut retorika dan amal yang elok dari literasi semua itu terwujud. Jangan berhenti pada batas pandangan, masuklah dalam lautan pengetahuan, buka logika perbanyak literasi mungkin itulah kunci memahami diri.
Gagasan TGH. Munajib Khalid ini juga selaras dengan konsep yang digagas oleh Mortimer J.Alder & Charles Van Doren dalam buku “How to Read a Book” bahwa ada 4 level pembacaan teks sesuai kapabilitas si pembaca.
Pertama, level dasar (Elementary), kedua, memahami (Inspeksif), Ketiga, meneliti (Analitik) dan keempat, membandingkan (Komfaratif/Sintopik), meski tidak persis sama namun terlihat dari dua konsep tersebut persamaan yang begitu jelas.
Yahya Cholil Staquf dalam pidatonya pada hari santri tanggal 22 Oktober 2024 di Gedung PBNU berpesan: “Menjadi santri berarti menjadi kader bangsa yang tidak hanya alim menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan secara luas, tetapi juga Aqil yang berarti cerdas dalam menjalani pergulatan sebagai kader bangsa.”
Kemudian beliau mengutip pesan Nabi Ibrahim yang sering disampaikan oleh almarhum KH. Maemoen Zubair:
عَلىَ الْعَاقِلِ أَنْ يَكُوْنَ عَارِفًا بِزَمَانِهِ وَعَارِفًا بِرَبِّهِ وَمُقْبِلًا بِنَفْسِهِ
Artinya: “Seseorang yang cerdas adalah orang yang memahami zamannya, orang yang bertekun agar dapat mengenal Tuhannya, dan orang yang memfokuskan diri dalam pergulatan, perjuangan untuk mencapai kemuliaan masa depannya”
Santri berjuang untuk negeri dengan tenaga, harta, pikiran dan ilmu pengetahuan dari sejak dahulu kala sampai saat ini, negeri hampir menuju era emas.[]
Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram