Sejarah mencatat bahwa Rasulullah Muhammad SAW sudah menjadi orang yang mapan secara moral dan material sebelum menjadi nabi. Ketika diangkat menjadi nabi pada usia 40 tahun maka sempurnalah sosok Nabi menjadi manusia ruhani.
Pola pentahapan menuju manusia Ruhani ini berlanjut pada sosok Sayidah Khadijah, yang sudah ditakdirkan Allah sebagai pasangan Nabi yang lebih dulu sudah memiliki kematangan sosial, psikologi, material dan moral serta spiritual. Hal ini terlihat dari peristiwa ketika perempuan kaya ini menghibur Nabi yang ketakutan ketika pertama kali bertemu Jibril sang pembawa pesan suci. Dia meyakini bahwa suami adalah calon nabi dan yang menemui adalah Jibril yang memang ditugaskan Allah sebagai pembawa wahyu.
Setelah itu kita mengenal sosok Abu Bakar yang juga seorang saudagar kaya yang memegang prinsip kejujuran. Dia pun menjadi sahabat pilihan yang begitu dicintai dan mencintai Nabi, sehingga rela menyerahkan semua harta benda dan dirinya di jalan Allah, diminta maupun tidak diminta oleh Nabi.
Ini bukti betapa menjadi kaya dengan jalan yang bermoral akan menjadi bekal penting dalam mencapai maqam ruhani bagi siapapun yang kemudian ditakdirkan memiliki iman dan menjadi Islam.
Pada sosok pemuda yang belum mapan secara sosial, psikologis dan material, kita bisa melihat figur Ali Bin Abi Thalib yang sudah memiliki komitmen moral sejak kecil. Ali menjadi contoh pilihan bagi mereka yang tidak kaya untuk tetap optimis bisa mencapai maqam manusia ruhani dengan mengejar kesempurnaan moral dan akal. Bahkan Ali sudah berani menyerahkan nyawanya sebagai pengganti Nabi yang diancam akan dibunuh di tempat tidur beliau. Hanya pemuda berani dan cerdas yang bisa melakukan tindakan patriotik ini.
Dalam batas kenormalan manusia, para sahabat Nabi tersebut (termasuk di dalamnya Umar bin Khattab yang mantan preman dan Utsman bin Affan yang konon sebelum masuk Islam dikenal sebagai orang yang suka mengumpulkan harta, tahta dan wanita) menjadi contoh betapa ikhtiar menuju manusia Ruhani bisa dilakukan oleh siapapun dengan latar bekalang yang ekstrim sekalipun.
Harus disadari hal ini juga membuktikan bahwa Allah lah yang menjadi faktor penentu dari datangnya hidayah pada mereka. Bukan nasab, harta, ataupun pangkat. Namun faktor nasab, harta, pangkat tersebut bisa menjadi wasilah yang dapat mempercepat sampainya seseorang dalam mencapai maqam ruhani dengan izin Allah.
Tahapan menjadi manusia ruhani yang dijalani Nabi dan para sahabatnya sering tidak menjadi perhatian umat akhir-akhir ini. Kita sekarang lebih memperhatikan ekspresi materialnya ketimbang eskpresi substansialnya. Kita sering melupakan proses kematangan di awal, tapi bersemangat memperoleh hasil yang sama dengan para sahabat Nabi. Meskipun hal itu tidak menjadikan tertutupnya ampunan dan hidayah Allah, tetapi ekspresi yang dilahirkan banyak orang (kaya) kota yang baru hijrah (yang latar belakang perolehan hartanya tak “sebaik yang dilakukan para sahabat Nabi”), justru sangat jauh dari apa yang ditampilkan para sahabat Nabi.
Bahkan tak jarang berkebalikan dengan yang dianjurkan Nabi. Mereka seolah sudah menjadi orang yang paling suci dan benar sendiri dengan apa yang mereka sebut “hijrah”. Bahkan dengan harta dan ilmunya yang sedikit, mereka sudah memamerkan keshalehan dengan angkuh. Menuduh orang lain yang berbeda ekspresi keagamaannya adalah bid’ah dan salah, jauh dari sorga dan bahkan masuk neraka. Mereka tiba-tiba menjadi “panitia yaumul hisab” yang lebih berhak mengatur takdir Allah yang hakekatnya hanya Allah yang tahu.
Nabi memang sering mengingatkan kita dengan harta yang haram yang bisa menghitamkan hati dan merusak keimanan. Suapan dari rejeki yang kurang baik atau kurang halal, secara terus-menerus akan menjauhkan kita dari hadirnya hidayah dalam hati. Akibatnya, kesadaran ruhani akan sulit tumbuh dan berkembang dalam pikiran, sikap moral dan perilaku kita. Alih-alih menjadikan hati kita semakin lembut dan penuh kasih sayang, justru menjadikan kita semakin keras hati dan sombong dengan keshalehan simbolik yang kita ekspresikan dalam kehidupan sosial kita.
Sudah saatnya kita sadar dan kembali mencermati keadaan ruhaniah kita detik ini juga. Jangan-jangan keangkuhan material kita, keangkuhan intelektualitas, keangkuhan moral kita banyak dipicu karena proses-proses awal yang kurang bersih, baik niat dan cara kita berproses menjalani hidup sejak dini. Hanya ada satu jalan terbaik untuk membersihkan diri dari semua itu, yakni pertaubatan ruhani dengan menetapkan diri sebagai hamba yang Maha Rahman.
Dalam surat al- Furqon manusia ruhani digambarkan sebagai orang rendah hati, bertutur tegas dengan lemah lembut yang mendamaikan, selalu ingat akan kehadiran Allah dalam segala keadaan, menyeimbangkan khouf dan raja’, tidak boros dan tidak kikir, tidak menyekutukan Allah, tidak membunuh tanpa haq, tidak berzina. Kalaupun pernah melakukan dosa-dosa besar segera ia bertaubat nasuha, bertaubat hanya kepada Allah, dengan selalu menepati janjinya dan menghindari aktifitas sosial yang tak berguna dengan cara yang santun, tidak menunda-nunda perintah kebaikan atau teguran Allah, serta tidak pura-pura tuli atau buta dengan peringatan Allah yang tersurat ataupun tersirat dalam semestaNya.
Ilustrasi: iqra.id
Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya, alumni Partnership in Islamic Education Scholarship, The Australian National University.