SEORANG penggali makam menatap wajah temannya yang berdarah. Ia baru dipukuli orang; Keluarga mayat yang mau dikuburkannya. Penggali makam itu dituduh mengubur mayat manusia layaknya bangkai.
Disekanya lebam itu dengan tanah kuburan. “Orang mati dikubur tiap hari, janganlah kau mati hari ini,” selorohnya. Temannya tertawa lebar, memamerkan gigi-gigi yang menghitam. “Mari kita kembali bekerja!”
Lampu minyak menerangi lima mayat yang harus mereka kubur malam itu. Masih ada ratusan mayat lainnya yang teronggok kaku di dekat tembok Kota Caffa di semenanjung Krimea. Mayat-mayat itu berterbangan. Raja Mongol Janiberg melemparnya dari atas sebuah bukit tanpa belas kasihan. Mayat-mayat itu; pasukannya sendiri yang mati dengan jari tangan menghitam.
Bau busuk lantas menyerbak ke seantero kota. Mengundang ribuan tikus dari atas kapal-kapal di Sungai Don dan Volga. Tikus-tikus ini sebelumnya telah menghabisi Krimea. Lalu menyerang pasukan Mongol yang tengah bersiap membalas dendam. Mayat pasukan Tartar pun bergelimpangan. Yang hidup tidak tahu mengapa kawannya mati.
Siapa yang bisa menahan tikus-tikus berkutu itu menembus benteng Kota Caffa? Bersiaplah. Itu awal kematian semua penduduk Kota Caffa: hanya menyisakan satu orang. Dan ia menyebarkan pes ke seluruh Eropa.
Saat itu memasuki tahun 1346. Awal mula pestilence, disusul kematian hitam (black death) yang mengerikan; 50 juta orang Eropa mati. Populasi dunia berkurang dari 475 juta orang menjadi 350 juta orang.
Suara pacul dua penggali makam memecah kesunyian kota. Seorang kakek tua berjongkok mengawasi. Mulutnya tak berhenti berceloteh menyalahkan orang-orang Genoa yang berlindung di kotanya.
Pikirannya melayang. Terlintas dongeng rakyat Slavia tentang Baba Yaga; seorang nenek sihir yang suka menculik anak kecil dan menyekapnya di izba (rumah kayu tradisional Rusia). Izbanya berbeda; berkaki ayam, tempat orang-orang Slavia kuno biasa menyimpan mayat leluhur mereka. Kali ini Baba Yaga datang bersama Koschey Bessmertniy, penculik pengantin. Kakek tua itu ketakutan, seperti anak kecil.
“Baba Yaga, pergilah!” serunya dengan suara gemetar. Ia teringat cerita-cerita tentang kekejaman bangsa Mongol. Itu lebih menakutkan ketimbang dongeng-dongeng tentang pembawa kematian.
Orang-orang Genoa sebelumnya hidup nyaman di Kota Tana. Oz Beg, raja Mongol yang menguasai kota pelabuhan di utara Laut Hitam itu melindungi mereka. Ia muslim, namun toleran. Pada Paus Yohannes XXII, Oz Beg berjanji akan menghukum mati orang yang mengganggu para penganut Kristen itu.
Setelah mangkat, anaknya Janiberg masih memberi tempat pada orang-orang Genoa. Hingga di tahun 1343, terjadi konflik antara orang Genoa yang kristen dan pribumi Tana yang muslim. Seorang muslim terbunuh. Orang-orang Genoa lari mencari perlindungan di balik tembok Kota Caffa.
Janiberg yang marah menyerang Caffa. Italia ikut campur. Pasokan obat, makanan dan tentara dikirim melalui laut dan singgah di pelabuhan Caffa. Dari belakang, pasukan Janiberg yang tengah bersiap, diserang tikus-tikus pembawa kutu pes. Tentaranya berjatuhan. Tapi Raja Tartar enggan menyerah. Lebih baik mati daripada kalah.
Ajaran Sun Tzu, terngiang-ngiang di telinganya. “Berindaklah setelah membuat penilaian,” sebut filosof Cina di abad ke 6 SM yang menginspirasi Genghis Khan dalam menaklukan sepertiga dunia itu. Janiberg paham, perang tidak mesti head to head. Kemenangan bisa diraih dengan memanfaatkan keuntungan yang ada di sekitarnya.
Janiberg lantas melontarkan mayat-mayat tentaranya yang mati -akibat pes- melewati tembok benteng Caffa. Mayat berpenyakitan ini mencemari tanah, air dan udara. Kutu-kutu menyebar dengan cepat. Orang-orang Caffa mati. Orang-orang italia, kabur ke negaranya, diikuti tikus-tikus coklat Rusia yang menyusup di antara karung dan keranjang barang yang diangkut kapal-kapal kayu besar. Tikus-tikus ini menyebarkan kutu pada tikus pribumi yang menetap di kapal-kapal tersebut. Tikus yang terjangkit hanya bisa bertahan 10 hari, lalu mati. Anak buah kapal gembira. Tidak ada lagi tikus yang mengganggu.
Mereka tidak sadar, ada bahaya yang lebih besar yang tengah mengintai. Menunggu waktu untuk menyerang. Kutu-kutu tikus itu bertahan hidup. Lompat dari inang yang mati ke selimut, baju dan kulit manusia. Di pelabuhan Venice, Genoa dan London, kutu-kutu itu menemukan inangnya yang baru. Tikus-tikus coklat di pelabuhan yang bebas memilih kapal yang bersandar.
Ketika kutu-kutu pembawa pes tiba di Jerman dan Norwegia, orang-orang hanya bisa pasrah. Kutu-kutu pembawa pes tidak bisa dimusnahkan. Bebas hinggap dari tubuh ke tubuh; menebar kematian. Ketakutan menyeruak, ketika melihat mayat-mayat yang membusuk, terbaring begitu saja di jalan-jalan tanpa ada yang berani menyentuhnya. Seorang ibu lupa pada anaknya yang meringis kesakitan saat ujung jari-jarinya membusuk-menghitam. Ibu itu membiarkan anaknya mati perlahan.
Kutu-kutu itu tetap hidup meski inangnya sudah membusuk. Menyebar tanpa penghalang. Manusia akhirnya menemukan evolusinya sendiri. Ada yang mati, ada yang lahir dengan imun lebih kuat. Hingga memasuki abad 19, pes pun dilupakan. Kini orang-orang tua kembali bercerita mengenai wabah itu pada cucu-cucunya. Cerita soal peringatan Tuhan atas saling curiga antar umat beragama. Atas pembunuhan satu nyawa yang sia-sia.[]
Ilustrasi: bolnews.com
Penulis buku harian, suka mengintip fenomena sosial, sekarang wartawan Lombok Post.