Fi Tua adalah pembicaraan falsafi yang berhubungan dengan materi-materi ketasawufan dalam tradisi Islam. Fi Tua berkembang di Bima (Dana Mbojo) dan dianggap menjadi khazanah keilmuan orang Bima (Dou Mbojo).
Di balik kenyataan itu, ada klaim dan anggapan bahwa Fi Tua adalah sebuah ajaran rahasia yang harus disembunyikan. Saya menangkap kesan adanya elitisme dalam mempelajari agama ala Fi Tua. Sebab Fi Tua hanya bisa dipercakapkan di ruang tersembunyi dan jarang disampaikan di ruang publik, di tempat terbuka, serta tidak boleh kepada sembarang orang.
Oleh karena Fi Tua terlanjur diyakini sebagai sesuatu yang cenderung rahasia dan dirahasiakan, maka ajaran Fi Tua dan segala yang terkandung di dalamnya harus disembunyikan. Dengan meyakini Fi Tua sebagai ajaran rahasia, maka ketika dipercakapkan secara terbuka, diyakini akan menghadirkan akibat buruk untuk mereka di mata gurunya, juga akan berakibat pada “caba” (tak bertuah) rahasianya.
Realitas Rahasia dalam Filsafat
Realitas dalam tradisi filsafat digambarkan sebagai sesuatu yang berlapis, yang tersusun dari level paling rendah hingga ke realitas tertinggi. Susunan realitas bersifat piramida dan rahasia tentu saja dimasukan ke realitas puncak. Jadi, lapisan realitas itu ada empiris, metaempiris, trans-metaempiris, dan infinitum. Dalam tradisi filsafat, rahasia hanya berada pada puncak realitas, yakni realitas infinitum.
Di sinilah kita jumpai setiap realitas memiliki status ontologisnya sendiri. Misalnya realitas “empiris” menggambarkan data yang bersifat persepsi inderawi, kemudian realitas “metaempiris” menggambarkan data rasional-logis, sementara pada realitas “trans-metaempiris” mewakili kenyataan eksistensial dan intuisi, dan pada realitas infinitum” mengandaikan entitas “tak terhingga” transendental, mistikal, dan mysterium.
Meminjam pendakuan Mohd. Sabri AR dalam ulasannya tentang kitab suci dan filsafat mistik, bahwa “kitab suci Al-Qur’an diyakini sebagai titah kudus Tuhan yang melintas secara emanatif dari realitas infinitum dan Yang Ilahi melalui proses transmisi dari sunyi-senyap yang mutlak ke bunyi transendental, dari bunyi ke texere dei (teks-teks “langit”), dari texere dei kemudian terlontar ke dalam jantung suci Sang Nabi Muhammad, lalu dituturkan dalam “bahasa kaumnya”, lalu proses literasi berbahasa Arab untuk kemudian dimapankan dalam bentuk kitab”.
Baca Juga: Tarekat Tua dan Idul Adha
Dari perspektif di atas digambarkan keberadaan Kitab Suci Al-qur’an mengalami proses dari sunyi-senyap ke bunyi, dari bunyi ke teks-teks langit dan dari teks-teks langit kemudian terlontar dalam jantung suci yang dituturkan dalam bahasa kaumnya (Bahasa Arab).
Dengan bersandar pada konstruksi realitas rahasia dalam tradisi filsafat di atas, dapatlah dikatakan bahwa terjadi kekeliruan yang diwariskan secara turun-temurun manakala Fi Tua diandaikan sebagai realitas rahasia seutuhnya.
Semestinya sebuah realitas dikatakan realitas rahasia hanya ketika realitas itu tiada lagi bunyi, bayangan, huruf dan kata-kata yang bisa mewakili. Namun sesuatu yang dianggap rahasia ketika masih bisa diucapkan secara verbal, atau masih bisa dibayangkan, dipikirkan, dan dirasakan maka itu bukanlah rahasia.
Mengilmui Fi Tua
Sudah saatnya beranjak dari salah kaprah soal rahasia kepada ilmu. Kitab-kitab lama sudah harus dibongkar, dibedah, dibaca dan dihidupkan lagi makna-makna yang terkandung di dalamnya. Sehingga ajaran Fi Tua benar-benar menjadi sumber etik. Sebuah ajaran yang menjadi pegangan moral dan etik bagi Dou Mbojo, juga bagi dunia.
Jika Fi Tua dapat diandaikan sebagai filsafat lokal yang mengekspresikan nilai-nilai keluhuran dan kearifan etnik Mbojo, maka Fi Tua bersumber langsung dari Tuhan, dari manusia, dari Al-qur’an dan dari alam.
Fi Tua lahir dari hubungan dialektis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya dan sesama, manusia dengan al-Qur’an, serta manusia dengan alam. Pada titik inilah Fi Tua telah dan akan menjadi basis etik pandangan hidup sepanjang dapat terjaga jika senantiasa disemaikan dalam kehidupan sosial keagamaan dan sosial-kultural.
Sebagai ilmu, Fi Tua sudah dan akan terus mengisi tumbuh kembangnya ilmu sosial, eksakta dan humaniora. Sebab ilmu-ilmu itulah yang mewarnai dan menggerakkan kemajuan kehidupan peradaban “dou labo dana mbojo”.
Fi Tua juga telah melintasi jalan panjang, berjumpa dengan kebudayaan-kebudayaan besar dunia seperti kebudayaan yang datang dari India, Arab dan Persia maupun kebudayaan modern yang datang dari Eropa. Selain kebudayaan besar dunia, tentu saja kebudayaan periferi juga masuk mewarnai khazanah Dana Mbojo.
Semisal pada kebudayaan material seperti gendang, gambus dan biola yang mewakili tiga arus kebudayaan besar dunia. kita jumpai telah berubah wajahnya, menjadi menyatu dalam wajah ke-Bima-an yang khas baik dari bentuk maupun pada tatcara memainkannya. Lihatlah bagaimana pembuatan biola dan permaian biola Mbojo. Pada titik inilah Fi Tua mendapati bentuk dan corak yang khas mewarnai Dana Mbojo sebagai taman sari peradaban.
Islam memiliki universalitas nilai, ia masuk dalam jantung kehidupan Dou Mbojo. Nilai-nilainya tetap berada pada balutan kearifan-keluhuran Fi Tua. Bahan baku Fi Tua bersumber dari ajaran Islam yang diandaikan sebagai syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat. Sehingga ketika ajaran itu disuguhkan di Dana Mbojo, tetap saja subjek Dou Mbojo memiliki kemampuan mengadaptasikan segala model ajaran yang masuk ke dalam jantung kehidupannya.
Pada kenyataan lain saat ini, saya dapati semacam ada jejak kecenderungan untuk melanggengkan bangunan elitisme spiritual yang membonsai Fi Tua. Atau boleh jadi sebaliknya elitisme Fi Tua sebagai ekspresi spiritualitas-kegaamaan Dou Mbojo.
Seperti pada kisah, bahwa ada dua orang bima yang tinggal dan hijrah, kemudian terucaplah kalimat seperti ini; “Nggomi ma lao labo tiwi ro loa, nahu ma midi labo bisa ro guna“. Frase Dou ma loa, dilekatkan atau disandang oleh orang berilmu atau memiliki kecakapan intelegensi. Sementara frase Dou ma ‘bisa ro guna dilekatkan kepada orang yang sakti mandraguna. Fi Tua acapkali diandaikan sebagai ajaran kesaktian. Atas dasar itu pula Fi Tua dirahasiakan dan tidak ditransformasikan kepada sembarang orang, di sembarang tempat dan waktu.
Sudah saatnya kita meletakkan Fi Tua ebagai sumber “keluhuran purba” etnik Mbojo. Dan ke depan, kita akan dapati khasanah Fi Tua tidak lagi menjadi serba rahasia, tetapi Fi Tua dapat kita jumpai sebagai sumber ajaran etik sekaligus kekayaan intelektual bagi Dou labo Dana Mbojo. Mengapa tidak bagi warga dunia juga.[]
Ilustrasi: Tarmizi A Hamid
Peminat kajian sufistik, Direktur Rumah Cita
Mada baru dengar istilah itu bang. Mungkin bisa di artikan lebih detail tentang “fi tua”.
Makasih ilmunya bang. Belum berani ikut koment, jadi penikmat saja.