INI tentang Leura, kampung konservasi di kawasan wisata Katoomba pegunungan Blue Mountains, New South Wales (NSW), Australia, 100 kilometer sebelah barat kota Sydney. Dengan kereta api ditempuh 2 jam dari Central Station dan selisih sepuluh menit lebih cepat dengan mobil.
Kampung ini mulai ditata tahun 1890an dengan cita rasa romantisme Eropa. Rumah-rumah tua dengan taman bunga, deretan pertokoan dengan jejeran café dan restoran, serta hunian-hunian turisme yang eksotik. Sisi-sisi luarnya tentu penuh dengan farm, camping area, trecking untuk bush walking, dan spot ‘lookout’ untuk meneropong dan menerobos batu karang Three Sisters. Pancaran warna biru dan wangi khas daun eucalyptus (kayu putih) menyelimuti kota ini tiada terkira.
Leura dikenal sebagai ‘kampung taman’, karena setiap sudut dan lekukannya dipenuhi taman-taman dengan bunga-bunga yang indah. Rumah-rumah yang punya taman terbaik dibuka bagi siapa saja di waktu-waktu tertentu setiap tahun. Saat Spring tiba, di bulan Oktober, ada Leura Garden Festival. Publik bisa menikmati bunga-bunga camellia, azalea, hellebore dan sebagainya dari koleksi taman-taman legendaris.
Taman-taman itu adalah daya tarik saja untuk mewadahi suatu amal usaha fund raising bagi rumah sakit setempat. Saat kami berkunjung ke sana di hari terakhir weekend (Minggu) bulan Oktober, bunga-bunga itu tinggal sisa-sisa, yang masih marak adalah berbagai hasil karya kerajinan dan makanan-minuman setempat atau dari luar.
Rindu Komunalisme
Di balik eksplorasi keindahan untuk ekonomi dari hiruk-pikuk ini, saya duga ada dimensi kultural yang sedang bekerja. Tidak sepenuhnya, tetapi itu direfleksikan oleh beberapa representasi. Konsep mengenai ruang publik Habermasian, misalnya, terasa melingkupi event ini. Orang-orang dari berbagai kalangan datang untuk melakukan kontak dan berinteraksi di Leura Garden Festival. Dengan itu mereka menerobos ruang privat-domestik yang terbangun kokoh oleh peradaban individualisme. Orang-orang Sydney yang ‘kota’ menjadi lebih akrab dengan orang-orang desa di pegunungan yang jauh.
Tahun demi tahun festival ini diadakan telah menghadirkan proses sosial bagi konstruksi komunalisme baru. Homestay, pasar rakyat, dan cafe adalah koridor-koridor yang memungkinkan kelas dan latar belakang sosial berkumpul, tidak saja secara fisik tetapi juga kebudayaan. Isi benak, gagasan, dan cara pandang akan dunia, dunia batin dan bahkan ideologi berbaur silang sengkarut.
“Saya biasa datang ke sini tiap tahun, dan menjadi akrab dengan orang-orang dan lingkungan di sini,” kata Tarek Sawiris, musisi Mesir. Tarek – yang mengingatkan saya pada Paox Iben dan teman-teman Warung Jack di Taman Budaya Mataram itu (karena gimbal) – tidak saja menjajakan alat-alat musik padang pasir di situ, tetapi juga mengajak siapa saja untuk belajar menipuk katipu atau gendang tabla dan rebana.
Diana dari kota Sydney juga datang memperkenalkan budaya herbal Araucana dari Amerika Latin, katanya sebagai ‘perlawanan’ bagi hegemoni rezim kosmetik kapitalisme. Keren.
Anak-anak, remaja, dan tua memainkan biola atau gitar dengan bahagia, ada atau tiada orang melemparkan koin. Mereka ingin berbagi rasa dan mendekatkan jarak budaya. Sangat membahagiakan.
Barang-barang tua dan antik tidak ketinggalan, justru mengajak untuk meniti romantisisme masa lampau dan mendialogkannya dengan perkakas budaya kekinian. Produksi-produksi kreatif pedesaan menemukan etalase bagi ‘speak-out’ akan cara dan gaya hidup suatu klaster sosial yang bernama peasant community.
Transaksi bisnis dalam festival itu tentu mekanisme kapitalistik. Tetapi barter koin-barang dengan murah begini – bersama budaya Sunday Market’ dan ‘Garage Sale’ atau praktik ‘buang barang yang masih layak pake untuk dipungut oleh yang butuh’ – adalah cara kritik diam-diam orang modern terhadap elemen-elemen kapitalisme.
“Saya sudah 20 tahun lebih hidup di sini, hidup kami butuh berbagi, jika tidak apa jadinya?” kata Wayan orang Bali yang memperistri perempuan Australia.
Lain kali saya ingin bercerita bagaimana diaspora berlangsung di sini. Termasuk tentang keluarga Bima-Australia yang kami kunjungi. Bagaimana kaki langit Leura dengan hamparan eucalyptus mendekatkan mereka dengan citra kampung halaman asal, dan cara anak turunan mereka mempersepsi diri dan membangun identitas kultural.
Orang-orang yang bersama kami di kereta api dari Sydney, berjubelan satu sama lain, digerakkan oleh rindu komunalisme sosial. Mereka yang nenek moyangnya dari Britania Raya dapat bersua dengan romantisme itu di Leura.
Dua orang gadis yang duduk berdesakan di tangga sempit kereta itu menarik perhatian saya. Jujur, karena mereka cantik-cantik, satu saya duga Britania satunya Arab. Sayang, karena etik saya tidak dapat memotretnya. Tapi perbincangan mereka tentang pemandangan dari balik jendela kereta api sempat saya nguping, dan itu yang penting.
Sambil melihat ke jendela kereta, gadis Britania bertanya tentang bahasa Arab-nya pohon. “Sajara,” kata si Arab. Lalu bahasa Arabnya batu, tanya si Britania lagi. “Hejara,” jawab si Arab. Lho, kok mirip ya, kata si Britania, dan mereka pun tertawa bersama.
Saya yang Indonesia, juga penumpang dari India dan Cina yang dari tadi sibuk bercengkerama, tak tahan untuk tersenyum.
What a great encounter, and Leura make it happens!
Foto: Aba Du Wahid
Pegiat literasi dan peminat sufisme lokal