Buku Itu Mahal Harganya: Tribute untuk Taufik Abdullah

SEPULANG KULIAH siang itu, saya mendapat informasi dari mading kampus, bahwa Pak Taufik Abdullah sedang berada di Yogyakarta. Teman-teman Angkatan Muda Muhammadiyah Yogyakarta sebagai sohibul hajat mengundang Pak Taufik untuk membicarakan bukunya yang berjudul Sekolah dan Politik Pergerakan Kaum Muda di Sumatera Barat 1927-1933 yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah tahun 2018 lalu.

Kegiatan rutin Jum’at malam Angkatan Muda Muhammadiyah tersebut memang selalu ramai oleh seluruh mahasiswa berbagai kampus, walau itu acara anak-anak Muhammadiyah, tapi domain dan tema diskusi yang diangkat tak selalu soal Muhammadiyah. Tentu yang pernah berkuliah di Yogyakarta familiar dengan kegiatan tersebut. Setelah mempertimbangkan jarak dan transportasi saya menghadiri kegiatan tersebut. Itu pertama kali saya ikut kegiatan tersebut dengan niat ingin bertemu Pak Taufik Abdullah, sejarawan terkemuka itu.

Pak Taufik Abdullah berhasil menempuh studi di Amerika Serikat dengan baik, petualangannya di Amerika mendahului fenomenalnya “Tiga Pendekar Chicago”. Walau dari segi usia Buya Syafi’i Ma’arif lebih tua tujuh bulan namun telat menyelesaikan pendidikan doktoralnya. Pun kehebatan Kuntowijoyo di negeri yang sama. Bisa dibilang beliau adalah senior dari mereka-mereka di atas itu.

Baca Juga: ‘Melawan’ Cak Nur

Usia sepuh yang menginjak 83 tahun tak membuatnya tinggi hati, sebelum kegiatan dimulai, saya dan peserta lain menunggu di luar ruangan, di sinilah, sifat egaliter seorang Taufik Abdullah: tak sungkan menyapa kami yang muda. Saya pun berbincang singkat dengan Pak Taufik, menanyakan studi di mana dan seterusnya. Begitulah seorang ilmuwan hendaknya, egaliter dan bersahaja, agar tak dipandang sinis oleh publik. Sikap itu juga agar seorang ilmuwan tak berjarak dengan publik yang menjadi objek akhir setiap studi-studinya. Ya, pengabdian kepada masyarakat!.
***

Buku yang berasal dari disertasi doktoralnya di Cornell University itu sebelumnya memang telah terbit di Amerika Serikat tahun 1971. “Jadi saya sangat berterima kasih kepada Suara Muhammadiyah, karena setelah hampir puluhan tahun buku ini baru diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan serius,” paparnya dalam acara bedah buku itu.

Hal tak lazim memang dialami buku tersebut, di saat banyak penerbit-penerbit buku berlomba ingin menerbitkan naskah hasil disertasi doktoral seorang tokoh yang baru saja menyelesaikan studi. Fresh from the oven belum memihak kepada buku ini. Sejauh pelacakan yang saya lakukan, buku ini sebenarnya telah terbit dalam versi bahasa Indonesianya tahun 1988 oleh Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang. Mungkin, karena yang menerbitkan adalah sebuah institusi pendidikan, jadi gaung buku tersebut kurang mendapat perhatian publik luas.

Baca Juga  "Lingi" Asi Tanpa Alan Malingi (Obituari untuk Alan Malingi)

Buku tersebut menggambarkan gerakan dan pembaharuan yang dilakukan oleh Kaum Muda di Sumatera Barat, dengan latar belakang sejarah, dalam buku tersebut Pak Taufik menjelaskan secara kronologis gerakan Kaum Muda tersebut. Istilah Kaum Muda itu, mula-mula digunakan oleh dr. Rifai, seorang Minang yang belajar di Belanda. dr. Rifai ada seorang dokter sekaligus wartawan dan menulis banyak sekali artikel. Salah satu artikelnya menyebut bahwa masa depan tanah Hindia Belanda ini tergantung Kaum Muda itu. Sebab, kaum mudalah yang mampu berpikir maju dan modern. Perdebatan agama atara Kaum Muda dan Kaum Tua menghabitus, dan  menjadi tradisi di Minangkabau. Kaum Muda yang menjadi motor penggerak pembaharuan agama di Sumatera Barat yakni Syekh Jamil Djambek, Dr. Abdullah Ahmad dan Dr. Karim Amrullah, ayah dari Buya Hamka. Sedangkan Kaum Tua adalah Syekh Jamil Jaho, Syekh Abbas Ladanglawas dan Syekh Sulaiman Arsuli”. Jelas Pak Taufik Abdullah.

Terjadi konflik antara Kaum Muda vis a vis Kaum Tua dalam perdebatan tersebut. Seperti pada perdebatan umumnya, perdebatan antara Kaum Muda dan Kaum Tua tersebut tidak menemukan konklusinya. Dua entitas ini akhirnya sama-sama membangun basis organisasi agar pikiran-pikiran mereka tetap bergaung. Kaum Muda akhirnya mendirikan Persatuan Guru-Guru Agama dan Kaum Tua mendirikan Perti. Tetapi menurut Pak Taufik Abdullah, kronik yang paling menetukan dalam pergerakan itu adalah pemberontakan PKI (Islam) di Minangkabau pada tahun 1927 yang melibatkan kedua golongan tersebut, dan akhirnya mereka dibuang ke Digoel dan sekolah-sekolah agama dilarang berpolitik.

Situasi tersebut membuat organisasi modernis yang lebih banyak diterima oleh Kaum Muda yakni Muhammadiyah mendapat tempat. Karim Amrullah, ayah Buya Hamka setelah mengunjungi Pulau Jawa dan bergabung dengan Muhammadiyah, akhirnya mendirikan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Uniknya, setelah Muhammadiyah itu didirikan oleh Karim Amrullah, muncul juga Muhammadiyah-Muhammadiyah lain yang didirikan oleh tokoh-tokoh lain, namun bukan sebagai penolakan atas Muhammadiyah yang didirikan oleh Karim Amrullah.

Baca Juga  Argumen Kesetaraan Gender Fatima Mernissi

Baca Juga: Tuan Imam: Representasi Ulama-Umara di Bima

Tahun1929 memang menjadi puncak dalam pergerakan Muhammadiyah di Sumatera Barat, karena waktu itu semua Muhammadiyah yang didirikan itu melebur menjadi satu dan Muhammadiyah berhasil melaksanakan kongres di Bukittinggi yang konon terbesar di Indonesia waktu karena dihadiri puluhan ribu peserta.

Tak lupa dalam penjelasannya tersebut Pak Taufik penuh dengan joke-joke, membuktikan bahwa beliau adalah seorang yang humoris dan bersahaja.
***
Beberapa karyanya yang lain dalam bidang antropologi, Pak Taufik menjadi editor buku tebal yang berjudul Sejarah Kebudayaan Islam. Selain itu, dalam karyanya yang cukup terkenal dan menjadi bacaan wajib mahasiswa sejarah adalah Sejarah Lokal dengan penuh nuansa kajian antropologi masyarakat.
Melalui diskusi buku tersebut dan lewat penjelasannya membuktikan bahwa Pak Taufik Abdullah adalah seorang ilmuwan “par exellence” meminjam Istilah Buya Syafi’i Ma’arif, dengan menguasai beragam keilmuan. Mulai antropologi, sosiologi dan keislaman yang mendalam dalam setiap kajian-kajian sejarahnya.
Pertemuan singkat saya dengan Taufik Abdullah memberi warna tersendiri ketika saya melihat peristiwa sejarah agar tidak hitam-putih sejarah, pun ketika di kelas banyak membahas pergerakan di Sumatera Barat, saya merasa memiliki sedikit otoritas untuk melihat persoalan itu, tak jarang saya berdiskusi dengan kawan-kawan Minang yang manggut-manggut mendengar penjelasan saya yang banyak saya ambil dari buku-buku Pak Taufik. “Karena belum tentu mereka tahu sejarah daerahnya” begitu saja saya yakini dalam hati.

Kini seorang sejarawan itu sudah berusia 85 tahun, beragam karya sudah dihasilkan, dan terus berkhidmat pada ilmu pengetahuan, dan tetap memberi teladan kepada ilmuwan muda lainnya. Dengan karya yang melegenda Sekolah dan Politik itu, ketika acara itu selesai, banyak kawan-kawan peserta yang memburu buku itu, tapi saya enggan untuk membelinya, karena sebagai mahasiswa kere harga buku itu terlalu mahal menurut saya.

Selamat Pak Taufik Abdullah, semoga Tuhan memberkahi.

Ilustrasi: tribunpekanbaru.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *