Satu Buku Berbeda Halaman

SUNNATULLAH meniscayakan manusia untuk harus tunduk dan takluk pada perbedaan sekalipun dalam tataran tertentu manusia berada dalam satu kesamaan; satu gen, satu darah, satu atap, satu kamar, satu turunan, satu lembaga, satu komunitas, satu hidangan, satu keyakinan, dan satu budaya. Banyak ayat yang memberi isyarat bahwa perbedaan itu sunnatullah yang tidak bisa diingkari dan tidak bisa ditutupi baik oleh persepsi maupun oleh aktivitas nyata. Tidak pula bisa dibantah apalagi didustai, karena perbedaan itu memang ada, memang nyata, dan niscaya.

Coba kita tengok kenyataan dalam satu keluarga yang memiliki kesamaan gen, kesamaan darah, kesamaan budaya, kesamaan pola hidup, dan kesamaan menu makanan dan menu edukasi, kenyataannya tidak sedikit diantara saudara kandung yang memiliki sikap, pola pikir, dan kebiasaan berbeda dari saudara kandung yang lain. Padahal dalam satu keluarga sangat sedikit jalan untuk mesti berbeda, karena menu-menu kebutuhan dasar yang diterima cenderung sama. 

Dalam satu komunitas dengan persamaan visi dan misi yang diusung, persamaan tujuan dari keberadaan mereka di komunitas tersebut, tidak sedikit pula dari anggota komunitas yang memiliki sikap dan komitmen yang tiba-tiba berbeda. Di awal ada komitmen, ada kesadaran dan pemahaman yang sama tentang visi ke depan, namun tetap saja ada perbedaan dari unsur-unsur komunitas itu.

Dalam beragama sekalipun mengaku satu keyakinan, satu kitab suci, satu Rasul, satu madzhab, bahkan satu wadah sosial keagamaan, banyak kita temukan perbedaan-perbedaan yang semestinya tidak terjadi. Dalam aktivitas ibadah misalnya terjadi perbedaan, dalam aktivitas sosial dan muamalah ada juga perbedaan, dalam sikap beragama pun ada pula perbedaan, sampai kepada model dan ruang sebagai wadah untuk beribadah terjadi juga perbedaan.

Dalam lembaga pendidikan dengan barang dagangan yang sama yakni kurikulum dan materi ajar sama, guru yang mengajar sama, metode dan strategi yang digunakan sama, jam dan waktu yang dihabiskan sama, ruang kelas yang dimanfaatkan sama, semestinya produk atau outcome yang dihasilkan harus sama dan hasil evaluasi juga harus sama, namun lagi-lagi kita mendapatkan sesuatu yang berbeda. Terlepas dari perbedaan internal dari seluruh peserta didik.

Baca Juga  Metafora Membaca "Cover to Cover"

Ternyata dalam kesamaan itu selalu ada yang tidak sama dan selalu ada yang berbeda. Mungkinkah itu untuk sebuah keindahan, atau untuk suatu keunikan, atau untuk suatu seni, atau untuk suatu celah bagi kita agar dapat berdiskusi, berdialog, tukar pikiran tentang Tuhan dan ciptaan-Nya?. Sebagaimana dinyatakan dalam satu ayat di surah ketiga ayat 191 “wayatafakkaruuna fii khalqis-samaawaati wal ardhi” … dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Bahwa di dalam penciptaan alam semesta itu ada perbedaan yang menjadi rahasia untuk didialogkan.

Perbedaan-perbedaan itu ada di mana-mana, ada disetiap kondisi, ada disetiap elemen kehidupan, ada disetiap situasi, ada di rongga-rongga kehidupan kita, ada di tengah aktivitas kita, ada di dalam komunitas kita, ada di dalam diri kita. Dalam dunia sastra di kenal dengan istilah “Satu buku berbeda halaman”, itulah takdir dan sunnatullah yang selalu menghadirkan perbedaan dalam sesuatu yang kita lihat sama. Itulah keniscayaan yang Tuhan sudah sampaikan lewat pesan-pesan moral dalam firmannya, salah satunya dalam al qur’an surah ke 49 ayat 13 “Waja’alnakum syu’uban waqab ila lita’arafu”. Dan Aku ciptakan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal. Artinya jangan pernah ada sedikitpun dalam benak kita untuk berhasrat ingin sama, mau sama, dan berupaya untuk sama. Tetapi tetaplah kita sadari bahwa Tuhan memang mentakdirkan perbedaan itu.

Baca Juga: Memahami Kematian, Menghargai Arti Hidup

Jadi penting bagi kita untuk awas bahwa di setiap waktu, setiap tempat, setiap kondisi, dan setiap kedaan tetaplah pada posisi sadar bahwa di sana ada perbedaan, sehingga hidup menjadi damai, hati menjadi nyaman, pikiran menjadi tenang, pendengaran menjadi indah, pengelihatan menjadi teduh, dan sikap menjadi bijaksana. 

Baca Juga  Membaca Tafsir Sosial Dawam Rahardjo

Untuk sebuah ketenangan dan keberterimaan dalam menyimak dan memahami pesan Tuhan atas takdir berbeda tersebut, Nabi menyederhanakan maksud pesan Tuhan melalui sabdanya, “Ikhtilaafu Ummati Rahmah“. Perbedaan di tengah umatku adalah membawa rahmat. Maksudnya, Perbedaan itu akan menjadi rahmat apabila kita menyadari bahwa dalam perbedaan itu ada distingsi, ada kompetisi, ada keunggulan, ada keunikan, ada seni, dan ada penciri yang memberi kekhasan.

Jadi dengan menyadari bahwa perbedaan itu rahmat akan menuntun kita untuk menemukan bahwa didalam ciptaan Tuhan itu terhimpun keindahan, keunikan, multi talent dan multi creations. Maka pujian terhadap Tuhan lebih pantas diberikan ketimbang membenci perbedaan. Itulah akhlak yang semestinya kita perlihatkan sebagai wujud dari seorang hamba yang menggunakan akalnya.  

Pantas bagi kita yang mau berpikir untuk harus dan mesti berterima kasih kepada Tuhan atas adanya perbedaan itu. Dengan perbedaan itu jika kita benar-benar menyadarinya, maka kita akan menjadi manusia yang paling sukses dan paling berhasil menjadi manusia. Baca surah ketiga di ayat 110 “Kuntum khairo ummatin ukhrijat linnas” Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.

Ilustrasi: pixabay.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *