Ibu, Aku Keliru, Maafkan!

“Walaupun tidak salah, tapi aku telah melukai perasaannya”

INI kisah nyata, pengalaman haru, dan penuh renungan dan sarat makna.

Saat itu, di pertengahan 2000-an, usiaku sudah tidak muda lagi, sudah memasuki kepala 4. Aku sudah berkeluarga dan memiliki 2 orang anak. Aku tentu tidak anak-anak lagi, dan usia ibuku, saat itu, sudah menjelang 70 tahun. Dia menjadi kekuatanku dan inspirasi hidupku.

Saudaraku, tubuh tua ibuku melemah, walaupun dia selalu berusaha memperlihatkan raut gembira jika aku pulang kampung. Aku tahu tubuhnya ringkih; jalannya tertatih; bahkan dia harus berjalan lambat, terkadang berhenti sebentar untuk mengumpulkan tenaga.

Kondisi fisiknya menurun drastis, karena termakan usia, dan efek dari beban spirit muda-keibuannya yang terus memperjuangkan masa depan kami, anak-anaknya, 7 orang.

Kondisi fisik ibuku yang melemah ini membuat aku menjadi semakin menyayangi, merindukan, dan tidak lupa terus mendoakannya. Sekarang, dia telah lama pergi ke kampung keabadian.

Tidak terasa, terkadang ada bening tetes air mata membasahi pipiku saat aku membayangkan beban berat perjuangan ibuku, seperti saat aku menuliskan renungan ini.

Aku selalu terjebak dalam emosi rindu yang mendalam, dan sedih saat kembali ke kenangan saat-saat ibuku masih hidup.

Saudaraku, subuh masih agak gelap, ibuku sudah ke sawah. Pulang sebentar untuk salat Dzuhur, dia sering kembali lagi ke sawah.

Dia tidak lelah untuk kami, anak-anaknya, karena penghasilan ayahku sebagai guru agama tidak cukup untuk menopang hidup kami.

Saudaraku, aku merasa sangat kecil dalam luapan spirit ibuku yang sangat menyayangi kami. Di usia senjanya, dia sering mengatakan “kangen” untuk bertemu aku yang jauh di perantauan, Jakarta.

Kalau sudah seperti ini, aku pasti akan mencari waktu untuk pulang, untuk menghapus rasa rindunya. Ingin rasanya aku menghiburnya setiap saat, membuatnya bahagia, tersenyum sepanjang hari, untuk dia melihat kenyataan mimpi indah obsesif kasih-sayangnya.

Baca Juga  Memahami Kematian, Menghargai Arti Hidup

Suatu saat, aku pulang kampung, untuk melepaskan rindu pada ibuku, juga ayahku. Rasa kasih-sayang ibuku menuntunnya selalu memasak menu kesukaanku, walaupun menu itu sederhana menurut selera orang kota.

Ibuku terlihat obsesif, memaksakan diri memasak untukku, dan ini sudah menjadi kebiasaannya.

Saat makanan sudah dihidangkan, dan kami sudah siap makan, aku lalu meraih piring kosong yang tertata rapi, untuk mengambil makan kesukaanku.

Saat aku meraih piring kosong, tangan ibuku juga bergerak mau mengambil piring itu. Tapi gerak tangannya yang lemah kalah cepat dari gerak tanganku. Matanya sayunya menatap tajam wajahku.

Saat mataku mengamati wajahnya, ada tetes bening di pipinya yang kriput. Inilah titik mula renunganku, kesedihanku yang mendalam; kesedihan yang tidak akan pernah aku lupakan.

Ibuku terdiam saat piring kuraih. Sesaat, tidak ada kata yang keluar dari bibirnya yang terlihat kelu. Tapi bening tetes airmata membuatku merasa bersalah, dan berpikir bahwa aku telah melukai perasaannya. Ya Allah, apa salahku sampai ibu meneteskan airmata? Pasti ada kesalahan fatal yang telah aku lakukan, sampai ibuku meneteskan air mata.

Aku salah tingkah di depan ibuku yang kemudian mengusap airmatanya. Dalam keheningan, dia bergumam “Noryamin sudah tidak mau disayang lagi ya sama ibu? biasanya kamu tidak menolak kalau diambilkan makanan oleh ibu”. Ya Allah, ternyata “kebiasaan dia mengambilkan makanan untukku adalah jalan kebahagiaannya”.

Aku tidak tahu hal itu, dan aku telah merampas rasa bahagia itu darinya.

Saudaraku, saat meraih piring kosong, aku hanya berpikir praktis untuk tidak merepotkan ibuku yang sudah semakin lemah. Aku ingin di hari tuanya, dia tidak lagi direpotkan olehku, dan cucu-cucunya.

Baca Juga  Mata Air Air Mata (2)

Bahkan aku ingin dapat melayani segala keperluannya. Aku ternyata salah. Justru kerepotannya melayani aku adalah kebahagiaan abadinya.

Inilah cinta tulus ibu yang tak berbatas. Membahagiakan anak-anaknya adalah kebahagiaan abadinya.

Saudaraku, jika suatu saat, ibumu mau melakukan sesuatu untukmu, seperti memberi buah tangan untukmu, atau hanya sebatas mengambilkan makanan kesukaanmu, maka, jangan tolak niat baik ibumu.

Biarkan dia melakukan itu semua. Siapa tahu pemberian buah tangan itu adalah kebahagiaan tersendiri baginya.

Jangan rampas kebahagiaannya hanya kita tidak peka menangkap tanda-tanda kebahagiaan ibu, orangtua kita.

Saudaraku, ini kisah sederhana. Tapi kesederhanaan ini justru menjadikannya terlupakan, lalu menjadi awal dari kesedihan orangtua kita, terutama ibu.

Kita, sebagai anak, adalah media ekspresi kebahagiaan orangtua kita. Ya Allah ampunilah segala kesalahannya, terimalah segala kebaikannya, terangi dan lapangkanlah kuburnya, dan jadikanlah kuburnya sebagai taman surga-Mu untuknya. Amin.

Tiba-tiba aku rindu ibu.()

Pamulang, 14 Syawwal 1441 H)

Ilustrasi: pixabay.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *