Pemikiran-pemikiran Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) di bidang tafsir, teologi apalagi sastra tampaknya sudah banyak yang mengkajinya. Tetapi gagasan-gagasannya tentang politik dan demokrasi masih jarang kalau bukan tidak ada. Padahal Hamka bukan sekadar bermain di ranah wacana melainkan menjadi pelaku aktual dari politik. Ia adalah juga seorang politisi.
Heri Herdiawanto, Wakil Dekan FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, termasuk yang sedikit itu. Ia mengangkat judul “Islam dan Negara: Studi Pemikiran Politik Hamka tentang Demokrasi dan Dasar Negara Pancasila” sebagai penelitian disertasinya di Universitas Indonesia, Jakarta. Heri sudah dinyatakan lulus ujian doktoral.
Dalam webinar, Ahad (14/2/2021), riset ini menarik perhatian khususnya kalangan akademisi. Sejumlah profesor dan doktor memberikan tanggapan atas pemikiran Hamka ini baik sebagai panelis, penanggap maupun peserta.
Heri mengajukan tiga alasan mengapa gagasan politik Buya Hamka menarik dibedah. Pertama, Buya itu multitalenta: budayawan, sejarawan, wartawan, sastrawan, ulama, tokoh Muhammadiyah, pahlawan nasional, politisi dan lain-lain. Hal itu terlihat dari jejak karya maupun kiprahnya. Budi Johan dari Pusat Studi Buya Hamka (PSBH), UHAMKA, mencatat Hamka menulis 128 buku. PSBH, yang juga sudah menyusun hampir 2 jilid Ensiklopedia Buya Hamka bahkan tetap kesulitan mengelompokkan sosok Hamka. Ia manusia multidimensi.
Kedua, unik karena Hamka otodidak, moderat, inklusif tapi bersikap tegas mempertahankan prinsip dan keyakinannya, termasuk pada dua rezim (Orde Lama maupun Orde Baru). Ketiga, penting karena Hamka bukan saja tidak menolak demokrasi melainkan terlibat langsung dalam konstelasi politik melalui partai Masyumi.
Baca juga: Cara Tolak Bala dalam Politik
Dalam perdebatan di Majelis Konstituante 1956-1959 Hamka adalah salah satu juru bicara Masyumi paling otoritatif, di samping Natsir dan lainnya. Disertasi Heri berfokus pada 3 poin penting yakni mengenai pandangan Hamka tentang demokrasi, Pancasila dan dasar negara, serta posisi Hamka dalam pemikiran politik Islam.
Perdebatan tentang relasi Islam dan negara sudah lama berlangsung. Secara tradisional kita mengenal ada 3 bentuk hubungan tersebut: integralistik (agama dan negara menyatu), simbiotik (agama dan negara sejajar) dan sekularistik (agama dan negara terpisah). Hamka lebih bisa menerima demokrasi karena di dalamnya lebih menjamin persamaan, kebebasan berpendapat, keadilan, pembatasan kekuasaan.
Hamka tampil dengan politik bermoral agama. Keputusannya masuk Masyumi bukan mencari kekuasaan melainkan demi kemaslahatan agama. Keteguhannya memperjuangkan konsep negara Islam di Konstituante, selain untuk memenuhi janji kampanye kepada konstituennya juga untuk menguji secara sungguh-sungguh konsistensi kelompok nasionalis-sekular tentang demokrasi.
Hamka menentang tirani. Kepercayaannya pada demokrasi maupun keteguhannya pada nilai-nilai Islam membuatnya menentang Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tafsir tunggal Pancasila maupun menentang Natal Bersama yang pernah dikampanyekan rezim Orde Baru. Bagi Hamka tidak ada pemisahan agama dan negara. Tetapi ia juga menolak demokrasi sekuler Barat yang lepas dari nilai-nilai agama.
Hamka menyodorkan gagasan “Demokrasi Takwa” yakni demokrasi yang berlandaskan pada moralitas agama. Islam dan negara harus sama-sama hadir di ruang publik.
Semula Hamka menolak demokrasi tapi kemudian dia mengembangkan penafsiran baru sehingga dapat menerimanya.
Baca juga: Visi-Misi Islam dan Agenda Strategisnya
Corak pemikirannya yang moderat dan inklusif menunjukkan bahwa bagi Hamka bahwa Islam dan demokrasi tidaklah dilematis tapi bisa dipadukan. Ia memberikan landasan teologis pada demokrasi. Untuk itu Demokrasi Takwa ala Hamka mensyaratkan lembaga syura’ berisi orang-orang profesional.
Hamka menolak konsep demokrasi Barat yang memandang semua orang sama tanpa mempedulikan moralitasnya. Baginya kriteria ketakwaan harus tetap jadi penyaringnya, apalagi menyangkut pembuatan keputusan orang banyak. Baginya demokrasi dan syura’ itu sama.
Menurut Heri ada 4 hal yang harus diperhatikan ketika meneliti tentang seorang tokoh. Pertama, guru-gurunya. Hamka jelas berguru pada banyak orang secara langsung maupun tidak langsung. Selain belajar kepada HOS Cokrominoto, Sutan Mansyur, Agus Salim dan lainnya Hamka juga pernah tinggal di Mekkah maupun Amerika Serikat beberapa bulan.
Kedua, bacaan-bacaannya. Jelas sekali Hamka sangat kaya bacaannya baik pemikir timur (Islam) maupun Barat. Hal itu terlihat dari kutipan-kutipan filosof Barat dalam sejumlah karyanya. Dalam bukunya “Tasawuf Modern” Hamka mengutip pandangan filosof Barat tentang kebahagiaan kemudian membandingkannya dengan pandangan Islam.
Ketiga, konteks lingkungan. Sumatera Barat, khususnya Minangkabau banyak melahirkan tokoh pergerakan nasional, tokoh agama dan politik hebat. Daerah ini bahkan dikenal sebagai episentrum pembaruan Islam di Indonesia sebagaimana kehadiran lembaga pendidikan yang melegenda seperti sekolah Sumatera Thawalib.
Sebagai orang Minang, corak lingkungan Minang yang egaliter jelas berpengaruh terhadap Hamka. Empat, situasi politik Orde Lama maupun Orde Baru tentu juga berpengaruh terhadap visi politik Hamka. Bahkan Hamka tumbuh dalam zaman yang berbeda sejak revolusi fisik, kemerdekaan, transisi, Orde Lama dan Orde Baru.
Heri menjelaskan ada 7 konstruksi pemikiran Hamka yakni (1) Islam adalah ajaran universal (2) Alquran dan hadis sebagai rujukan utama (3) mendorong ijtihad secara luas (4) menolak sekularisme sosial politik (5) menghargai perbedaan pandangan politik (6) politik harus berdasarkan akhlak (7) kemerdekaan dalam berpolitik.
Prof Lili Romli (LIPI), salah satu panelis, mengingatkan bahwa sudah tidak relevan lagi mempertanyakan apakah Islam kompatibel dengan demokrasi atau tidak sebagaimana dikemukakan pemikir Muslim maupun Barat seperti Huntington dkk. Baginya demokrasi adalah ruh Islam.
Kalaupun ada beberapa nuansa bentuk demokrasi di dunia maka hal itu adalah varian-varian dari demokrasi itu sendiri. Faktanya, kata dia, dari 50 negara muslim mayoritas sudah menerima jalan demokrasi. Jika ada negara Arab misalnya, yang memilih ororitarianisme maka itu lebih karena halangan budaya bukan Islam.
Sebagai produk pemikiran manusia demokrasi tidak dapat dicopy-paste begitu saja. Bentuk dan implementasi demokrasi harus diletakkan dalam konteks budaya sebagaimana kata Bachtiar Effendy. Mengutip seorang ahli, Lili menyatakan, kita memerlukan twins tolerance yakni menghormati sikap suatu masyarakat yang masih memandang agama sebagai salah sumber nilai dan perilaku.
Penanggap lain Prof Fauzan Ali Rasyidi (UIN Bandung) menilai gagasan “Demokrasi Takwa” ala Buya Hamka tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dan dinamika pemikiran politik internasional. Dalam hal ini Masyumi dipengaruhi oleh Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Petinggi IM Hassan Al-Banna dkk jelas menerima jalan demokrasi.
Baca juga: Tuan Imam: Representasi Ulama-Umara di Bima
Itu yang membuat Mesir berbeda dengan negara-negara Arab di sekitarnya yang lebih memilih monarki, sedangkan Mesir tidak. Berdasarkan argumen ini Fauzan menyimpulkan bahwa secara definitif dan karakteristik maka corak politik Masyumi maupun gagasan Demokrasi Takwa Hamka mirip dengan konsep “teo demokrasi” ala IM.
Sementara itu, Dr Mulyadi (FISIP UI), penanggap lainnya membantah anggapan bahwa Islam tidak memiliki model tentang negara. Menurutnya, pengalaman sejarah Aceh maupun sejumlah kerajaan Islam di Nusantara dulu adalah bukti otentik bahwa konsep negara itu ada dan nyata. Sayangnya kolonialisme-imperialisme Barat kemudian menghancurkannya, sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesian (NKRI) sekarang tidaklah baru sama sekali melainkan kelanjutan belaka dari negara-negara sebelumnya tersebut, meski bentuknya berbeda.
Menurutnya JJ Rooessou dalam “Social Contrac”-nya secara jujur mengakui bahwa Islam lebih cocok jadi negara daripada Kristen yang terlalu didominasi gereja. Bagi Mulyadi negara berdasarkan Pancasila seperti sekarang, jika benar-benar diamalkan kelima sila tersebut, maka Indonesia akan mencapai kejayaannya. Mulyadi menilai negara Pancasila adalah negara Madinah kontemporer.
Karena masih berupa gagasan bersifat umum, beberapa penanggap lain maupun peserta mempertanyakan bagaimana Demokrasi Takwa ala Hamka ini beroperasi. Hamka tampaknya tidak secara ekstrem menggunakan institusi demokrasi seperti Wilayatul Faqih bagai Iran. Menyadari masih banyak hal yang membutuhkan elaborasi lebih lanjut, Heri menyarankan agar dilakukan kajian secara lebih luas lagi mengenai gagasan Buya Hamka ini.
Ilustrasi: Suara Muhammadiyah
Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.