Alienasi dan Pandemi Ketidaksadaran

ALIENASI menurut KBBI adalah keadaan terasing, terisolasi dan pengasingan diri dari kelompok atau masyarakat. Sedangkan menurut Wikipedia Bahasa Indonesia alienasi bisa diartikan menjadi proses menuju keterasingan. Alienasi adalah teori yang dikeluarkan oleh Karl Marx tentang munculnya sebuah keadaan di mana buruh atau proletar mendapatkan sebuah keadaan yang terasing dari kehidupanya.

Alienasi kolektif pada masyarakat menurut Marx tercipta dari konsekuensi proses kehidupan di dalam masyarakat dengan golongan-golongan masyarakat yang terstratifikasi. Sedangkan alienasi diri merupakan konsekuensi individu ketika menjadi bagian mekanistik dari sebuah proses sosial ekonomi. Marx melihat manusia dideterminasi oleh masyarakat, sesekali oleh sistem ekonominya.

Di era industrialisasi pertama abad pertengahan kita mengenal tipe keterasingan yang digambarkan oleh Marx diakibatkan oleh proses kapitalisasi industri. Manusia terasing oleh lingkungannya dan oleh dirinya sendiri. Terasing oleh lingkungan adalah kedirian mereka dalam lingkungan telah mati karena hanya dianggap sebagai mesin-mesin industri, mereka bekerja bahkan hingga 16 jam perhari. Artinya  mereka hidup hanya untuk bekerja, dari bangun tidur hingga tiba waktu tidurnya, 16 jam kerja ke 8 jam sisa istirahatnya.

Kacamata ekonomi melihat manusia adalah bagian dari alat-alat produksi semata, mereka setara dengan mesin yang tujuan akhirnya untuk meraup keuntungan dua kali lipat. Sehingga peristiwa eksploitasi manusia zaman itu tidak terelakkan. Di zaman itu mereka tidak hanya terasing oleh lingkungannya akan tetapi terjadi dari dirinya sendiri.

Dalam kondisi tertentu mereka tidak menyadari bahwa diri mereka sebagai seorang manusia seutuhnya, kesadaran akan kemandirian berfikir mereka terbelenggu oleh sekat-sekat ketidakpastian akan masa depan. Dalam proses industrialisasi mereka tidak menyadari diri mereka dieksploitasi bahkan ketika mereka menyadari itu maka mereka tidak berani mengambil tindakan protes dan memberontak. Sekedar berfikir masa depan untuk diri dan keluarga mereka tidak berani, gaji yang mereka dapatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Sedang protes berkonsekuensi dipecat, dan ribuan orang mengantri untuk pekerjaan itu, ketika dipecat akan sulit mencari pekerjaan lainnya. Kondisi ini dimanfaatkan oleh kaum burjois kapitalis, mengoptimalkan ketergantungan mereka sebagai potensi untuk dikuras dari muda (produktif) hingga tua (tidak produktif).

Inilah yang membuat Marx gregetan, kenapa mayoritas masyarakat dalam rantai setan tersebut tidak protes dan melakukan revolusi, kenapa mereka malah menggunakan agama sebagai pelarian. Agama waktu itu hanya dijadikan sebagai obat penenang dan alih-alih memotivasi tindakan untuk melawan bahkan agama mengakibatkan kecanduan. Kenapa agama tidak dimanfaatkan sebagai spirit dalam rangka pembebasan.

Kembali ke topik bahwa alienasi adalah kondisi terasing oleh diri dan oleh lingkungan.

Setelah Karl Marx, Max Weber adalah pemikir selanjutnya tentang alienasi meskipun tidak secara spesifik mengatakannya namun pemaknaan tentang alienasi sangat pas. Weber bercerita tentang teori karismatik. Ketika kekuasaan yang terlegitimasi melalui pengakuan atas kesaktian, kekaromahan, kewalian, kejaiban, kekuatan, kehebatan dari seorang individu untuk berkuasa. Menurutnya otoritas kharisma lahir dalam kondisi ketidak stabilan, di tengah masyarakat tidak berpengatahuan yang mengakibatkan mereka menaruh masa depan mereka kepada sang tokoh.

Sekedar menyebut nama sang tokoh sakti tersebut mereka tidak berani. Mereka sangat bergantung kepada tokoh sakti itu, segala titah dan arahan menjadi sabda yang tidak boleh disangkal. Untuk berfikir mandiri mereka dianggap dan menganggap diri belum mampu sehingga Mimpi dan masa depan kolektif pengikutnya digantungkan kepada sang tokoh karismatik itu. Inilah alienasi model kekuasaan menurut Weber.

Berbicara keterasingan tidak selesai sampai di sana, Eric Fromm juga memberikan kita suatu sistem keterasingan dari kacamata Sigmund Freud dan Karl Marx. Jika kebebasan merupakan karakteristik utama dari sifat dasar umat manusia, maka alienasi (determinisme) adalah penyimpanganya. Contoh determinisme yang bekerja sendiri adalah binatang.

“Binatang-binatang tidak pernah mengkhawatirkan tentang kebebasan, naluri mereka telah menjamin segalanya. Tikus tanah misalnya, tidak membutuhkan konsultasi karir untuk memutuskan akan menjadi apa mereka setelah dewasa nanti: mereka akan tetap menjadi tikus tanah!” cetus Fromm.

Sedangkan contoh determinisme sosio-ekonomi ala Marx adalah rangkaian agung kehidupan. Sebagian besar masyarakat tradisional abad pertengahan percaya telah memiliki takdirnya sendiri-sendiri.

“Pada dasarnya, jika ayah anda petani maka anda akan menjadi petani juga. Jika  ayah Anda seorang raja, maka menjadi rajalah anda nanti. Dan jika anda seorang perempuan, apa boleh buat,” kata Fromm.

Fromm mengembangkan tiga tipe alienasi dari seseorang yang lari dari kebebasan. Dalam buku the art of listening ia menulis yang pertama seseorang yang tidak ingin bebas, diri mereka bersembunyi di ketiak dan menempelkan dirinya pada orang-orang yang mereka anggap lebih pintar, lebih cerdas, lebih sakti, lebih berwibawa, sehingga memposisikan dirinya sebagai followers. Kedirian mereka lenyap oleh brand image sang tokoh dan ironisnya mereka nyaman.

Yang kedua seseorang yang lari dari kenyataan dengan lari ke obat-obatan, gadget, bunuh diri. Yang ketiga adalah mereka yang bersembunyi di dalam budaya dengan mengikuti tren dan mode kekinian yang padahal itu adalah hasil konstruksi berfikir dan bertindak yang telah didesain oleh media.


Pandemi Ketidaksadaran

Alienasi telah menjadi pandemi, merembet mulai dari masyarakat industri perkotaan hingga masyarakat tradisional pedesaan. Dulu konsep globalisasi dan kini internet of think atau artificial intelligent dengan segala pirantinya telah masuk ke ruang-ruang privat setiap individu di dunia. Smartphone telah mampu mengintervensi pikiran dan tindakan kita hingga ke kamar mandi. Dari ketergantungan yang begitu akut maka pikiran dan tindakan kita sangat mudah untuk dimanipulasi.

Ada dua bisnis yang menamakan target pasarnya sebagai pengguna (user) yang pertama adalah drug atau narkoba dan kedua adalah media sosial (internet) dan anehnya keduanya membuat penggunanya kecanduan. Algoritma dalam sosial media menyuguhkan pilihan-pilihan yang kita sangka adalah pilihan kita namun sebenarnya kita dipilihkan. Akhirnya kita didesain menjadi hanya sekedar objek yang sebelumnya data kita telah kita sudorkan, yang kemudian dimanfaatkan oleh pemodal dan penyedia jasa.

Media sosial adalah pelarian, media sosial adalah tempat menempelkan diri dari ketidak pastian realitas, media sosial tempat mencari panutan, media sosial tempat curhat terbaik, media sosial tempat menebar citra diri sebagai yang bijak, yang baik, yang pintar, yang cantik, yang serem, yang lucu, yang dermawan, yang kaya, yang miskin dan lain sebagainya. Media sosial menjadi pandemi yang mengalienasi manusia dari kediriannya sendiri.

Hari ini manusia membuat realitas baru yang bahan bakunya adalah simulasi-simulasi atas apa yang mereka idam-idamkan. Realitas baru itu merobohkan sekat dan dinding-dinding moral dalam dunia realitas menjadi kabur. Di media sosial, kepedulian tertinggi seseorang diukur dari seberapa banyak mereka like, share, subscribe dan comment.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *