TUHAN mewajibkan manusia untuk beribadah hanya kepadaNya. Pesan ini adalah pesan yang sangat serius dari Tuhan untuk diindahkan oleh kita semua. Keseriusan Tuhan itu dapat kita baca melalui firmanNya di surat ke 15 ayat 99 “Wa’bud robbaka hatta ya’tiakal yaqin.” Dan sembahlah Tuhanmu sampai engkau yakin (ajal) itu datang kepadamu.
Artinya beribadahlah terus menerus dan berkesinambungan sepanjang perjalanan usia kita demi karena Tuhan dan hanya untuk Tuhan, bukan untuk yang lain dan bukan pula karena selain Dia.
Di balik pesan untuk beribadah sepanjang usia kita terdapat imbalan bagi siapa saja yang menunaikan amanah itu dengan tulus, patuh dan semata-mata untukNya—bukan untuk manusia, bukan untuk kehormatan dan bukan pula untuk citra diri.
Penting untuk dipahami bahwa menunaikan ibadah itu wewenang yang diamanahkan Tuhan kepada kita sebagai hambaNya untuk ditunaikan sebaik dan sebanyak mungkin sebagai bekal kita untuk mudik menuju kehadiratNya, tidak lebih dari itu, sebagaimana kita diingatkan di awal surah al Mulk surat ke 67 ayat 2, “Tuhan yang menciptakan mati dan hidup, (tidak lain) untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.”
Akan tetapi dalam perjalanan panjang usia ini tidak sedikit dari kita melampaui batas (berlebih) dalam menyikapi dan menunaikan wewenang itu—setelah merasa sempurna dalam menunaikan wewenang, kita mengambil alih wewenang Tuhan sebagai evaluator amaliah ibadah orang lain, padahal Tuhan tidak memberi sedikit pun celah maupun ruang bagi kita untuk melakukan wewenang tersebut, karena hanya Tuhan sebagai pemegang tunggal dari pemberi nilai. Hanya Dia yang berhak menilai dan memberi putusan biak maupun buruk dari amalan yang dilakukan hambaNya.
Sebagai makhluk yang nisbi tidak pantas bagi kita memberi nilai kepada amal perbuatan kita sendiri, apalagi amal perbuatan orang lain. Karena menilai sebuah amal, akan melahirkan sikap takabbur, congkak, dan sombong. Allah tidak pernah suka dengan ketiga sikap itu, makanya Tuhan langsung membarter nilai amaliah bagi siapa saja yang menjadikan ketiga keburukan itu sebagai sikapnya sehingga nilai amaliah ibadahnya berkurang atau bahkan bisa jadi habis.
Nabi menjelaskan kepada majlis sahabat tentang akibat buruk dari kebiasaan menunaikan wewenang yang melampaui batas (berlebih); “Wahai sahabatku, tahukah kamu apa yang dimaksud dengan muflis?”, sahabat menjawab; “orang yang rugi dalam jual beli.”
Lalu Nabi menjelaskan; “Muflis adalah orang yang datang di hari kiamat datang merasa membawa amal yang banyak dan sempurna, akan tetapi ternyata amalnya itu kosong, Tuhan kurangi nilai amaliah ibadah yang dilakukan dengan dosa kesombongan, takabbur, dan kecongkakannya dalam membandingkan dan menilai amaliah ibadahnya dengan amaliah ibadah saudaranya.
Teringat kita pada suatu proses ujian berbasis komputer yang dulu pernah eksis, bahwa menjawab salah akan mengurangi nilai dari jawaban benar. Ternyata dalam ajaran muflis itu berlaku pengurangan tersebut.
Jadi jangan pernah melakukan amaliah kebaikan—lalu membanding-bandingkannya dengan amalan ibadah orang lain. Jangan pernah menghitung-hitung amal sendiri—lalu menelisik amalan orang lain. Jangan pernah melakukan amaliah ibadah—lalu menjadikan amaliah kita sebagai standar mengevaluasi ibadah orang lain, seakan-akan ibadah kita paling baik.
Jangan pernah menginjakkan kaki ke masjid atau ke Mushalla—lalu mengabsen orang lain seakan-akan kita sendiri yang paling rajin menemui Tuhan. Jangan pernah merasa bahwa amaliah ibadahnya paling benar—lalu menjadikannya standar yang diterima Tuhan dan menjustice amaliah orang lain tidak benar.
Hal itu sama dengan muflis dan bahkan membuat diri kita menjadi sekutu atau tandingan bagi Tuhan dalam wewenang menilai baik-buruk dan benar-salah ibadah orang lain. “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Tuhan, maka dia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh (artinya; amalnya sia-sia) . QS. Al Hajj 31.
Mari kita renungkan suatu kisah sufi yang menjelaskan bahwa besok di hari kiamat akan ada dua macam kekagetan manusia. Kekagetan pertama bahwa seorang hamba kaget karena dia merasa amalnya banyak, melimpah ruah, ternyata di sisi Tuhan amal itu sedikit bahkan kosong. Kekagetan yang kedua seorang hamba merasa amalnya sedikit, amalnya kecil akan tetapi di sisi Tuhan ternyata sangat banyak.
Orang yang pertama adalah orang yang beribadah dilandasi perasaan tidak tulus dan tidak ikhlas (riak) dan membanding amalnya dengan amal saudaranya, sementara orang yang kedua adalah melaksanakan amaliah ibadah dilandasi oleh keikhlasan semata-mata karena dan untuk Tuhan, tidak ada tendensi membanding apalagi menjadikan amalannya sebagai alat ukur terhadap amaliah saudaranya.
Sebagai catatan akhir dari goresan moral ini, marilah kita beribadah sebanyak mungkin dan sebaik mungkin, lalu serahkan sepenuhnya dengan ikhlas dan tulus kepada Tuhan, dan belajarlah menjadi irfan, yakni orang yang senantiasa melakukan amaliah ibadah dengan cara melebur diri dalam hadirat Tuhan tanpa intervensi yang lain.⦁
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
Mantul sekali untuk muhasabah diri