Konflik Palestina-Israel, Dialog Agama dan Citra Yahudi

Palestina dan Israel, atau lebih luas lagi Arab-Israel, mewarisi sejarah konflik yang cukup panjang. Kedua etnis ini sudah terlibat konflik dan kekerasan hampir 70 tahun. Bahkan jika ditarik ke belakang sudah ratusan tahun. Konflik itu cukup kompleks dan akut. Tidak hanya soal perebutan wilayah, kepentingan ekonomi dan politik tapi juga persaingan agama khususnya Islam dan Yahudi. Sudah tidak terhitung berapa kerugian yang timbul akibat konflik akut nan panjang ini: jiwa, harta dan air mata.

Yang terbaru, selama 11 hari meletusnya konflik Palestina-Israel (10 Mei hingga tercapainya genjatan senjata pada 21 Mei 2021) terdapat 232 warga Palestina tewas termasuk 65 anak-anak dan 39 wanita serta 1.900 orang terluka oleh serangan udara Israel. Sedangkan korban dari pihak Israel terdapat 12 orang tewas dan ratusan orang dirawat karena serangan roket Hamas.

Di Palestina sendiri saat ini terdapat dua faksi yang saling bertentangan dalam memperjuangkan nasib Palestina yakni Fattah dan Hamas. Fatah berisi orang-orang tua yang sudah mengalami kelelahan menjalani perang dengan Israel. Karena itu mereka lebih bersikap realistis bahkan kompromistis dengan musuh bebuyutannya. Mereka menyambut dan menunggu peluang untuk berdamai dengan Israel.

Baca juga: Daya Tahan Islam dalam Pusaran Isu Terorisme

Menjadi dua negara yang hidup secara damai dan bertetangga. Fatah lebih berhaluan nasionalis dibandingkan Hamas yang lebih menonjolkan sentimen Islam dalam perjuangannya. Sebaliknya visi perjuangan yang terakhir ini sangat keras. Hamas bahkan bercita-cita hendak mengenyahkan Israel dari peta bumi. Bagi Hamas Israel adalah penjajah asing yang harus angkat kaki dari Palestina.

Sejak negara Israel berdiri 1948, sudah puluhan kali upaya damai dilakukan baik oleh PBB, Liga Arab, OKI (Organisasi Konferensi Islam) dan upaya lainnya, tetapi tidak cukup berhasil memuaskan kedua pihak yang bertikai. Sejumlah resolusi dan perjanjian damai pun dilanggar. Perang kembali pecah dan kedua kubu kembali sama-sama menarik pucuk senjata hingga mengakibatkan tragedi kemanusiaan yang memilukan. Korban berjatuhan, kehancuran, penderitaan dan terjadi gelombang pengungsian dimana-mana.

Dialog Agama dan Stigma Yahudi

Setelah pendekatan politik dan proposal diplomatik berkali-kali gagal menengahi konflik Palestina-Israel, dapatkah diplomasi agama jadi alternatifnya? Secara teoretis seharusnya iya. Tetapi stigma merupakan salah satu halangan terbesar bagi upaya ini baik yang dibentuk oleh peristiwa sejarah tertentu maupun bersumber dari kitab suci. Terutama yang terakhir, tentu tidak mudah menghapus sebuah informasi yang diyakini berasal dari firman tuhan. Kebenaran wahyu bersifat mutlak. Diperlukan keberanian yang luar biasa untuk merombak primordialisme dalam beragama.

Baca juga: Islam, Ideologi dan Tafsir Kesetaraan Pancasila

Palestina adalah tanah suci bagi tiga samawi yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Sebagai agama yang berakar dari tradisi Ibrahim (ibrahimic religion), ketiganya berasal dari satu nenek moyang. Karena itu perdamaian seharusnya lebih mudah tercapai. Sejumlah pihak mencoba melakukan diplomasi agama untuk mencapai perdamaian itu, salah satunya melalui dialog antaragama. Mereka berusaha mencari titik-temu agama-agama sebagai basis perdamaian dunia. Agama tidak boleh menjadi sumber konflik tetapi justru harus berkontribusi dalam menciptakan harmoni bersama.

Repotnya, seringkali konflik-konflik itu bersembunyi di balik wajah agama sehingga menjadi lebih kompleks dan rumit dipecahkan.
Seperti dikatakan Paul Tillich, jika masalah sosial dimotivasi oleh agama maka sangat sulit meredakannya. Bahkan dalam konteks tertentu, misalnya interaksi agama dengan unsur etnis dan nasionalisme, menurut Jeff Hayness, bisa menghasilkan kekuatan yang eksplosif. Apalagi menurut pengamatan Hayness, terdapat kecenderungan di negara-negara dunia ketiga dalam dua dasawarsa terakhir ini untuk menjadikan agama, khususnya Islam dan Kristen, sebagai sarana oposisi-politis. Jadi peristiwa-peristiwa yang kelihatan bernuansa keagamaan seringkali berasal dari masalah sosial-ekonomi yang kemudian mengambil wajah atau legitimasi teologis.

Hingga kini relasi Yahudi, Kristen dan Islam baik dalam konteks konflik Palestina-Israel maupun hubungan dunia Islam umumnya masih diwarnai oleh sekat-sekat teologis dan psikologis yang kental. Hubungan ketiganya masih terjebak oleh stigma teologis masing-masing.
Salah satunya menarik mencermati bagaimana keberadaan dan perkembangan wacana Yahudi di Indonesia sebagaimana diungkapkan Martin van Bruinessen dalam tulisannya “Yahudi Sebagai Simbol Dalam Wacana Pemikiran Islam Indonesia Masa Kini” (Dian, Yogyakarta: 1994). Mengutip Samsuddin Haris “Laporan Penelitian Pandangan Sikap Hidup Ulama di Nusa Tenggara Barat”, LIPI, 1986 Martin menulis:
“Pada 1986 seorang ulama di Bima mengeluh kepada peneliti LIPI tentang keberadaan kaset rekaman bacaan Al-Quran yang dijual dimana-mana.

Baca juga: Pers, Distrupsi Informasi dan Mudarat Demokrasi

“Sekarang semakin banyak orang puas dengan menyetel kaset saja, mereka tidak berminat lagi untuk belajar qira’ah Al-Qur’an sendiri”.
Berbagai teknologi baru, pada hematnya, sangat membahayakan agama Islam. Ia mencurigai hal ini berkaitan dengan konspirasi Yahudi-Zionis untuk menghancurkan Islam. Dalam ceramah-ceramahnya ia sering menyinggung ancaman-ancaman Yahudi terhadap Islam. Ulama ini, yang pernah bermukim di Mekkah selama beberapa tahun, menceritakan kepada peneliti tadi bahwa ia banyak tahu tentang tipu daya Yahudi itu dari mejalah-majalah yang ia terima dari Rabithah Al-‘Alam Al-Islami (Al-Rabithah dan Muslim World News).
Ia juga mengutip buku berhubungan dengan ancaman terhadap kemajuan dan perkembangan Islam di dunia seperti “Al-Maka’id al-Yahudiyah” dan “Rencana Yahudi terhadap Penghancuran Islam”. Ketika peneliti bertanya gejala apa di Indonesia yang dianggapnya sebagai aktivitas Yahudi-Zionis, ia menyebut organisasi seperti Lions Club”.

Namun beberapa organisasi (seperti Freemasonry, Lions Club, Rotary dan lain-lain) atau buku (seperti al-Maqaid al-Yahudiyyah atau Protokol-Protokol Para Sesepuh Zion) yang dicurigai sebagai kaki-tangan dan program-program Yahudi, menurut Bruinessen (1994: 253), ternyata kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Organisasi-organisasi di atas hanyalah perkumpulan orang-orang elit khas Amerika, sedangkan buku yang disebut belakangan bukanlah dokumen sejarah yang benar melainkan pemalsuan yang dilakukan oleh kalangan antisemitisme (anti Yahudi) di Eropa pada penghujung abad ke-19. Mitos ‘Yahudi’ juga jelas tak bisa dipisahkan dari persoalan Palestina dan rivalitas Arab-Israel. Tapi khusus yang terakhir ini, menurut Bruinessen, hanyalah persoalan politik yang bergeser dari wacana nasionalis (Israel lawan Arab) menjadi wacana agama (Yahudi lawan Islam).

Dalam perkembangannya wacana Yahudi di dunia Islam mengikuti yang terjadi di Barat dan Eropa, yakni tidak melulu merujuk pada ancaman Yahudi sebagai etnis dan agama, zionisme sebagai gerakan internasional atau Israel sebagai negara tapi juga mewakili semua perubahan yang terjadi sebagai dampak modernisasi. Yahudi dicurigai sebagai ancaman yang hendak menghancurkan dan menghegemoni dunia melalui jalan demokrasi maupun otoriter, kapitalisme maupun sosialisme. Dalam menyebarkan ancamannya Yahudi memiliki banyak wajah, melalui berbagai aliran pemikiran yang berkembang (sekularisme, ateisme, pragmatisme, hedonisme dan lainnya), disusupkan melalui berbagai lembaga internasional (World Bank, PBB dan lainnya) termasuk melalui gagasan-gagasan aneh yang dihadirkan oleh para pemikir dan sarjana muslim di dunia Islam. Singkatnya, setiap perubahan baru apalagi yang membawa dampak negatif dalam kehidupan masyarakat selalu dikaitkan dengan wacana Yahudi.

Baca juga: Menghitung Diri pada Pesta Demokrasi

Walhasil, mitos ‘Yahudi’ adalah suatu bentuk eskapisme-mekanisme pertahanan psikologis dari ‘orang-orang kalah’.
Upaya mengikis stigma itulah yang coba dilakukan oleh para tokoh maupun aliran pemikiran yang konsen dengan agama baik secara teoretis maupun praktis. Louis Massignon misalnya, pernah menampilkan figur Nabi Ibrahim AS sebagai simbol kesatuan tiga agama samawi beserta sisi-sisi keistimewaannya. Menurut Massignon, Nabi Ibrahim merupakan tokoh penting dalam tiga agama. Ia dihormati oleh agama Yahudi, Kristen dan Islam. Yahudi khususnya mengambil harapan darinya terhadap perjanjian tanah suci; Kristen khusus mengambil aspek cinta terhadap sesama manusia; sedangkan umat Islam khusus menekankan aspek iman yang kuat terhadap ketauhidan Tuhan (Steenbrink, 1992: 30).

Gagasan tentang pentingnya dialog agama juga dikemukakan tokoh lain seperti WM. Watt, Hans Gung, Mohammed Arkoun dan WC. Smith. Kendati gagasan-gagasan semacam ini tak luput dari kritik tapi setidaknya dapat menjadi starting-point menuju terbentuknya ‘teologi keterbukaan’ yang akan bermuara pada ‘teologi kerukunan’ di masa depan. Mereka umumnya menyerukan perlunya dialog agama dan menghindari polemik yang cenderung teologis.

Dalam bentuk yang institusional, upaya semacam itu direpresentasikan oleh Perenialisme, sebuah aliran dan gerakan filsafat yang hendak meletakkan semua agama di atas tikar kebersamaan. Aliran filsafat yang dinakhodai oleh Seyyed Hossein Nasr dkk ini, pertama-tama berangkat dari satu premis mayor bahwa terdapat kebenaran dalam setiap jantung agama. “Kebenaran” itu bersifat abadi tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Premis kedua, semua agama itu pada awalnya satu dan berasal dari sumber yang sama pula. Hanya karena proses historislah yang menyebabkannya berbeda-beda, tetapi perbedaan itu hanya menyangkut metodologis (syariat)-nya saja, sementara aspek substansialnya tetap tidak berubah. Kaum Perenialis menyebutnya ‘Islam primordial’.

Karena agama berasal dari satu sumber yang sama maka menurut kaum Perenialis, semua agama tersebut akan mencapai titik temu pada Islam Primordial tadi. Secara demikian maka bentuk-bentuk perbedaan eksoterik agama, bagi kaum Perenialis, tidak dipersoalkan. Apakah dengan demikian kaum Perenialis menghendaki sinkretisme? Secara tegas mereka menolak setiap bentuk sinkretisme karena cara itu dianggap bukanlah solusi yang baik untuk keluar dari lingkaran setan toleransi tadi. Lantas bagaimana?
Di sinilah problemnya. Karena Perenialisme itu sangat spekulatif-subjektif maka otomatis gagasan-gagasan mereka terlampau elitis—yang menuntut tingkat kemampuan berpikir tertentu yang tentu saja tidak semua orang mampu melakukannya. Sementara yang paling berkepentingan dengan toleransi ini adalah justeru lapisan masyarakat kelas akar-rumput. Mereka inilah yang menentukan bisa-tidaknya sebuah konsep toleransi diterapkan. Karena itu, tawaran kaum Perenialis oleh sebagian kalangan dianggap terlalu idealistis bahkan utopis. Itu pula yang menyebabkan Perenialisme, seperti diakui Nashr sendiri, kurang dikenal termasuk di kalangan akademisi sekalipun.

Dialog Agama di Indonesia

Di Indonesia, upaya membangun dialog agama sebagai jembatan perdamaian sangat gencar dilakukan sejumlah pemikir muslim. Salah satunya oleh pemikir Neo-Modernis Nurcholish Madjid dengan mengelaborasi beberapa konsep atau idiom kunci seperti arti ‘Islam’, ‘hanif’ dan ‘ahlul kitab’. Kesemuanya itu bermuara kepada pembangunan sebuah sistem teologi baru yakni ‘teologi inklusivisme’ serta untuk menampilkan wajah Islam yang lebih bercorak universal-kosmopolitan.

Dengan melakukan pembedahan semantik Nurcholish memperluas makna beberapa konsep kunci di atas. ‘Ahlu kitab’ misalnya, jika selama ini secara normatif-konvensional hanya dipahami hanya mencakup Yahudi dan Nasrani saja maka Nurcholish memperluas konsep tersebut yang meliputi semua agama.
Yang menarik—dan ini sekaligus menjadi trade mark-nya Neo-modernisme—Nurcholish mencari pijakan historis-teologis gagasannya kepada khazanah disiplin Islam klasik—termasuk sumber lokal sekalipun—yang tentu saja berpengaruh kuat terhadap penerimaan gagasan-gagasannya. Dalam hubungannya dengan konsep ‘ahlul kitab’ tersebut misalnya, meskipun al-Quran secara eksplisit mengingatkan bahwa orang Yahudi dan Nasrani akan selalu memaksakan keyakinan (millah) mereka kepada kaum Muslim (surat al-Baqarah 120) tetapi hal itu, bagi Nurcholish, tidak berarti menafikan sama sekali adanya sekelompok orang-orang yang ‘baik’ dalam kedua agama samawi tersebut.

Namun sebagaimana gagasan konvergensi agama lainnya maka gagasan-gagasan Nurcholish pun menghadapi berbagai tantangan. Apa yang terjadi dengan ‘heboh pembaruan’ usai ia menyampaikan pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 1993 adalah contohnya. Tawaran Nurcholish ditolak dan ditentang banyak kalangan terutama dari dalam Islam. Pada konteks ini, ungkapan Steenbrink benar bahwa posisi seorang konvergen (agama) itu serba salah: oleh seagama (intern) dianggap telah ‘keluar’ dari garis teologi yang dianutnya, sedangkan oleh agama lain (ekstern) kadang meragukan kejujuran dan keseriusannya.

Baca juga: Cara Tolak Bala dalam Politik

Walhasil, seorang konvergen agama ibarat simalakama.
Pada level praktis upaya menjadikan agama sebagai jalan damai juga dilakukan melalui berbagai kegiatan dialog antaragama baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat. Yang paling fenomenal adalah ‘kunjungan intelektual’ Ketum PBNU Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Habib Chirzin (PP Muhammadiyah) dan Djohan Effendi (peneliti senior di Kemenag), ke Israel akhir Oktober 1994. Ketiganya dikenal sebagai aktivis demokrasi dan perdamaian dunia. Bahkan sepulang dari Israel mereka ke Roma untuk menghadiri konferensi perdamaian dan agama dunia atau WCRP (World Conference on Religion and Peace). Meski kunjungan ketiganya bersifat pribadi dan bukan atas atas nama negara maupun umat Islam, tapi tak urung tetap memicu kontroversi dalam negeri mengingat isu Palestina sangat sensitif. Sejumlah kalangan (MUI, KISDI, PP Muhammadiyah) mengecam kunjungan itu.

Menanggapi kritik tersebut, dalam majalah Gatra edisi 19 November 1994, Gus Dur malah mengusulkan agar Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel dengan alasan untuk memperluas peran Indonesia dalam membantu perdamaian di Timur Tengah khususnya konflik Palestina-Israel. Sebuah usulan yang tak kurang kontraversialnya dan ditolak pemerintah dan kalangan lainnya. Alasan lain, kata Gus Dur, beberapa negara di Timur Tengah juga sudah menjalin hubungan damai dengan negara Yahudi itu. Salah satunya adalah Yordania, yang penandatangan perjanjian damai di Tel Aviv bertepatan dengan kunjungan Gus Dur dkk pada 26 Oktober 1994 itu. Gus Dur dkk sejatinya diundang dalam rangka seminar tentang perdamaian dari Institut Herry Truman di ibukota Israel, Tel Aviv. Tapi pemerintah Israel meminta mereka turut menyaksikan peristiwa bersejarah tersebut.

Beberapa gagasan dan terobosan di atas, kendati masih dalam taraf pencarian bentuk dan belum mampu mewujudkan perdamaian Palestina-Israel secara permanen, tapi setidaknya meletakkan landasan bagi upaya melahirkan konsep-konsep toleransi dalam beragama. Minimal memberikan kesadaran moral dalam meredam setiap bentuk perbenturan agama yang akan muncul.

Ilustrasi: Sindonews.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *