Bumi Juga Bernyawa dan Bertuhan

Di tengah hiruk pikuk pandemi Covid-19 yang membuat prahara di dunia. Bulan April lalu seluruh dunia merayakan Hari Bumi (dalam tulisan ini, bumi bisa juga diartikan dengan alam, hutan, tanah, dan pohon-pohon). Entah ulang tahunnya yang keberapa. Intinya, saat ini semua mendoakan bumi terbebas dari pandemi dan “sembuh” kembali.

Jika kita lihat bumi ini seperti sebuah organisme yang hidup, mungkin saat inilah bumi lagi istirahat dan rebahan. Sekali lagi mungkin bumi sudah capek menerima semua sampah dan perilaku destruktif manusia. Saya juga sih kalau jadi bumi pasti sudah capek menerima itu semua.

Baca juga: Politik Agraria dalam Pengelolaan Hutan di Bima

Jauh sebelum manusia tahu Hari Bumi itu diperingati setiap 22 April dengan beragam kegiatan “peduli” bumi. Nenek moyang kita telah mampu menciptakan ritus-ritus untuk menjaga bumi dan lingkungan. Ritus yang syarat dengan nilai transendensi dan moral ini, menjadi wujud syukur, cinta bahkan takutnya  seorang hamba kepada pencipta-Nya.

Ekspresi takut ini, bahkan mengilhami R.R. Marett soal teori religinya. Setiap menusia menciptakan ritus dan ekspresinya itu kepada bumi dengan beragam cara, tergantung apa yang melatar belakanginya, pengalaman dan di mana dia berada. Perhatikan bagaimana bumi membuat manusia mememukan daya spiritualitasnya.

Sekadar menyebut contoh, di Pulau Jawa ada istilah sedekah bumi, di Bima, Pulau Sumbawa ada yang namanya do’a dana. Itulah masyarakat Nusantara. Menciptakan intrik-intrik kehidupan untuk menandai syukur, cinta dan takutnya. Di Pedalaman Kalimantan lain lagi, mereka lebih khusus lagi menjaga bumi dengan sangat hati-hati menebang pohon atau lebih jauh lagi mengambil apa-apa dari alam.

Jampi-jampi khusus dipersiapkan terlebih dahulu untuk sang pencipta. Hal ini menegaskan rasa syukur dan takutnya, sambil berharap pencipta tak bosan memberi sekali lagi. Apabila ritus itu terlewati rasanya kurang afdhal untuk meneruskan hajat yang sudah terniatkan.

Praktik masyarakat desa dan adat yang terus menjaga tradisi itu,  mereka lakukan untuk merayakan syukur pada bumi dan kehati-hatian mereka merusak bumi. Praktek ini sudah mendahului isu manusia modern.

Environmental ethics telah mereka lakukan tanpa teori dan pelajaran terlebih dahulu. Hanya bermodal ilmu turun temurun dari orang-orang sebelumnya. Ajengan-ajengan mereka telah menjelma menjadi “profesor” yang mengajari teori besar itu: Membangun ekosistem alam.

Baca juga: Lebih dari Sekadar Alih Fungsi Lahan Biasa

Baca Juga  Konsep Keugaharian pada Musim Politik (1)

 Etika lingkungan yang mereka praktikkan mengkristal menjadi sebuah tradisi yang mapan. Tradisi yang sulit dilupakan oleh mereka. Tradisi yang berharga bagi pelaku-pelakunya, namun kekuatan tradisi memang rapuh. Juga belum bisa menjamin sampai masa depan.  

Alangkah sialnya jika tradisi itu hanya diperuntukan orang desa dan masyarakat adat yang “kuno” itu. Tanpa mampu merambah dan membumi pada setiap insan dan merasuk ke kesadaran “orang kota”.

Faktanya, ritus itu kini hanya dipelihara oleh warga desa yang jauh dari kota atau masyarakat adat yang tidak mengenal internet dipedalaman hutan di bawah rindangan pohon Trembesi dan Leda. Suara kearifan semacam itu tak terdengar dari orang-orang kota. Kehidupan urban memaksa kita menjadi seorang konsumen yang “serakah”. Yang terus memamah alam tanpa harus memikirkan sisa.

Saat ini nyawa bumi bukan lagi pada hutan, melainkan pada manusia. Manusia-lah yang memiliki peran penting. Menjamin hutan dan bumi tetap aman atau tidak. Menjamin agar hutan tetap ada di masa mendatang dan bumi masih bisa ditempati.

Teologi Alam

Di sudut lain para pengusaha sibuk melobi dan merencanakan hutan mana lagi yang akan digarap. Dengan sedikit konspirasi dengan otoritas yang lain. Satu persatu hutan dihabisi. Bukankah ini yang diperingatkan Tuhan “Janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh” itu. Angkuh karena hanya memikirkan diri sendiri.

Baca juga: Bagaimana Tambang Merampas Ruang Hidup Kita

Angkuh terhadap “yang lain”. Karena secara teologis, kita cenderung menisbatkan suara Tuhan itu hanya angkuh terhadap manusia saja. Jika angkuh terhadap manusia, mendapat cela dan hukum dari norma yang berlaku, apa konsekuensi manusia yang “angkuh” terhadap bumi dan alam itu? Itu yang perlu kita pikirkan sama-sama.

Sebab, konsekuensi dari “angkuhnya” manusia terhadap alam adalah semakin bertambahnya pundi-pundi kekayaan manusia. Ajaib bukan? Ajaib sekali makhluk bernama manusia ini.

Di masa kecil kita sering didongengkan tentang alam dan isinya yang setiap waktu dan setiap saat selalu beribadah kepada Tuhan-Nya. Bahkan, dauh yang jatuh itu, pasti atas kehendak Tuhan. Dan daun yang jatuh pun tak pernah membenci angin – seperti judul novel Tere Liye – yang kesohor itu. Ini menggambarkan bagaimana kearifan bumi dalam hidup dan kehidupannya.

Baca Juga  Potensi Filantropi Tenaga di Indonesia

Bagaimana dengan manusia yang katanya homo socius? Manusia yang mengganggu ibadah manusia lain dengan berjalan dihadapannya, dianjurkan untuk membuat pembatas. Lantas, bagaimana manusia yang mengganggu ibadah bumi dan pohon-pohon dengan membunuhnya? Kita harus menggeser paradigmanya dengan: neraka apa yang pantas bagi manusia-manusia semacam ini.

Manusia Harus Belajar

Sudah tak terhitung, berapa kali bumi megekspresikan dirinya dengan penuh kemarahan: Kebakaran hutan, tanah longsor dan terakhir ini wabah. Namun masih belum membuat manusia sadar. Manusia ternyata masih kurang peka lewat isyarat itu. Isyarat untuk duduk, diam, merenung  dan sadar  apa telah kita lakukan di atas bumi ini.

Baca juga: Sajadah: Kaplingan Surga yang Datang Lebih Awal

Kerja-kerja penyadaran pentingnya menjaga bumi sebenarnya telah diupayakan. Civil society dan aktivis, baik untuk masyarakat adat agar tetap menjaga alam dengan ritus dan prakteknya maupun untuk elite kota supaya menahan hawa nafsu untuk terus menggerogoti bumi dan meminimalisir ruang masyarakat adat. Hal itu amat penting, mengingat banyak dari kita belum sadar sepenuhnya bahwa warisan nyata untuk generasi selanjutnya adalah alam. Manusia cenderung meninggalkan tanah untuk warisan anak cucunya. Itu menjadi kode, bahwa manusia amat tergantung dengan bumi.

Tapi kesadaran manusia yang minim bahwa ia banyak bergantung pada alam yang mengakibatkan bumi terus menerus menerima ketamakan dan keserakahan manusia. Dan wajar saja, sekali-kali bumi akan merasa jenuh dan marah sampai dia ingin beristirahat dan rebahan dari semua kelakuan manusia ini.

Ilustrasi: KalderaNews.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *