Ratusan ribu tahun silam, spesies homo sapiens – yaitu kita – tidak banyak mengerti dunia seperti apa yang kita tinggali. Semuanya adalah hutan belantara, padang pasir menyeramkan, dan lautan tak bertepi. Misteri adalah satu-satunya pemahaman kita. Tapi, misteri itu masih bertahan hingga sekarang. Tak sepenuhnya kita paham dengan dunia yang hari ini kita singgahi. Tanpa sadar kita lahir dengan predikat sosiologis tertentu. Seorang Muslim, lahir dari orangtua yang juga Muslim, dan menjadi akrab dengan cerita dan imajinasi yang diwarisi di kelompok sosiologisnya itu.
Karena dunia penuh dengan hal-hal misterius, banyak Muslim yang berlari pada fatwa-fatwa untuk mencari jawaban final bagi segala kebingungannya. Jarang yang mau bersabar memecahkan misteri. Terhadap misteri dunia yang penuh pertunjukkan ketidakadilan, korupsi, dan peperangan, kaum Islamis (mereka yang meyakini Islam sebagai solusi bagi semua persoalan) memilih menciptakan jawaban instan dan lugas. Semua masalah yang ada, solusinya adalah Islam. Jika ada masalah dalam politik dan ekonomi di negara Anda, maka negara Islam, politik Islam, dan ekonomi Islam adalah obatnya.
Adil dalam Menyikapi Islamisme
Lewat artikel ini, saya bermaksud menyajikan review dan komentar atas bagian introduction dari sebuah buku yang, menurut saya, sangat baik dalam menjelaskan gagasan dan gerakan Islamisme atau Islam Politik (Political Islam). Sebuah buku karya ilmuwan sosial berkebangsaan Prancis bernama Olivier Roy. Buku tersebut berjudul The Failure of Political Islam (1992). Singkat cerita, berdasarkan analisis sosiologis, Roy berusaha menjelaskan karakteristik kaum Islamis, sebab-sebab kemunculannya, dan alasan bagi kegagalan mereka memenuhi tuntutan agendanya.
Baca juga: Moderasi dan Tantangan Agama di Era Digital
Bagi penikmat Islamic Studies, seperti Anda dan saya, gagasan Islamisme tentu perlu didalami. Gagasan yang intinya adalah keinginan menegakkan supremasi politik Islam ini sudah terlanjur menjadi bagian organis dalam kehidupan dunia modern, sekaligus menjadikan dirinya “tradisi modern” bagi memori kolektif umat Islam global. Oleh karena itu, mengaji kepada para ahli adalah keharusan yang natural (al-wujub al-thabi’iy). Olivier Roy juga cukup penting untuk didengarkan. Sepenting kita mendengarkan Max Weber dan Robert Bellah, jika kita hendak memahami sebuah agama dan pengaruh sosiologisnya.
Selalu ada pesan-pesan moral dalam buku-buku penting. Al-Quran, misalnya. Bagi saya ia berisi renungan filosofis tentang alam dan masyarakat, sehingga pembacanya bisa bersikap moral secara adil, santun, dan rendah hati. Buku Roy juga mengandung hal serupa dalam intensitas lebih rendah. Pesan moral utama dalam buku ini adalah ajakan Roy supaya dunia, kita, mau bersikap lebih adil terhadap kaum Islamis.
Itulah mengapa Roy mengingatkan pembaca bukunya bahwa ada satu ‘tirai ilusi’ (ungkapan saya sendiri) yang harus disingkap terlebih dahulu, sebelum lebih jauh kita menghakimi para Islamis. Tirai itu adalah persepsi bahwa Islamisme merupakan jalinan rantai yang sambung-menyambung hingga ke Abad Pertengahan Islam; persepsi bahwa kaum Islamis hendak memutarbalikkan roda sejarah; persepsi bahwa kaum politisasi agama hanya Islamis saja (Roy, 1992).
Baca juga: Radikalisme dan Moderasi Beragama
Dunia dan masyarakat adalah laboratorium bagi semua ilmuwan sosial. Dan, ketika kita hendak menilai sesuatu dalam dimensi sosiologisnya, maka kita perlu melihat ‘spesies’ yang serupa darinya, yang muncul di tempat berbeda, di masa yang kurang lebih sama. Perjuangan politik dengan jargon dan program puritanisme agama tidak khas milik Islamisme saja. Begitu pula model pemerintahan diktatorian, bukan hanya ciri bagi Islam Politik (Roy, 1992).
Barangkali Roy agak gusar terhadap konsumsi massa di Barat terhadap berita gerakan Islamis yang dua dekade belakangan ini semakin gencar. Media-media mainstream sering berlebihan dalam memuat berita soal “ancaman” Islamisme. Seolah Islam adalah ancaman terbesar bagi Western Civilization. Jelas bahwa Roy tidak setuju dengan Samuel Huntington. Bagaimana pun, niat Roy supaya kita cukup adil dalam menilai Islamisme patut diapresiasi. Bagi saya, itu semata-mata hal yang didukung oleh sikap ilmiah yang tepat.
Siapa Dalang Kemunculan Islamisme?
Menurut Roy, Islamisme tidak lain adalah produk dinamika sosial-politik negara-negara Dunia Ketiga (Roy, 1992). Ini harus dicatat. Roy hendak menganulir anggapan bahwa Islamisme adalah agenda tradisionalis Islam yang polos, yang benar-benar mewarisi pesan-pesan Al-Quran dan Nabi Muhammad. Sama sekali tidak, menurut Roy (1992). Jika mau mengetahui Islamisme itu anak kandung siapa, maka kita harus lihat di bidan mana ia dilahirkan. Dari sana bisa ditanya kepada bagian administrasi, siapa ibu kandungnya.
Bidan tempat Islamisme lahir adalah dunia modern pasca-kolonial dan pasca-revolusi industri. Ibunya adalah ketidakadilan, penjajahan, dan kemiskinan. Ketika menyebut gerakan ini sebagai hasil dinamika negara-negara Dunia Ketiga, Roy hendak mengingatkan kita pada kakak tertua Islamisme, yaitu Marxisme. Apakah dengan begitu, artinya Islamisme tidak mengakar dalam tradisi klasik Islam itu sendiri? Jika Anda menyimak uraian Roy, maka jawabannya adalah ya, sekaligus tidak.
Baca juga: Ihwal Relasi Agama dan Sains
Ada pengaruh kuat dari tradisi klasik, sesuatu yang sebenarnya disalahpahami oleh kaum Islamis, sehingga Roy lebih nyaman menyebutnya ‘imajinasi politik’ alih-alih ‘pemikiran politik’. Namun, tradisi Islam itu, di tangan para Islamis, bertugas seperti iklan di papan reklame, yang menggoda Anda supaya mau membeli minuman bersoda. Yang betul-betul membuat Anda rela menukar uang Anda dengan minuman itu sendiri adalah rasa haus yang Anda rasakan di leher. Kaum Islamis begitu haus akan hegemoni, kekuasaan, dan keadilan. Al-Quran dan hadits, unsur utama tradisi Islam, berfungsi sebagai slogan mereka (Roy, 1992).
Seperti diakui oleh Roy, buku ini hendak menelusuri alasan di balik kegagalan Islamisme, bahkan di negerinya sendiri seperti Mesir, Turki, Irak, dan Indonesia. Setelah sedikit membaca Roy, saya mengira kegagalan mereka mempunyai hubungan erat dengan sikap tidak dewasa mereka sendiri. Roy menyasar sikap tersebut, dan menyebutnya dengan istilah nostalgia dan apologia (Roy, 1992).
Apakah haram untuk mempunyai angan-angan apologetik ini? Entahlah, saya bukan mufti. Namun, akibat selalu bernostalgia dengan imajinasi – yang seringkali tidak historis, melainkan dogmatis – tentang kejayaan masa lalu Islam; dan akibat selalu mendaku bahwa Islam sebagai agama adalah sudah lengkap dan sudah lebih maju dibandingkan peradaban mana pun, akhirnya mereka yang terjangkiti virus Islamisme jadi mandek dan tidak kritis dalam berpikir.
Tanpa alasan-alasan rasional, mereka begitu saja anti terhadap kemajuan peradaban lain, terutama peradaban Barat. Ini adalah sesuatu yang lucu, dalam pandangan Roy. Di satu sisi para Islamis adalah hasil didikan dunia pendidikan modern yang sekuler dan Barat-sentris; namun, di saat yang sama mereka menghina-hina dunia Barat yang mendidik dan membesarkan mereka. Mungkin, seperti seorang yang mengecam kapitalisme tapi masih menggunakan IPhone atau Samsung di tangannya. Selucu Osama bin Laden, yang mengutuk dan membom Amerika Serikat, tapi tetap setia pada dollar-nya.
Dalam Ruang Sosiologis Seperti Apa Mereka Muncul?
Bagian introduction buku ini penting karena beberapa alasan. Pertama, lewat dua puluh tujuh halaman, Roy ingin para pembacanya paham bahwa gerakan ini sebenarnya sudah gagal. Artinya, tak usah kita menganggap besar sesuatu yang sama sekali tidak besar. Pesepakbola megabintang seperti Messi, tak perlu menanggapi serius jika ada pesepakbola juara kampung yang tiba-tiba menantangnya.
Ini adalah cara lain dari Roy untuk mengingatkan dunia global supaya tidak terlalu mengeksploitasi rasa takut massa dengan pemberitaan seolah Islamisme adalah tandingan bagi demokrasi. Kedua, mengapa bagian ini penting, adalah karena ia menjelaskan dasar-dasar sosiologis dari kemunculan kaum Islamis.
Mari kita ikuti penjelasan Roy. Islamis bukan kelompok tradisionalis yang irasional. Agenda mereka bukan mengubah modernisme menjadi ‘Abad Pertengahan-isme’. Mereka jauh dari itu. Jika mereka memuji-muji masa lalu Islam, itu bukan karena mereka benar-benar ingin kembali ke sana. Mungkin mereka tahu bahwa itu tidak mungkin. Yang mereka incar adalah simpati publik dan kursi kekuasaan (Roy, 1992).
Cara mereka menjalankan agendanya sendiri cukup modern; yaitu lewat propaganda, revolusi, dan kalau perlu terorisme. Di abad pertengahan Islam, tak ada propaganda, revolusi, dan terorisme. Cara-cara yang digunakan para pembela modern syariat Islam adalah bid’ah paling besar dalam Islam.
Baca juga: Agama dan Cerita-ceritanya
Roy mengingatkan kita, bahwa mereka yang Islamis hari ini, bukanlah berasal dari madrasah dan pesantren yang kental akan tradisi Islam. Mungkin ada satu dua di antaranya. Namun, berdasarkan survey, mereka ini kebanyakan adalah aktivis kampus dan kantor. Mereka berdiskusi dan berorganisasi seperti halnya kaum militant Marxis. Organisasi mereka adalah sebentuk modernitas yang canggih (Roy, 1992).
Masih menurut Roy, masyarakat polos yang mengikuti jejak kaum Islamis juga tidak bisa disebut Muslim tradisional. Kebanyakan mereka hidup justru dengan nilai-nilai urban. Konsumerisme, mobilitas sosial yang vertikal, dan ketercerabutan mereka dari tradisi di desa, madrasah, dan pesantren, adalah bukti bahwa mereka tidak lagi tradisionalis.
Cukup membantu Anda, bukan? Ya, penjelasan ini cukup membantu kita untuk mengerti mengapa, di Indonesia misalnya, kaum Islamis pengikut partai politik anak kandung Ikhwanul Muslimin, yaitu PKS, kemudian pengikut Hizbut Tahrir, Jamaah Islamiyah, dan Partai Masyumi selalu terkonsentrasi di kota, bukan di desa; berakar dalam kelompok-kelompok pengajian modern, dan bukan pesantren.
Menurut Roy, dari sudut pandang sosiologis, Islamisme adalah produk dari dunia modern. Para Islamis militan tak banyak yang merupakan ulama. Mereka justru adalah kaum terdidik di kampus-kampus sekuler dan modern. Kebanyakan dari mereka adalah lulusan jurusan sains dan teknik. Mereka hidup di kota-kota besar, dan bekerja di kantor dan perusahaan kapitalis, baik itu swasta maupun badan usaha milik negara (Roy, 1992).
Mereka memandang agama sebagai ideologi. Ya, agama adalah ideologi itu sendiri. Itu berarti, kaum Islamis cukup pandai secara intelektual sehingga mampu menerjemahkan Islam menjadi ideologi sosial-politik modern.
Akhirnya, mungkin kita bisa sampai pada sebuah definisi sementara dari Islamisme: sebuah ideologi kekuasaan dan kekuatan berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Para ulama tradisional akan mempertanyakan Islam yang mana yang diperjuangkan para Islamis. Dan, sebagai balasan, seorang Islamis akan berdiri, dan menuduh bahwa para ulama itu munafik karena tidak mau sejalan dengan mereka.
Apa yang Sebenarnya Mereka Rencanakan?
Kita bisa bertanya: Apa sebenarnya agenda yang diperjuangkan para Islamis? Menurut Roy, ada dua. Pertama, menegakkan supremasi syariat Islam atas seluruh dimensi kehidupan manusia modern. Yang menarik adalah, cita-cita fundamentalisme berbasis syariah ini merupakan cita-cita yang setua Islam itu sendiri; namun, ia juga modern alias baru karena belum sekali pun dalam sejarah, cita-cita ini pernah tercapai secara murni dan total (Roy, 1992).
Ini ungkapan yang menarik dan tegas. Roy melihat, nafsu sebagian umat Islam untuk menegakkan supremasi syariat adalah usaha yang sejak kemunculan Islam pertama kali, belum pernah sama sekali mencapai tujuannya. Jika memang begitu, maka tatkala para Islamis menengok ke belakang dan memuja-muji masa silam Islam sebagai masa yang ideal, yang terjadi justru adalah kekeliruan mereka dalam membaca sejarah. Memang menggelikan, karena para pembela khilafah dan syariat seperti tak mau melihat fakta sejarah tentang perilaku amoral para khalifah dan sultan.
Namun begitu, bagaimana pun, cita-cita Islam politik ini akan selalu menarik banyak peminat, karena memberikan alternatif bagi umat Islam modern dalam menghadapi korupsi elit penguasa, ketidakadilan, dan kebejatan moral manusia modern. Roy tetap mengingatkan juga bahwa Islamisme jelas punya kemampuan dan kekuatan revolusioner, terlepas dari adil atau tidaknya diri mereka sendiri. Revolusi Islam Iran tahun 1979 adalah buktinya. Islamisasi yang terjadi di Pakistan, Malaysia, dan Indonesia juga tak bisa diremehkan.
Kedua, yang sedang diperjuangkan para Islamis adalah sesuatu yang jauh lebih baru, dan karenanya lebih sulit untuk diidentifikasi. Tapi, Roy sudah mengidentifikasinya untuk kita. Ia adalah dunia yang anti-kolonialisme, anti-imperialisme, yang saat ini menjadi sekadar anti-westernisme. Roy melihat, dari Kairo hingga Teheran, massa yang pada 1950-an berdemonstrasi di bawah bendera merah (yaitu sosialis dan nasionalis), yang berjuang melawan hegemoni Barat; sekarang berbaris di bawah bendera hijau (yaitu Islamis).
Sasaran mereka masih sama: bank asing (simbol kapitalisme), klub malam (simbol kebejatan moral), dan pemerintah yang menerima itu semua (simbol kemunafikan, atau, mungkin simbol iblis itu sendiri). Kesinambungan antara ‘bendera merah’ dan ‘bendera hijau’ ini bukan hanya dalam soal target protes dan sasaran revolusi mereka; melainkan juga pada partisipan dan simpatisan mereka. Roy melihat, individu-individu yang dulu mengikuti Nasser dan Marx di tahun 1960-an di negeri-negeri Islam, adalah orang-orang yang kemudian menjadikan Islam sebagai ideologi revolusi sosial dan politiknya (Roy, 1992).