Seimbang adalah bagian dari sunnatullah yang berlaku untuk semesta raya, tak terkecuali kehidupan dan aktivitas manusia, dibutuhkan keseimbangan untuk menemukan nilai dan keberkahan hidup. Makhluk lain pun juga demikian, diperlukan satu keseimbangan untuk kehidupan dan keberadaan yang damai.
Mungkin kita pernah bertanya dalam diri tentang rasa yang kita alami, di mana kondisi ketidakseimbangan sering kita alami, antara harapan dan kenyataan, antara ikhtiar dan hasil, antara pikiran dan fakta, antara doa dan buah penantian yang sering bertolak belakang. Kondisi ketidaksimbangan yang kita terima dan rasakan itu, bisa jadi disebabkan oleh sesuatu yang kita ciptakan sendiri di luar kesadaran kita.
Mari kita evaluasi diri ini terkait dengan ketidakimbangan yang sering kita alami. Kita ingin agar hidup kita tenang, nyaman, dan damai, tetapi pada sisi lain dari kehidupan kita, seringkali mengusik ketenangan dan kedamaian orang lain dengan sikap, prilaku, bahasa, dan kebiasaan yang kita praktikkan, baik di dalam dunia nyata maupun di dalam dunia maya. Bukankah hukum alam telah menyepakati bahwa apa yang kita tanam, maka itulah yang kita tuai?
Jadi berusahalah untuk menakar kehidupan ini dengan imbang, jika ingin ketenangan, maka janganlah mengusik ketenangan orang lain. Jika ingin damai, maka berdamailah dengan situasi dan keadaan. Jika ingin nyaman, buatlah orang-orang di sekitar kita merasa nyaman bersama kita.
Demikian pula dengan kondisi hati, pikiran, dan tindakan nyata, bila ketiganya tidak imbang akan memberi efek negatif dan begitu pula sebaliknya. Ketaatan beribadah misalnya, akan memberi efek ketenangan dan kebahagiaan rohani bagi yang melakukannya, tentunya bila dia imbangi dengan bermuamalah yang baik.
Kenyataannya, Ibadah rajin dan maksimal—tiap masuk waktu salat selalu hadir di tempat ibadah, bahkan selalu tepat waktu, zikir dan tahlil selalu dilaksanakan, namun begitu berada pada ranah muamalah, sikap dan prilaku kita kadang menyakiti saudara dan tetangga, suara kita tidak membuat hati orang lain nyaman, dan postingan-postingan di media sosial tidak menyejukkan pembacanya.
Dalam berdoa juga demikian, kita berusaha dengan sikap yang sangat khusuk, bahkan sambil meneteskan air mata mengadu, merintih, dan bahkan memaksa Tuhan untuk mengabulkan segala doa—namun selepas berdoa, kita tidak melakukan ikhtiar yang mendukung muatan yang terucap dalam do’a.
Contoh, berdoa untuk selamat dunia dan akhirat—tetapi tidak berikhtiar untuk memelihara diri dari hal-hal yang bakal mencelakakan, berdoa untuk mendapatkan rizki yang melimpah—tetapi tidak berikhtiar untuk melakukan fantasyiru fil ardhi untuk menemukan karunia Tuhan, berdoa untuk sukses dalam perjuangan—tetapi tidak berikhtiar dengan maksimal untuk belajar, untuk mencari tahu, tidak maksimal berkompetisi, dan sebagainya.
“Wa qāla rabbukumud’ụnī astajib lakum, innalladżīna yastakbirụna ‘an ‘ibādatī sayadkhulụna jahannama dākhirīn”. Dan Tuhanmu berfirman, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina’.” QS. Al-Mukmin ayat 60.
Di penghujung ayat ini, Tuhan tidak menyukai orang-orang yang lengah dalam melakukan ikhtiar dari apa yang dia minta. Tuhan ingin melihat bahwa kita sungguh menginginkan sesuatu yang kita untai dalam doa, dengan cara mengimbanginya dengan ikhtiar nyata.
Dalam mewujudkan hajat hidup, kita juga tidak sadar bahwa usaha kita belum imbang. Kita rajin bangun di pertengahan malam untuk taqarrub dengan Tuhan dalam sujud-sujud tahajjud, merintih mengakui segala khilaf, dan menkerdilkan diri di hadapan kebesaran Tuhan, bersimpuh di gelapnya malam seakan-akan yang terjaga saat itu hanya kita dan Tuhan—akan tetapi pada siang hari, tidak diimbangi dengan sikap tawadhu’ dan rendah hati. Bahkan kadang sebaliknya, menjadi orang yang congkak, takabbur, dan membangga-banggakan dirinya.
Demikian pula dengan ibadah puasa, rutin dilakukan Senin dan Kamis, bahkan malah menunaikan puasa yaumul bit, di setiap pertengahan bulan, dengan maksud ingin agar dominasi kemauan dunia bisa ditaklukkan, dan ingin pula agar kesehatan jiwa dan raga terjamin, namun kegandrungan berpuasa sunnah tidak pula diimbangi dengan kepandaian menahan diri, kekuatan mengontrol diri, atau tidak berupaya untuk berikhtiar mengikuti jejak-jejak para zahid dalam menikmati kehidupan dunia.
Keseimbangan dalam pola-pola hidup dan cara mengisi kehidupan ini penting kita lakukan, agar apa yang tersirat dalam angan dan harapan berbanding lurus dengan apa yang berwujud dalam kenyataan.
Islam mengajarkan tentang pentingnya ikhtiar sebagai daya dan upaya yang menguatkan asa dan harapan, yang menjadi daya imbang antara yang nampak dan tak nampak. Pesan Tuhan dalam surah al-Qashahs ayat 77, “Wabtaghi fiima ataakallahu ad-daaral akhiroti wa la tansa nashibaka min ad-dunya”. Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.
Ayat Tuhan ini sungguh mengandung i’tibar yang sangat indah untuk memahamkan kita tentang keseimbangan dalam hidup niscaya untuk kita lakukan, dan sedapat mungkin menjadi bagian dari komitmen hidup yang Tuhan berkahi.
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram