Laila Tidak Majnun

Pagi buta, saat matahari sepertinya masih enggan menampakkan diri. Jalan raya masih sepi. Hanya ada beberapa kendaraan, mungkin dari pekerja kantoran yang lembur sampai dini hari. Lorong-lorong gelap tempatku bermukim jadi makin gelap. Lampu-lampu rumah di pinggir kali tak terlalu menyumbang terang. Bohlam lima watt itu tampaknya hanya sampai pada kata remang-remang alih-alih terang. Dan tidak semua orang menyalakan lampu depan rumahnya yang remang-remang itu karena harus menghemat tagihan listrik, yang mungkin bagi orang-orang kaya, orang-orang yang memenuhi jalan raya dengan mobil itu tidaklah seberapa.

Seisi kampung masih terlelap. Sunyi, suara bising kendaraan belum terlalu terdengar mengganggu. Sesekali, angin sepoi-sepoi berhembus. Membuatku merasa tenang alih-alih menggigil. Bulan ini sudah masuk musim hujan, jadi tak heran angin yang sama juga menerbangkan gerimis. Membujuk siapapun untuk tetap membungkus dirinya dalam selimut yang tebal dan tentunya enggan meninggalkan kasur.  Tapi aku sudah di sini, di tengah-tengah jembatan gantung tempat semua orang menyebrang, lalu lalang menuju tempat tujuan.

Baca juga: Pram, Sejarah, dan Perlawanan Sastra

Entah pulangkah atau pergikah, aku tak tahu. Juga tak pernah ingin tahu. Aku di sini, dari pagi buta hingga petang menyapa di balik gedung-gedung pencakar langit. Duduk menggantung kaki, dengan kedua tangan memegang tali jembatan. Memandang kosong hamparan sungai keruh kehitaman yang berisi banyak sampah.

Sudah hampir sebulan aku bertingkah konyol seperti ini. tidur jam delapan malam, lalu terbangun jam dua atau tiga subuh. Melakukan rutinitas yang sama seperti di atas, setiap harinya. Kadang berdiri, kadang juga duduk tak beralaskan apa-apa, hingga matahari akan beralih haluan, pindah tugas. Aku akan kembali ke rumah, masuk kamar lalu tidur. Ibuku sudah seminggu yang lalu menyerah, membujukku untuk semangat lagi., melupakan semua yang telah terjadi. “Hidup akan terus berjalan nak,” nasehatnya. Tapi aku tak bergeming. Masih betah menangisi keadaan.

Tepatnya tiga minggu yang lalu, Sunarjo, pacarku telah menikah. Dengan gadis desa tetangganya yang tidak tersohor. Nilam namanya, gadis berkulit hitam yang tak manis sama sekali, tapi berhasil merebut hati Sunarjo. Entah apa yang merasukinya, aku yakin Sunarjo pasti telah diguna-guna. Meski dia tak tampan sama sekali, tapi kata ibunya, tanah dan sawah milik anaknya di kampung berhektar-hektar luasnya. Itulah yang membuat Sunarjo yang tak tampan itu begitu digilai oleh gadis-gadis di desanya. 

Perihal hubunganku dengannya, tentu saja bukan aku yang pertama kali mencintainya. Satu tahun yang lalu, Sunarjo datang ke rumahku. Seorang pemuda parlente dengan cincin emas dan baja putih yang bertahtahkan akik berkilau, melingkar hampir di semua jarinya. Ibuku girang bukan kepalang, ditambah lagi saat mendengar niat Sunarjo datang ke rumah.

“Saya ingin melamar anak ibu,” kata Sunarjo yakin, senyumnya mengambang bersamaan dengan ibuku. Binar mata bahagia terpancar di sana, di kedua pasang lensa dua orang yang saling berhadapan itu. Ibuku dan Sunarjo. Pemuda kaya raya datang ke rumah Laila yang bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa dengan maksud melamar, itu berita yang menggemparkan warga kampungku. Ibuku bahkan tidak sadar, kalau ditangannya ia masih memegang besi pengait sampah untuk memulung, karena Sunarjo memang datang tiba-tiba. Tampaknya ia memang sebahagia yang terlihat. Dan aku hanya tersenyum mendapati dua orang di hadapanku bertingkah seperti itu. Aku biasa saja sebenarnya, tidak terlalu bahagia, tidak terlalu berharap, pun jua tidak sedih. Biasa saja. 

Baca Juga  Mencegat Lailatul Qadar (LQ): Puisi Alkhair Al Johore

“Ha?, tidak salah dengar kamu? Laila? Laila yang setress itu?.”

“Ha? Gak salah?  Laila? Yang kemarin katanya sempat gila itu?.”

“Ha?, Laila yang sampai umur tiga puluhan masih melajang itu?.”

Semua orang kembali membicarakanku. Tapi tak apa, dari awal aku tak pernah ambil pusing. Peduli apa aku tentang yang mereka bicarakan, yang penting sekarang aku akan menikah, dengan pemuda kaya raya dari pulau padat penduduk itu. Aku bisa membuktikan kepada mereka, warga kampungku, bahwa aku ini memang benar-benar cantik. Dan siapa bilang umurku tiga puluh?, dasar mak lampir. Tahun ini, umurku baru dua puluh delapan tahun. Masih dua tahun tersisa sebelum menginjak usia tiga puluh, dan aku masih dua puluhan. Titik!.

Hari-hari setelahnya berjalan begitu menyenangkan. Sunarjo begitu manis memperlakukanku. Tiap hari dia datang ke rumah, atau menyamperiku saat aku membantu ibu memulung dekat rumah. Sunarjo datang dengan menenteng es buah dan gorengan. Katanya, meskipun kaya tapi seleranya merakyat. Dan aku tentu saja percaya. Lagi pula untuk apa Sunarjo membohongiku. Aku menyukainya dan juga selera makakannya. Sunarjo adalah penyelamat bagiku. Dari sekian yang datang melamar, Sunarjolah yang paling lama bertahan denganku. Dia hadir meruntuhkan tembok-tembok tinggi dan tebal yang selama ini membuatku tak bisa bergerak dengan bebas karena malu belum jua menikah.

Baca juga: Musuh yang Berselimut

Malam itu, Sunarjo mengajakku ke taman kota. Meski dekat, tapi aku jarang ke sana. Jadilah malam itu menjadi kali pertama aku menginjakkan kaki di sana. Melihat banyak orang dengan pakaian bagus-bagus turun dari mobil dan mmotornya. Anak-anak yang saling bekerjaran, pasangan-pasangan muda yang sedang dimabuk asmara. Dan aku menjadi bagian dari mereka semua malam ini, dan aku tidak sendiri, aku bersama Sunarjo, calon suamiku. Sunarjo berhasil membuatku jatuh cinta kembali.

“Kau senang Laila?.” Tanya Sunarjo berbisik di telingaku. Aku mengangguk, tersenyum menatapnya. Kalau dia bisa mengartikan senyumku, itu akan bermakna, “terima kasih sudah hadir, dan sudi meminangku.” Tapi sepertinya Sunarjo tidak mengerti pikirku. Lupakan saja.

“Mas, kenapa mas bisa kenal sama aku? dan yakin untuk melamarku. Setelah aku pikir-pikir kita belum pernah ketemu sebelumnya.” Tanyaku padanya. Sunarjo tersenyum.

“Kau tidak ingat anak lelaki yang dulu sering ingusan waktu SMP?.”

“Ingusan waktu SMP?,” aku berpikir sejenak, alisku bertaut. “Oh iya, aku ingat. Itu mas?.”

“Bukan!.” Terangnya yang kemudian diikuti oleh tawa kami berdua. “Aku temannya anak itu. Aku mengagumimu sudah sejak lama Laila.”

“Oh iya, terima kasih mas.” Setelah percakapan itu kami kembali terhanyut dalam keramaian. Sesekali pandangan kami bertemu lalu kami akan saling tersenyum kembali. Hatiku sudah tak karuan, berusaha menutupinya dengan sibuk menengok kiri dan kanan. Pura-pura mengamati orang-orang di sana.

Baca Juga  Permata yang Sempat Hilang

“Laila, kau ibarat rembulan. Ayu lan bersinar terang. Engkau ibarat kembang merekah, wangi lan menawan. Senajan hati iki ra iso ditahan., mergo awakmu seng selalu tak sayang, ingin hati, kubawa kau pulang.” Tutur Sunarjo dengan mukanya yang tersipu. Aku sebenarnya tidak terlalu mengerti, tapi melihat ia yang salah tingkah aku ikutan tersenyum. Apapun artinya, itu pasti ungkapan cinta Sunarjo untukku. Itu sudah cukup.

Sunarjo kemudian berlutut. Membuka kotak merah kecil berbentuk hati. Isinya satu cincin emas, dengan intan putih besar yang menghiasi tengahnya. Menurutku intannya kegedean, tapi tak apa, karena Sunarjo yang memberikannya, maka semua menjadi indah dan sempurna. Air mataku tanpa sadar menetes, aku terharu. “Ibu!, akhirnya aku benar-benar akan menikah!,” pekikku dalam hati. Tidak akan ada lagi yang berani mengejekku gila ataupun tidak laku. Sunarjo kemudian memasangkan cincin itu di jari manisku. Aku mengucap terima kasih padanya karena telah memilihku, dan mewarnai hidupku dengan banyak warna terang dan menggembirakan hati. Dia tersenyum.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Namun pada tanggal lima belas bulan Mei kemarin, tiba-tiba saja Sunarjo tak mengunjungiku. Dia menghilang, tidak lagi ke rumah, tidak lagi membawa gorengan dan es buah seperti biasanya. Aku mulai merasa khawatir. Sebentar lagi kami akan menikah. Mungkinkah dia pulang kampung tanpa memberitahuku? Tapi itu tidak mungkin, pikirku. Hingga seminggu berikutnya, selembar undangan tiba-tiba saja berada di depan pintu rumahku. Aku heran, karena penasaran aku pun membukanya. Di sana tertulis nama Nilam Sari dan lakinya.. “Sunarjo!!!!,” pekikku tak percaya. Aku ambruk seketika. Semua badanku lemas, mataku panas menahan tangis, perasaanku sudah tak karuan. Sunarjo berdusta, dan dia telah tega mengkhianati janjinya padaku.

“Tuhkan, apa aku bilang?!, pasti gak jadi nikahnya, kayak yang sudah sudah. Laila itu kena kutukan!.”

“Parasnya memang cantik, tapi sepertinya nasibnya sial.”

“Kenapa juga mpok Siti kemarin menamainya Laila?, jadi begitukan nasib anaknya. Sial terus.”

Kata-kata itu kembali terdengar. Percaya diriku kembali runtuh. Aku tak mau melihat siapapun. Aku tak bisa lagi menghadapi mereka, aku tak lagi punya keberanian untuk itu. Tapi terkait namaku yang katanya kena kutukan karena mewarisi kepedihan jalinan asmara tokoh Laila di cerita-cerita orang Arab sana, aku tahu dengan pasti mereka salah menduga, yang gila itu bukan Laila tapi laki-laki yang mencintainya. Begitu guru sekolah menengahku menerangkan dahulu. Laila tidak majnun, begitupun aku. Sunarjo-lah yang gila karena telah meninggalkanku.

Ilustrasi: Iqra.id

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *