Saatnya Mendengar Banjir Berkhotbah

Tak perlu saya jelaskan lagi duduk persoalannya, akhirnya kita ramai-ramai membicarakan soal banjir. Hingga ada yang “mengutuk” banjir.

Semuanya, mulai dari orang pemerintah, petani jagung dan masyarakat sendiri. Namun kita lupa, Banjir sendiri, kita tidak pernah memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi perbuatannya.

Cukup merugikan memang, perbuatan Si Banjir ini. Aktivitas ekonomi terhambat, jalan rusak, tidur tidak nyenyak, serba was-was ketika datang hujan, dan seabrek ketakutan lainnya. Kita sudah merasa was-was, bahkan sejak tetesan pertama gerimis jatuh.

Semuanya itu dari kacamata kita. Tapi kita benar-benar belum pernah mendengarkan klarifikasi Banjir selama ini. Banjir memang sering mengingatkan dengan isyaratnya. Tapi, itu terlalu wah, untuk kami yang tidak peka dan bodoamat ini.

Okeyy, suatu waktu, di hari Jumat yang maha berkah, matahari kira-kira baru menempuh sepertiga perjalanannya. Di bawah pohon beringin yang teduh, ada sekelompok masyarakat yang sedang duduk. Mereka khusyuk mendengar klarifikasi dalam bentuk khotbah Si Banjir di atas mimbar. Ia hadir lengkap dengan tongkat kayu berkepala naga.

Demikian Isi Khotbahnya:

Oee, dou-dou ma imbi ee…terutama untuk hadirin yang berkenan hadir pada kesempatan ini –maklum saja, yang hadir di sana hanya masyarakat, petani jagung, sedangkan perwakilan pemerintah yang diundang menolak hadir– saya terus terang saja, saya selama ini sudah bersabar atas keluh kesah yang dialamatkan kepada saya. Padahal saya datang ke tengah-tengah masyarakat ini untuk menunjukkan rasa hormat saya kepada kalian semua.

Setiap musim hujan tiba, dan setiap perhelatan lima tahunan itu, saya selalu diundang. Saya diundang untuk menghidupkan asap dapur para petani jagung. Kemudian, saya juga diundang oleh pemerintah, tentu melalui kebijakan dan program yang mereka janjikan selama lima tahun itu kepada kalian semua.

Terus, setelah saya hadir, kalian dengan senang hati memaki-maki saya. Apakah saya tamu tak diundang? Tentu tidak, saya datang karena undangan resmi. Undangan saya bahkan harus disahkan terlebih dahulu dengan wakil-wakil kalian yang disebut anggota legislatif itu.

Sangat tidak bijak kalian sampai “mengutuk” saya, padahal kalianlah yang mengundang, harusnya sebagai tuan rumah kalian harus sambut saya dengan suka cita, ditawari kopi hangat dan jagung rebus, dan bila perlu sediakan amplop merah untuk sangu-nya. Karena berkat hasil kerja tim sayalah kalian mendapatkan semua itu. Ini malah kebalikannya, naudzubillah.

Dengan sedikit berkaca-kaca, Si Banjir melanjutkan khotbahnya di tengah-tengah masyarakat.

Baca Juga  PPI: Politik Parokial “Indonesebagian”

Oee, dou-dou ma imbi ee…Perlu kalian ketahui, sejak dulu pemerintah yang kalian pilih itu di tingkat provinsi sudah membuat program yang namanya “Pijar” (sapi, jagung dan rumput laut). Konon katanya, program ini sudah berhasil meningkatkan ekonomi masyarakat loh. Dengan meningkatkan produksi, membuka akses jalan di tengah-tengah hutan, membagi bibit jagung gratis untuk petani jagung. Nah, itulah salah satu bentuk undangan yang membuat kami datang. Katanya, setiap tahun bantuan itu bertambah banyak lagi. Patut kalian syukuri, ya.

Nah, konon katanya juga pemerintah kalian yang sekarang juga melanjutkan program-program itu. Maklum saja, saat dulu beliau berkampanye dibantu juga oleh pemerintah kalian sebelumnya itu.

“Terus-terus” celetuk seorang masyarakat yang antusias mendengar khotbah Si Banjir.

Katanya, mereka juga ingin loh, mengikuti keberhasilan Provinsi Gorontalo yang mengembangkan jagung sebagai komoditas utamanya. Katanya di provinsi itu, berkat jagung, APBD-nya bisa bertriliyunan rupiah loh. Padahal tahu ngak kalian. Aku juga sering mengunjungi mereka, sama seperti kalian ini. Setiap temanku bernama Hujan turun ke bumi, saya selalu mengunjunginya, tentu dengan undangan resmi juga.

Kalau kalian sudah berhasil menanam bibit jagung itu, dan panennya bagus, hasilnya bisa kalian makan, untuk biaya anak kalian sekolah yang akhirnya akan meningkatkan IPM.

“Apa itu IPM, Banjir?” Tanya Pak Saleh.

Indeks Pembangunan Manusia, yang setiap daerah itu berusaha keras untuk meningkatkannya. Selain itu, jika kalian berhasil juga akan mengurangi tingkat pengangguran di daerah kalian ini, otomatis kemiskinan juga akan turun begitulah kira-kira yang dijelaskan sama pemerintah provinsi kalian.

“Nah, terus pemerintah kota dan kabupaten yang kemarin turun memantau kedatanganmu bagaimana Banjir?” Tanya Pak Sabar yang duduk di belakang.

Mereka juga banyak mengundang saya, sungai-sungai mereka banyak yang sempit. Irigasinya dipenuhi sampah. Gunung-gunungnya mereka bangun penginapan, kafe, dan vila untuk mereka kunjungi setiap akhir pekan.

Baca Juga  Investasi yang Tekor dan Makan Siang yang Batal

Sampai bibit jagung juga, mereka bagi harusnya gratis untuk kalian, mereka kenakan biaya sedikit. Duh, kasihan sekali kalian. Kalau panen kalian bagus, mereka cepat-cepat membangun kegiatan “panen raya” agar mereka bisa berfoto memamerkan jagung hasil bibit yang mereka beri tadi.

Nah, kalau saya datang mengunjungi kalian, lewat tamgan buzzer-buzzer-nya mereka menyerang para petani jagung. Seolah-olah yang salah hanya petani jagung. Padahal ekosistem ini banyak dipengaruhi oleh mereka juga.

Kalian sebagai petani juga pernah mengundang saya. Kalian undang lewat tuntutan pupuk harus murah, dan kalian setiap lima tahun memilih pemerintah yang kalian anggap bisa membangun ekosistem pertanian yang baik. Uluh-uluh.

Jadi ini adalah dosa kalian semua. Akibat undangan dari kalian semua. Makanya kalian jangan menghujat saya, jangan juga kalian saling menghujat. Ini adalah salah kita semua. Kalian harus tahu, kuningnya warna Banjir dan kuningnya warna sebuah partai itu hampir sama. Tapi gabungan dari kalian semua juga akan menghasilkan yang kuning, yang dibawa olehku di sungai-sungai itu.

“Terus solusinya bagaimana Banjir?” Tanya Bu Ani.
Itulah yang aku juga bingung. Begini saja, kalau Banjir datang, jangan anggap itu banjir. Jadi tidak ada banjir. Seperti kata motivator-motivator mahal itu, jika ada masalah, jangan anggap itu masalah, biar masalahnya tidak ada.

“Ooohh, gitu yaa” kata Bu Ani.

***
Kemarin salah satu tim saya yang bernama Hujan mengatakan bulan ini akan turun, menyambangi kalian semua.
Dengan petata-petiti yang dikuatkan dengan dalil yang dihafalnya, membuat masyarakat yakin dan membulatkan tekad agar pergi ke ladangnya lagi. Menaati semua yang dikatakan Si Banjir.

Karena sinar matahari kian panas, Banjir mengakhiri khotbahnya, dengan mengucapkan salam dan pesan agar jangan lagi mengundangnya.

Ilustrasi: Media Indonesia

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *