MODERASI beragama secara sederhana dipahami sebagai cara pandang, sikap, atau perilaku beragama yang moderat, toleran, menghargai perbedaan, dan selalu mengedepankan kemaslahatan bersama (public virtue). Tidak menafikan orang lain, apalagi mengganggu dan memeranginya.
Sementara itu, kearifan lokal merujuk kepada pengetahuan atau kebijaksanaan suatu masyarakat yang bersumber dari nilai luhur yang diwariskan, sebagai ruh kebudayaan, bekerja sebagai perangkat menata hidup manusia dalam masyarakat.
Baca juga: Nalar Sufi Malamatiyah untuk Perdamaian
Nilai-nilai kearifan itu bisa mewujud dalam ungkapan-ungkapan atau berbagai praktik baik. Terkadang terselip dalam ritual-ritual, atau dalam petuah, petatah-petitih orang-orang tua. Nilai-nilai itu membentuk alam pikiran atau dunia batin. Pada gilirannya alam pikiran itu menghantarkan cara bertindak (yang terpola).
Nilai-nilai itu bukan serta-merta jatuh dari langit. Ia tumbuh bersama pergulatan masyarakat dengan realitas objektif yang dilibati. Masyarakat punya sumber inspirasi, entah itu agama (kitab suci) atau tradisi peninggalan nenek-moyang.
Modalitas Moderasi dalam Kultur Orang Bima
Orang Bima hidup dalam dua topografi alam, dataran yang dikelilingi pegunungan dan lembah yang menyusur teluk. Maka orang Bima sebagian menganut budaya agraris dan sebagain lain diliputi budaya pesisir.
Budaya agraris mementingkan guyub dan solidaritas, masyarakatnya kolektif. Mereka menganut moralitas subsisten, cara menyambung hidup. Yakni saling menopang. Yang punya mengasihi yang miskin. Kebersamaan dan kerekatan sosial dipelihara. Tanpa permusuhan. Tanpa musuh.
Jika pun ada musuh, maka itu bernama individualisme. Yakni cara hidup yang bersandar pada kekuatan individu. Survival of the fittes, yang kuat dia yang bertahan. Yang lemah tidak punya ruang hidup. Berlaku logika mayoritas vs minoritas. Hasilnya hubungan saling meniadakan.
Sementara itu, masyarakat dengan kebudayaan pesisir cenderung terbuka. Egalitarian dan demokratis. Menerima dan diterima orang lain. Kosmopolit, menghubungkan diri dengan orang luar. Suka berbagi ruang, akses, dan kekuasaan dengan pihak lain (distributive power).
Contoh, dulu orang Bima punya unit kekuasaan sendiri, bernama Ncuhi. Ketika orang luar datang memperkenalkan cara hidup dan gaya menata masyarakat yang lebih baik, outsider itu diterima jadi insider. Bahkan dijadikan sangaji (raja), Sang Bima itu – pohon trah kerajaan/kesultanan Bima.
Baca juga: Jatuh-bangun Etos Intelektual-Ulama dan Gerakan Kultural yang Bisa Dilibati
Masih banyak contoh lain, yang mencerminkan kayanya sumber multikulturalisme Bima. Jika kultur agraris menyumbang etos dan rasa kebersamaan dan keintiman sosial maka kultur pesisir menyumbang etos kesetaraan dan keterbukaan sosial.
Sumber lain adalah agama (Islam). Sebagai masyarakat Muslim (muslim society) – ditandai oleh tegaknya Kesultanan Islam – ajaran agama Islam terpatri (embedded) membentuk alam pikiran, habitus, dan tindakan orang Bima.
Islam di Bima yang bercorak syari’ah, representasinya lembaga Mahkamah Syar’iyyah, menghasilkan masyarakat yang taat dan tertata. Di Bima juga berkembang Islam sufistik yang romantik, dalam bentuk diskursus spiritual bernama Fitua dan praktik tarekat.
Islam romantik itu ialah Islam yang merangkul, ramah dengan entitas lain di luarnya. Mau bergaul dan berkelindan bersama, dan lama-lama membentuk esensi Islam itu sendiri. Karakter seperti ini memungkinkan Islam bisa bertemu dengan adat-budaya, menerbitkan anutan hidup.
Kawin mawin kedua entitas itu menurunkan Islam yang semarak/nyeni atau budaya yang spiritualistik-transenden (membahagiakan-membebaskan). Ejawantah pertautan itu dapat ditemukan dalam ungkapan-ungkapan, misalnya:
“Kalembo Ade” (luaskan hati). Dalam al-Qur’an dikenal Ishrah al-Shadr, lapang dada – do’a Nabi Musa agar bisa menyerap kearifan dari luar. Orang Bima memperluas penggunaan ungkapan ini untuk menyapa orang lain, memberi perhatian, keramahan, dan empati.
“Kabawa weki kabawa ade” (merunduk diri menundukkan hati). Ini terjemahan budaya yang sejalan dengan larangan bersikap laku arogan dalam al-Qur’an “wa la tamsi fil ardy marahan” (jangan berjalan di atas muka bumi dengan sombong (QS. 17: 37).
“Kadesemu weki wati kalalomu fu’u ni’u, kabawamu weki wati lampamu pita dana” (tinggi hati tidak melampaui pohon kelapa, rendah hati tidak membuat berjalan di balik tanah). Ini ajaran budaya-agama mengenai kerendahan hati (humility) dan keterbukaan (opennes) – prasyarat memperoleh kebaikan yang luas, sementara arogansi adalah ketertutupan yang mengkerdilkan.
”Liki Loko Ndai” (mencubit perut sendiri). Ini ajaran teposeliro untuk tidak gemar menyakiti atau menzalimi orang lain. Ada pula konsep “Ngaji Iu” (tenggang rasa). Bagi orang Bima konsep kultural ini menjauhkan sikap dengki, gemar menista (labelling) dan stigma. Bukankah al-Qur’an melarang itu karena mengubur potensi kebaikan (QS. 49:11).
Maka orang Bima sejatinya manusia kosmopolit, egaliter, dan humanis, serta terbuka bagi liyan – suatu karakter inti masyarakat multikultural. Maka orang Bima gemar merantau karena bersedia menerima dan diterima orang lain.
Dalam pergaulan antaragama, orang Bima punya best practices. Gereja di Raba puluhan tahun bertetangga dengan masjid dengan harmonis, bahkan saling menjaga. Dou Mbawa di Donggo malah menjadi contoh hidup berdampingan secara damai serta produktif.
Deviasi dan Mitos
Memang, ada masa ketika politik identitas hampir menjadi kecenderungan di Bima. Misal Peristiwa Gereja di Raba tahun 1970-an, adanya kasus kekerasan yang mengait agama, radikalisme, bahkan terorisme. Namun, itu deviasi, penyimpangan dari pola umum. Masyarakat kebanyakan tentu saja menolak penyimpangan itu.
Juga pernah ada era pertarungan internal antarumat Islam: NU vs Muhammadiyah-Persis. Sekarang sudah mencair berkat lahirnya generasi baru Muslim yang berwawasan luas dan tercerahkan. Mereka menepis dengan jargon “NU persis Muhammadiyah” (tipis sekali perbedaan di antara kelompok-kelompok keagamaan).
Baca juga: Fi Tua, Ajaran Rahasia dan Etik Dou Mbojo
Tetapi bukankah kearifan-kearifan dan praktik baik ini akan terpendam semakin dalam jika tidak selalu diaktualisasikan dalam praktik hidup sehari-hari. Orang Bima yang semula guyub, terbuka, demokratis, dan toleran bisa jadi akan hanya mitos, atau diganti sebaliknya: individual, tertutup, dan brutal.
Tantangannya banyak dan kompleks, dalam hal penggalian, sosialisasi, pewarisan, dan aktualisasi. Tugas kita bukan hanya menggali dan mengasah fosil budaya. Perlu kreasi budaya dan nilai baru yang bisa digunakan sebagai perangkat melanjutkan hidup di era transformatif ini.
Maka perlu lebih banyak orang yang sadar dan kreatif. Para cerdik pandai dan pegiat budaya sudah mulai bekerja untuk membangun kesadaran dan aktualisasi nilai-nilai kearifan lokal-religius itu. Hanya saja perlu masifikasi dan gerak yang “grinta”.[]
Catatan: Ditulis ulang dari wawancara RRI Pro4 Mataram dalam acara Obrolan Budaya Berugak Kita, 11 April 2022. Contoh ungkapan Bima dikutip dari buku Petuah Tanah Bima oleh Alan Malingi (2022) dengan elaborasi tafsir dari penulis.
Pegiat literasi dan peminat sufisme lokal