BAGI kami, mudik sebenarnya sesuatu yang lumrah. Lima tahun terakhir ini, hampir tiap dua bulan sekali kami mudik. Bahkan bisa lebih sering jika ada acara mendesak, acara keluarga, komunitas, maupun kampus. Tetapi tetap saja mudik lebaran menjadi lebih istimewa. Ia adalah perjalanan spiritual yang bernilai ibadah untuk memperkuat aspek muamalah.
Mudik lebaran bagi saya seperti perjalanan haji. Salah satu rukun Islam yang didambakan dan di perjuangkan oleh banyak kaum muslim. Walaupun ibadah tersebut hanya diperintahkan kepada muslim yang mampu baik secara finansial, fisik, maupun psikis.
Paling tidak ada lima hal yang membuat mudik lebaran (bisa jadi mudik jenis lain juga) memiliki kesamaan dengan perjalanan haji. Pertama, mudik memerlukan ketangguhan fisik dan kesiapan emosi. Datang dari berbagai penjuru menuju kampung halaman adalah perjalanan yang melelahkan. Bagi mereka yang memilih perjalanan darat dan laut, mudik biasanya memakan waktu yang lebih panjang dari biasanya.
Baca juga: Mudik dan Pencarian Jati Diri yang Otentik
Semua moda transportasi tumpah ruah menyebabkan ke macetan sehingga membuat pemudik lama berada di perjalanan. Perjalanan kami misalnya, kemarin dari Kota Mataram ke Kota Bima melalui darat yang seharusnya memakan waktu 10-12 jam menjadi dua kali lipat. Permasalahan utamanya adalah antrian penyeberangan kapal feri yang panjang. Bukan karena petugas tidak sigap, bukan pula karna feri tidak tersedia. Lebih karna meningkatnya jumlah kendaraan pribadi maupun umum yang harus dilayani.
Belum lagi, karena kondisi cuaca dan hiruk pikuk keramaian di jalan yang seringkali tidak nyaman sangat berpengaruh pada situasi emosi para pemudik yang telah lelah secara fisik. Sesampai di kampung halaman pun, para pemudik memerlukan stamina yang bagus untuk bisa bersilaturahmi dengan sanak famili, baik dengan saling mengunjungi, maupun untuk menghadiri undangan-undangan kerabat yang biasanya selama waktu itu dianggap hari baik untuk melakukan pernikahan, selamatan, dan sebagainya.
Perjalanan haji juga memerlukan dua hal tersebut. Berangkat menuju negara yang berbeda dan selama lebih kurang empat puluh lima hari di tanah suci. Menjalankan rukun haji dan memenuhi berbagai syarat sahnya, sangat menyita energi. Walaupun demikian, semua dilakukan dengan gembira karena kedua perjalanan ini dirasakan memberikan “keuntungan” yang jauh lebih besar dibandingkan dengan pengorbanan yang dilakukan.
Kedua, mudik mengharuskan memiliki kemampuan biaya, sebagaimana perjalanan haji. Hal ini terutama bagi mereka yang memilih mudik melalui jalur penerbangan. Biasanya harga pesawat melambung tinggi. Mudik kemarin misalnya, harga pesawat dari Mataram ke Bima yang biasanya hanya Rp. 600. 000 melonjak menjadi Rp 3.000.000- 4.000. 000.
Tidak patut rasanya mudik ke kampung halaman tanpa membawa oleh-oleh baik berupa barang untuk hadiah bagi keluarga dan kerabat maupun berupa uang kertas untuk dibagi sebagai hagla bagi sanak saudara. Tanpa terasa tabungan kosong melompong karena mudik yang sebenarnya sangat singkat. Ini semua dilakukan dengan riang gembira, tidak terlalu menjadi beban karena momen lebaran menghadirkan vibes yang berbeda bagi semua perantau yang merindukan kampung halaman.
Baca juga: Kuasa Modal dalam Budaya Mudik
Ketiga, sebagaimana ketika haji, kita juga menziarahi tempat-tempat bersejarah (termasuk maqbarah/kuburan), demikian pula mudik. Kalau pada haji, umat Islam menziarahi tempat bersejarah itu untuk menelusuri kembali asal muasal dan sejarah agama mereka juga para nabi (dan keluarga dan para sahabatnya). Pada saat mudik, mereka menelusuri kembali sejarah kekerabatan dan nenek moyang mereka.
Praktik ziarah ini berfungsi untuk menemukan dan terus memperkuat identitas umat Islam, baik identitas agama pada haji maupun identitas diri dan etnisitas pada saat mudik. Penguatan identitas ini adalah hal yang sangat diperlukan dewasa ini. Tentu saja bukan untuk mempertajam politik identitas, tetapi untuk mengenali jati diri sebagai modal untuk menjalani kehidupan sosial yang lebih terhubung erat.
Empat, mudik dihajatkan untuk berkumpul dan bertemu dengan kerabat, saudara, dan keluarga terdekat. Tidak hanya untuk reunion atau mempersatukan kembali, tetapi terutama untuk saling memaafkan. Di dalamnya ada praktik silaturahmi yang bermakna menyambung kasih sayang antara mereka yang saling bertemu. Dalam proses ini, baik para pemudik maupun keluarga yang menyambut merasa memiliki tali darah yang sama dan duduk sama rendah berdiri sama tinggi dalam suasana yang kekeluargaan.
Tidak masalah betapapun perbedaan status sosial ekonomi mereka. Ini adalah salah satu alasan mengapa para pejuang mudik bersedia mengorbankan materi maupun waktu untuk kembali ke kampung halaman. Demikian pula haji, di sana berkumpul umat muslim dari berbagai belahan dunia dengan latar belakang yang berbeda.
Perbedaan mereka disatukan karena kesamaan keyakinan, dan mereka meleburkan diri larut dalam kesatuan itu. Walaupun tentu saja pengalaman spiritual mereka bisa saja berbeda. Kesatuan yang membuat kita merasa bahwa sungguh agama ini memiliki potensi sumber daya manusia yang besar yang sangat mungkin dikelola menjadi umat yang potensial bagi perbaikan kehidupan dalam berbagai bidang kehidupan.
Lima, peristiwa mudik pasca menjalankan ibadah puasa selama tiga puluh hari yang bersamaan dengan merayakan idulfitri adalah momen di mana seseorang merasa – paling tidak dalam pengalaman individu – memenangkan pergulatan di dalam diri. Hawa nafsu terhadap berbagai hal yang berlebihan karena telah dilatih selama sebulan penuh. Habluminallah (relasi ketuhanan) yang telah diperkuat selama satu bulan penuh, lalu diikuti oleh peristiwa mudik yang bertujuan untuk memperkuat habluminannas (relasi kemanusiaan).
Baca juga: Haji dan Penguatan Jati Diri Perempuan: Merdeka!
Dalam kondisi seperti ini, spiritualitas individu meningkat, oleh karenanya diharapkan setelah itu derajat ketakwaan seorang individu semakin meningkat. Peningkatan kesadaran spiritualitas ini juga diharapkan pada perjalanan haji.
Sebagai rukun Islam yang kelima dan menjadi indikator kesempurnaan kepatuhan seorang hamba, perjalanan haji dihajatkan untuk menjadikan seseorang memegang Islam secara kaffah, mendalam, dan menjadi payung dari semua tindak-tanduk baik ibadah maupun muamalah. Kedalaman ini tentu juga menjadi kunci bagi terus meningkatnya derajat ketakwaan manusia untuk meraih tempat termulia di sisi-Nya. Nilai inilah yang menjadi titik temu juga antara perjalanan mudik dan perjalanan haji bagi umat Islam.
Jadi, mudik, sebagaimana haji, adalah pejalanan spiritual yang sarat makna. Perjalanan yang memperkuat dua dimensi kehidupan manusia, yaitu relasi vertikal kepada pencipta, juga relasi horizontal dengan sesama.[]
Ilustrasi: Pa-Morotai.go.id
Direktur La Rimpu (Sekolah Rintisan Perempuan untuk Perubahan), Peneliti Perempuan dan Perdamaian, dosen UIN Mataram.