Kekhawatiran itu Suatu Anugerah

SETIAP individu mempunyai rencana untuk masa depannya, mempunyai harapan dari masa depannya, mempunyai hasrat untuk memiliki, memiliki keinginan untuk berpunya, dan memiliki keinginan agar tidak adanya masalah yang menghambat  dalam kehidupan yang ia jalani.

Ketidakinginan akan adanya hambatan yang datang kepadanya, membuat dirinya  secara tak sengaja akan memvisualkan bayangan tersebut menjadi ketakutan dan kecemasan yang kadang berlebihan, baik terhadap masa depan maupun terhadap kepemilikan yang belum tentu sesuai dengan apa yang dibayangkan

Di dalam kemampuan memvisualisasikan rasa ketidaknyamanan itu, sesungguhnya Tuhan telah menititipkan satu rasa di dalam hati dan pikiran manusia, sebagai bagian dari kekayaan penciptaan yakni rasa khawatir. Rasa khawatir ini biasanya akan menyebabkan seseorang menjadi terganggu, memusatkan pikiran pada bayang-bayang kejadian negatif yang mungkin dan bakal terjadi. 

Rasa ini akan muncul dalam bentuk kecemasan dan kegalauan dalam setiap bayangan masa depan dan pada setiap adanya kesempatan untuk dapat memiliki.

Khusus pada rasa memiliki terhadap sesuatu, bahwa biasanya apa yang sudah menjadi milik kita akan secara otomatis menjadi bagian dari diri ini, dan rasa memiliki itulah yang lebih dominan akan menimbulkan rasa khawatir, berupa keengganan untuk kehilangan dan ketakutan untuk mendapatkan gangguan dari apa yang menjadi milik kita.

Baca juga: Lupa, Anugerah Indah dari Tuhan

Tentang diri yang melekat pada pribadi kita ini misalnya, karena rasa kepemilikan kita terhadap diri sendiri yang begitu besar, maka pasti dalam masa-masa tertentu kita akan mengalami perasaan khawatir terhadap diri kita sendiri.

Khawatir kalau-kalau kesehatan diri ini terganggu atau khawatir terjangkit penyakit, khawatir kalau tiba-tiba kebahagiaan yang selama ini kita rasakan berganti menjadi kecewa, sedih, atau menderita,  khawatir kalau rasa keamanan dan kenyamanan kita terancam, hingga timbul rasa khawatir menatap kehidupan di masa yang akan datang.

Kemudian khawatir itu berkembang lagi menjadi kecemasan akan keselamatan diri saat melakukan perjalanan, baik  melalui darat, laut maupun udara, yang tidak sedikit membuat banyak orang menjadi ketakutan, stres, bahkan trauma.

Baca Juga  Lupa, Anugerah Indah dari Tuhan

Selanjutnya kekhawatiran terhadap rizki juga akan muncul, kalau-kalau tidak kunjung datang, atau kurang dan tidak mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan hidup.

Bahkan, sampai juga pada tingkat kekhawatiran terhadap situasi dan kondisi pasca kehidupan yang bakal dialami di etape kematian, di mana bayang-bayang tentang pertanggungjawaban amaliah selama di kehidupan dunia menjadi kecemasan dan halusinasi. 

Di samping kekhawatiran terhadap diri sendiri dan apa yang melekat pada diri, juga khawatir dalam kepemilikan, seperti memiliki anak yang merupakan impian dan harapan semua orang. Karena kasih sayang yang begitu besar, tidak jarang kita melihat para orang tua begitu khawatir akan putra putrinya, khawatir jika kesehatan anaknya tiba-tiba terganggu, khawatir akan pengaruh negatif dari pergaulan di luar rumah—sehingga mem-proteks kebebasan aktivitas anaknya, khawatir akan keberhasilan pendidikan dan pekerja anaknya, hingga kekhawatiran akan masa depan anaknya.

Begitu pula dengan kepemilikan harta, rasa khawatir pasti akan muncul, khawatir kalau harta yang sudah lama dikumpulkan dan telah bersusah payah untuk mendapatkannya, tiba-tiba rusak atau hilang, hingga kekhawatiran kalau suatu saat berpindah tangan kepada orang lain. 

Terlepas dari rasa terganggu dan cemas di dalam pikiran sebagai akibat dari rasa khawatir yang terkadang melampaui batas, kita harus meyakini bahwa Tuhan menaruh rasa khawatir itu di ujung kepasrahan hati kita kepada-Nya, tak lain sebagai suatu anugerah yang pantas kita syukuri, karena dengan adanya kekhawatiran itulah sesungguhnya manusia sadar atau akan tunduk dan takluk kepada kekuatan Tuhannya.

Kondisi itulah yang melahirkan hasrat untuk berdoa, hasrat untuk lebih mendekat kepada Tuhan sedekat-dekatnya, dan hasrat untuk berpasrah diri kepada Tuhan secara totalitas.

Tuhan dengan landasan Maha-Nya menaruh noktah kekhawatiran itu sebagai wasilah bagi hamba-Nya untuk memasrahkan urusan hidupnya kepada Tuhan. Sebagaimana Tuhan firmankan di dalam surah Al Baqarah ayat 38 tatkala memerintahkan Adam dan Hawa turun berkelana di bumi, Tuhan berikan di dalam hatinya rasa khawatir, dan dengan rasa itulah Tuhan memberikan kecondongan hati Adam dan Hawa untuk menggantungkan dirinya kepada Tuhan.

Baca juga: Mencapai Kedewasaan Berpikir

Baca Juga  Sufisme Bima: Tradisi Spiritual Islam Fitua (Sebuah Pengantar)

Qulnahbiṭụ min-hā jamī’ā, fa immā ya`tiyannakum minnī hudan fa man tabi’a hudāya fa lā khaufun ‘alaihim wa lā hum yaḥzanụn”. Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.

Maka jika di dalam hati kita ada rasa khawatir, yakinlah bahwa kita sebagai orang yang beriman pasti akan mengembalikan segala yang kita khawatirkan kepada kekuasaan dan kebijaksanaan Tuhan Robbul alamin. Dengan rasa itulah kesadaran untuk bersandar kepada Tuhan akan semakin besar, kesadaran untuk mengakui keterbatasan diri akan tumbuh, dan kesadaran untuk memasrahkan seluruh kehidupan kita kepada Tuhan secara total akan bersemi.

Dan tentunya dengan hadirnya rasa khawatir di dalam hati seorang muslim yang beriman, akan dengan sendirinya dapat menghilangkan rasa congkak dan sombong yang bersemayam di dalam hatinya, menghilangkan rasa angkuh dan rasa berbangga diri atas kemampuan dan kelebihan yang ia miliki.

Mari kita kelola rasa khawatir yang sering muncul di dalam hati dengan aksi yang positif yakni membingkainya dengan penyerahan kepada Tuhan, menitipkan semua material kekhawatiran itu dalam kehendak dan ridha Tuhan, agar menjadi iradah yang mendamaikan hati dan pikiran kita.[] 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *