BULAN Rabiul Awwal merupakan bulan kelahiran Nabi Muhammad saw yang kita kenal dengan istilah “bulan maulid”. Pada kolom hikmah kali ini, kita mencoba menyelami makna peringatan maulid Nabi saw yang diperingati oleh seluruh umat Islam setiap tahun.
Selama ini kita sering melihat fenomena di tengah masyarakat di mana keberadaan Nabi Muhammad saw lebih diposisikan sebagai wakil Tuhan ketimbang sebagai sosok yang dapat dicontoh.
Momen peringatan maulid Nabi saw sejatinya dijadikan sebagai sarana untuk memahami bahwa sosok Nabi Muhammad itu sebagai referensi manusia dalam memahami dan melakoni kehidupan, sehingga kepribadian Nabi Muhammad itu menyatu dengan kepribadian manusia yang mengimaninya.
Perayaan maulid Nabi Muhammad saw yang kita peringati setiap tahun, bukan hanya warisan peradaban Islam yang dilakukan secara turun temurun, akan tetapi secara historis bahwa munculnya peringatan maulid ini bermula dari kondisi umat Islam yang terpuruk kala itu.
Baca juga: Ketika Muhammad Bertamu ke Rumah Kita
Ketika dunia Islam tengah terlibat dalam perang Salib berhadapan dengan bangsa Eropa, terutama bangsa Perancis, Jerman, dan Inggris, pasukan gabungan Eropa berhasil merebut Yerusalem dengan mengubah masjid al-Aqsha menjadi gereja.
Dengan kejadian itulah dunia Islam seperti kehilangan semangat jihad dan ukhuwah, maka umat Islam mulai terpecah belah dari komitmen kesatuan dan persatuan yang sudah lama terbangun.
Melihat fenomena tersebut Muzaffaruddin Gekburi, seorang bupati di Irbil Suriah Utara membuat sebuah gagasan “back to basic” yakni menguatkan kembali konsep yang tertuang di dalam surat Ali Imran ayat 103, “Wa’taṣimụ biḥablillāhi jamī’aw wa lā tafarraqụ”. Berpegang teguh pada ajaran Tuhan, dan jangan bercerai berai.
Konsep cerdas ini diaktulisasikan oleh seorang panglima besar yang bernama Salahuddin al-Ayubi dengan menggelar peringatan maulid Nabi pada tanggal 12 Rabiul Awwal 583 H, dengan muatan acara berupa kegiatan membacakan sejarah Nabi Muhammad saw selama tujuh hari berturut turut.
Puncak dari kegiatan maulid tersebut, Salahuddin al-Ayubi membuka pendaftaran relawan perang, dan akhirnya berhasil membangkitkan semangat jihad lebih dari 10.000 relawan siap membebaskan Yerusalem dari pasukan Eropa.
Dengan modal relawan itulah, akhirnya Yerusalem berhasil direbut kembali oleh umat Islam pada tahun 583 H atau 1187 M.
Secara subtansial, perayaan maulid Nabi saw adalah sebuah bentuk upaya mengaktualisasikan mutiara keteladanan Muhammad saw sebagai pembawa ajaran Islam, di mana beliau tercatat sepanjang sejarah sebagai pemimipin besar yang sangat luar biasa dalam memberikan teladan agung bagi umatnya. “innama bu’istu liutammima makarimal akhlak”. Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki budi pekerti manusia.
Bercermin dari konteks historis di atas, maulid Nabi saw hendaknya kita maknai sebagai salah satu upaya transformasi diri, yakni tumbuhnya semangat baru untuk membangun nilai-nilai profetic (kenabian) agar tercipta masyarakat yang mampu menegakkan demokrasi, toleransi, dan transparansi.
Dalam tataran sejarah sosio-antropologis, Nabi Muhammad saw tampil dalam dua dimensi sosial yang berbeda, Pertama, perspektif teologis-religius. Muhammad saw dilihat dan dipahami sebagai sosok Nabi sekaligus Rasul terakhir dalam tatanan konsep keislaman, dengan memposisikan Muhammad saw sebagai sosok manusia sakral yang merupakan Rasul pembawa risalah Tuhan di dunia, yang bertugas membawa, menyampaikan, serta mengaplikasikan segala bentuk pesan suci kepada umat manusia secara universal.
Baca juga: Menyoal Iqra dari Lisan Jibril
Kedua, perspektif sosial-politik, Muhammad saw dilihat dan dipahami sebagai sosok politikus religius. Sosok individu yang identik dengan sosok pemimpin yang adil, egaliter, toleran, humanis, serta non-diskriminatif dan hegemonik, yang mampu membawa tatanan masyarakat sosial Arab kala itu menuju suatu tatanan masyarakat sosial yang sejahtera dan tenteram, tidak membedakan suku, ras, dan golongan.
Dalam hal ini beliau memiliki prinsip bahwa di mata hukum semua manusia sama, artinya di hadapan hukum tidak ada beda antara satu orang dengan yang lain, yang berarti sangat berkaitan dengan fungsi keadilan, bahwa setiap orang yang datang di pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya.
Beliau juga menjunjung tinggi martabat wanita yang saat itu sebagai cemoohan, aib dan pelampias nafsu syahwat kaum pria dengan amendemennya yang tegas, “Annisa’ ‘imadul bilad, idza sholuhat sholuhal bilad wa idza fasadat fasadal bilad.” Wanita adalah tiang negara, apabila wanitanya baik maka negara akan baik dan apabila wanita rusak maka negara pun akan ikut rusak.
Jadi, saatnyalah bagi kita untuk memulai memahami makna peringatan maulid Nabi saw secara lebih mendalam dan fundamental, sehingga kita tidak hanya memahami dan memperingatinya sebatas sebagai hari kelahiran sosok Nabi dan Rasul terakhir, dengan serangkaian ritual-ritual dan simbol-simbol semata, namun menjadikannya sebagai uswah (suri tuladan) dalam seluruh sepak terjang kita, yakni maulid Nabi Muhammad saw kita jadikan sarana untuk memperbaharui keyakinan terhadap kesaksian bahwa beliau sebagai Nabi utusan Tuhan.
Dengan demikian peringatan maulid bukan sekadar mengingat saja, akan tetapi kita harus mencontoh dan melaksanakan sunnah Rasul secara konsisten dan mempertahankannya dari segala bentuk penyelewengan dan penyimpangan.
Akhirnya, kontekstualisasi peringatan maulid Nabi saw hendaknya dipahami secara luas, tidak hanya dipahami dari perspektif keislaman, melainkan juga dari berbagai perspektif yang menyangkut segala persoalan hidup seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
Alhmdulillah….
Semoga keberkahan selalu membersamai disetiap pijakan langkahmu….aamiin
Salam ta’dzim selalu,,😇🙏🙏🙏
Semoga aliran barokah ilmu dan kesuksesan..bisa kami tauladani aamiin Allahumma aamiin 🤲