KAMPUNG Pentigraf Indonesia (KPI) kembali meluncurkan Kitab Pentigraf berjudul Studio Kita. Buku ini merupakan kitab ke-10 yang telah dihasilkan KPI. Penerbit Delima digandeng KPI untuk menerbitkan buku setebal 264+xviii halaman tersebut pada Februari 2023. Ada 241 pentigraf dari 106 pentigrafis (sebutan untuk penulis pentigraf) yang dimuat dalam buku tersebut setelah melewati proses kurasi yang ketat.
Peluncurannya digelar secara virtual pada Senin, 13 Maret 2023 mulai pukul 19.00 WIB. Dengan mengusung tema Studio Kita: Merekam Mozaik Peristiwa dalam Cerita, acara tersebut tidak hanya diikuti pentigrafis yang tulisannya termuat dalam kitab Studio Kita, melainkan juga penulis lain karena acaranya terbuka untuk umum.
Pada perayaan buku kali ini, selain Gelar Wicara, juga diisi dengan Parade Baca Pentigraf. Ada yang baru berkenaan dengan segmen ini, di mana pada perayaan sebelumnya, pentigrafis membaca pentigraf karyanya sendiri, tetapi kali ini pentigrafis memilih satu pentigraf karya pentigrafis lain untuk dibaca sekaligus mengulasnya.
Baca juga: Tayamum
Hanya 10 pentigrafis yang mendapatkan kesempatan, yaitu: Maraatussoaliha membaca Mawar Merah Darah karya Parange Anaranggana, Retno Indrasih Soerono membaca Kolam Keramat karya Ahmad Zaini, Rinny Soegioharto membaca Ruang Zoom 1 karya Siwi Dwi Saputro, Agustinus Indradi membaca Toko Kelamin karya Suhartatik, Andriana Tanti membaca Terasing karya Cak Inin Mukminin, Hendrika LW membaca Sandal Baru karya JFX. Hoery, Jani P. Jasfin membaca Pintu karya Shinta Harend, LM Sri Sudartanti membaca Menjadi Srigala karya Agustinus Indradi, Suci Lestari membaca Suara karya Yanie Wuryandari, dan Yvone Sumilat membaca Penyeselan Terbesar karya Demitria Budiningrum.
Awalnya karya saya Mawar Merah Darah mendapat perhatian dari Jani Purnawanty Jasfin, pentigrafis yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Airlangga Surabaya. Karena hanya diperbolehkan membaca satu pentigraf, maka Jani P. Jasfin menawarkan ke pentigrafis lain. Bak gayung bersambut, Maraatussoaliha, pentigrafis yang berprofesi sebagai guru di MAN 2 Kota Bima, mengamini tawaran itu karena sebelumnya telah “jatuh hati” pada pentigraf yang sebagaimana ditampilkan berikut ini.
Mawar Merah Darah
LAZUARDI menggores langit ketika aku mendapati diriku telah berdiri di hamparan taman yang perawan. Kusaksikan berbagai jenis bunga tengah bersolek bermekaran. Pada sisi kiri dan kanan jalan makadam yang mengarah ke sebuah bangunan tua di ujung utara taman, menjalar mawar beragam warna. Kususuri jalan itu dan sesekali menahan langkah untuk mengecup aroma mawar merah. Aku pun mendekap kedamaian, yang sebelumnya utopis bagiku.
Aku membayangkan saudara-saudaraku di negara subtropis belahan selatan bumi yang tengah dikunjungi musim semi, termasuk juga di daerah tropis yang lagi menikmati aroma petrichor awal musim. Ah, indahnya mereka hidup dalam kedamaian. Di tempatku pun tak ketinggalan, hujan bersemi, tetapi hujan dalam bentuk lain yang tidak pernah dirindukan.
Lamunanku melayang, menguap tak berbekas. Bertubi-tubi rudal balistik menghujani atap bangunan. Aroma mesiu yang dihimpun udara dari arah Jalur Gaza berdesak-desakan menerobos celah bungker yang aku tempati bersama keluarga, menukik ubun-ubun, melenyapkan aroma mawar merah darah dalam halusinasiku. Abi mendekapku yang pucat pasi dan menyuapkan sisa roti yang belum sempat aku habiskan sebelumnya. “Lanjutkan makanmu, Nak! Kalaupun kita meninggal, haruslah dalam keadaan kenyang. Biar di hari kembangkitan kelak, kita kuat mengadu kepada Tuhan atas ketidakadilan ini,” tawarnya sembari mengusap darah di pelipisku.[]
Selain Mawar Merah Darah, terdapat dua pentigraf saya yang juga dimuat dalam buku yang sama. Masing-masing berjudul Tidak Harus Jemari Kiri dan Bukan Milik Karun. Agar pembaca tidak penasaran, berikut disajikan secara berturut-turut.
Tidak Harus Jemari Kiri
SAFARA mendatangkan ahli interior untuk menata dan mempercantik dapur di vilanya. Sentuhan warna-warna cerah yang disukai gadis belia mendominasi. Master Chef jebolan ajang pencari bakat pun diundangnya memberi les privat. Segala jenis masakan tradisional hingga modern dipelajarinya. Saat mempraktikkan berbagai resep, Safara terus menebak-nebak kiranya masakan apa yang kelak disukai Dani, lelaki yang dijodohkan untuknya dan semata-mata dilihatnya dalam foto.
Begitu kuatnya sosok Dani, berkali-kali saat Safara memasak, dirasakannya Dani memperhatikannya dari arah jendela yang pemandangannya mengarah pada pulau kecil di tengah samudra. Safara merasakan sebuah kegilaan cinta merenggut kebebasannya. Bayangannya segera lenyap begitu Safara bertanya masakan apa yang disukainya agar selalu disiapkannya kelak.
Cinta menari rancak di beranda pikiran Safara. Dia bernyanyi dan menari sembari mengiris dan meramu bahan masakan. Hingga suatu waktu tidak dia rasakan jari tangannya terpotong. Sesaat dunianya langsung runtuh oleh prediksi-prediksi negatif dalam pikirannya. Apalagi yang diharapkan oleh lelaki dari wanita cacat? Dani baru mengetahui kejadian itu setelah ibunya mendesaknya untuk menerima pembatalan perjodohan.
Dani meminta waktu menyampaikannya langsung di hadapan Safara. “Memanglah bangsa Mesir, Romawi, dan Yunani kuno meyakini pembuluh darah jari manis kiri terhubung langsung ke jantung, tetapi cincin pernikahan bisa kupasang pada jari manis kananmu, bukan?” kata Dani pada Safara yang memasak di dapur. Tangisannya pun pecah.[]
Bukan Milik Karun
“DI tepi hati menjulang mahkota hidup dalam naungan pokok cinta.” Begitulah sederet kalimat misteri tertulis pada lontara dalam kotak kuno yang Yusuf dapatkan dari ayahnya sebelum meninggal setahun yang lampau. Pesan ayahnya waktu itu, kotak berbahan kayu ulin yang permukaannya diukir tersebut memang diperuntukkan bagi generasi ketujuh, Yusuf salah seorang dari generasi tersebut.
Yusuf meyakini kalimat teka-teki tersebut mengandung pesan yang bernilai, yang mengarahkannya menemukan harta karun. Tak mampu menafsirkannya sendiri, sampai-sampai ia mendatangi orang pintar, tetapi hasilnya nihil. Hingga suatu malam, di saat kerisauannya memuncak, terpecahkan sudah setelah Yusuf bermimimpi didatangi sosok yang mengaku kakek moyangnya. “Waru adalah pohon cinta dan di bawah pokoknya telah kusimpan mutiara turun temurun,” katanya.
Yusuf menggali pokok pohon Waru di halaman belakang. Girang hatinya tak terkira ketika menemukan seonggok kotak berbahan kuningan berukuran 14x10x10 sentimeter. Pada awalnya, Yusuf ingin menguasai sendiri harta tersebut, tetapi bayang-bayang leluhur mengurungkan niatnya.
Dikumpulkannya saudara-saudaranya untuk membukanya bersama-sama. Setelah Yusuf menceritakan ihwal kotak tersebut, dibukanyalah penuh hati-hati. Sungguh, tidak didapati emas dan permata, isinya hanya wasiat bertuliskan: Wahai segenap anak keturunanku! Jadilah insan yang sabar, pandai bersyukur, dan tidak sombong, serta janganlah engkau menyekutukan Allah.[]
Setelah membaca tiga pentigraf di atas, pembaca masih penasaran pentigraf itu apa? FYI, pentigraf merupakan genre sastra yang digagas dan dikembangkan sejak tahun 1980-an oleh Dr. Tengsoe Tjahjono, akademisi dari UNESA Surabaya.
Baca juga: Masih Belum Terlambat
Pentigraf akronim dari cerpen tiga paragraf, maksimal 210 kata, setiap paragrafnya hanya boleh satu kalimat langsung, dan pada paragraf ketiga ada ketakterdugaan atau kejutan yang disebut juga dengan twist. Walaupun hanya terdiri dari tiga paragraf, elemen berupa tema, alur, tokoh, dan latar tetap saling berkelindan dalam satu cerita.
Saat ini, pentigraf semakin banyak peminatnya, tersebar dari Sabang sampai Merauke, dan dari berbagai profesi seperti ibu rumah tangga, dokter, guru, dosen, wartawan, perawat, pedagang, pengusaha, psikolog, pengusaha, dan sastrawan. Para pentigrafis paling banyak berdomisili di Jawa, khususnya Jawa Timur.
Kampung Pentigraf Indonesia merupakan kampung digital yang setiap warganya berinteraksi untuk saling belajar, berkarya, dan berbagi dalam hal penulisan cerpen tiga paragraf. Dengan spirit asih–asuh–asah warga kampung digital ini membangun budaya literasi melalui aktivitas membaca dan menulis, diskusi dan penerbitan.
Kepala Suku atau Lurah KPI, Prof Tengsoe menuturkan bahwa komunitas virtual ini terbuka bagi siapa pun selama memiliki rasa cinta, sebab inti dari menulis pentigraf adalah bersumber dari cinta.
Tertarik dengan pentigraf? Yuk! segera gabung di facebook Kampung Pentigraf Indonesia.[]
Suatu Senja di LA, 14 Maret 2023.
Pendiri Komunitas Mbojo Matunti, penulis novel Cinta Tak Terlerai dan Mbojo Mambure. Beberapa Pentigraf dan Putibanya termuat dalam Kitab Pentigraf 4: Dongeng tentang Hutan dan Negeri Hijau, Kitab Pentigraf Edisi Khusus: Sepersejuta Milimeter dari Corona, dan Kitab Puisi Tiga Bait tentang Corona: Hari Hari Huru Hara.