Moderasi Beragama: Gerakan Sosial, Kampus, dan Inisiasi Masyarakat

MODERASI BERAGAMA adalah cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang santun, toleran, menghargai perbedaan, dan mengedepankan kemaslahatan berbangsa. Perlu digarisbawahi, bahwa yang diidealkan dalam moderasi itu cara bergaul dalam konteks kepenganutan agama dengan orang lain berbeda agama. Sasaran moderasi bukan “agama” sebagai keyakinan ontologis, bukan pula “metode” beragama (ritual), tetapi “gaya berjumpa”.

Cara pandang dan sikap keagamaan terkait ada atau hadirnya orang beragama lain di dalam lingkungan kita ditimbang berdasarkan kemaslahatan bersama (public virtue). Orang boleh (bahkan harus) memiliki pemahaman dan klaim keagamaan yang mendalam, tetapi tidak menafikan orang lain, apalagi memeranginya. Demikian juga, kedangkalan pemahaman agama jangan menjadi sebab dari kekerasan terhadap sesama.

Pemahaman seperti ini masih belum menjadi kesadaran komunal, tidak saja di kalangan masyarakat umum, tetapi juga di kalangan terdidik. Di kalangan masyarakat terjadi kebangkitan kembali konservatisme (conservative turn) sebagaimana ditengarai Bruinessen (2013). Hal ini ditandai dengan mengentalnya identitas keagamaan, yang bukan saja membedakan tetapi membelah (segregating). Konflik dan kekerasan masih marak. Dalam Global Peace Index, dari 163 negara peringkat kedamaian di negeri kita mengalami penurunan dari 42 pada 2021 turun menjadi 43 pada 2022, dan 53 pada 2023 ini.

Kasus-kasus yang terjadi di NTB, seperti Kasus Mareje (bentrokan antara umat Muslim vs pendukung Budha), Kasus Assunnah (penyerangan atas Pesantren Salafi di Lombok Timur), juga kasus-kasus radikalisasi atas nama agama di Pulau Sumbawa, mengonfirmasi konservatisme sebagai fakta sosial. Kasus-kasus ini sekedar contoh kekerasan atas nama agama terus mengalami reproduksi, mengendapkan memori publik tentang lingkar kekerasan. 

Gejala jarak sosial dan politik identitas keagamaan juga marak di kampus-kampus, hampir di seluruh negeri. Di kalangan mahasiswa ada friksi identitas niqabi dan non-niqabi, di kalangan dosen ada liberal versus konservatif, serta bentuk lainnya. Di dalamnya terdapat stigmatisasi dan prasangka. Ada yang menerapkan dan ada yang menerima kekerasan simbolik dan diskriminasi. Masing-masing memperkuat kedalam untuk dapat menyerang keluar.

Di antara sebab hal ini adalah lemahnya mekanisme penyelesaian konflik di kalangan masyarakat, melengkapi rapuhnya penegakan hukum dari negara. Juga terdapat kecenderungan masyarakat gandrung kepada kekerasan, vigilante citizenship (Telle, 2013). Ada juga militansi dalam menerapkan politik identitas. Seorang peneliti bilang, ini akibat atau tanda negara lemah sedang masyarakat kuat, strong society within weak state (Kingsley, 2011).

Orang-orang kampus adalah perancang dan agen perubahan. Kampus bisa (dan harus) menerapkan pengaruh sosialnya melalui penelitian, pengajaran, dan pengabdian. Kebaikan harus menetes ke akar rumput. Dan kampus punya perangkat “hegemoni”, yakni kepemimpinan intelektual bagi perubahan sosial.

Negara punya perspektif sendiri melihat fenomena ini, sehingga hadir melalui gerakan Moderasi Beragama. Definisi dan ekosistem masyarakat toleran, nir-kekerasan, cinta bangsa, dan adaptif terhadap budaya lokal harus dikonstruksi. Segala pembenaran akademik telah dilakukan, melalui penelitian-penelitian dan rangkaian seminar. Segala syarat sebagai gerakan sosial sudah terpenuhi.

Sebuah gerakan sosial, paling tidak butuh, pertama: adanya tema, dan istilah “moderasi beragama” itu sendiri tema spesifik yang “seksis”; kedua: pengembangan sumberdaya manusia sebagai agen, dan itu dilakukan melalui pelatihan-pelatihan pioneer; dan ketiga: ditopang oleh kebijakan politik, dan itu telah masuk dalam skema Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.  

Kampus (terutama PTKI) sebagai Agen

Karena Moderasi Beragama digerakkan oleh Kementerian Agama RI, maka Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) adalah motor utama. Sebagai pusat keunggulan, kampus (PTKI) punya instrumen komplit untuk tugas itu. Orang-orang kampus adalah perancang dan agen perubahan. Kampus bisa (dan harus) menerapkan pengaruh sosialnya melalui penelitian, pengajaran, dan pengabdian. Kebaikan harus menetes ke akar rumput. Dan kampus punya perangkat “hegemoni”, yakni kepemimpinan intelektual bagi perubahan sosial.

Baca Juga  Gus Ulil: Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad (Sebuah Jalan Tengah dalam Berakidah)

Sekarang sudah tahun keempat dari RPJMN yang memuat amanat tentang tema ini. Kita ingin mendengar success stories atau best practices dari kampus-kampus PTKI yang di dalamnya sudah diinstalasi Rumah Moderasi Beragama. Kita juga hendak mendengar cerita yang sama atau mungkin lebih baik dari Kampung Moderasi Beragama sebagaimana dikawal oleh beberapa organisasi masyarakat sipil. Jika cerita-cerita itu tak kunjung terdengar, bisa jadi kita memetik skeptisme.     

Misalnya, dikatakan kampus tidak memiliki desain paradigmatik yang membuat kalangan akademik lebih handal menghadapi konservatisme masyarakat. Kampus sendiri bahkan mengalami konservatisme internal (conservatism from within). Bukan hanya kalangan mahasiswa, di kalangan dosen juga ada pengentalan identitas-identitas sosial-keagamaan. Itulah mengapa ada sesi “scanning” atau “profiling” di kalangan mereka beberapa waktu lalu.

Padahal modal sudah ada. Selain aspek instrumen dan sumberdaya, desain kurikulum dalam tema moderasi sebenarnya sudah ada, meski begitu minimalis. Contoh di UIN Mataram, ada mata kuliah Pluralisme Agama di Prodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), meski kini hilang. Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan pernah menerbitkan buku Pendidikan Multikultural, meski sangat terbatas. Ada subjek Islam dan Budaya Lokal, meski hanya di Prodi Sosiologi Agama. Prodi KPI Program Magister cukup bagus dengan Komunikasi Antarbudaya, dan Budaya Lokal Islam, serta Dakwah dan Studi Perdamaian.

Namun, ini belum memadai untuk memberi warna sebuah gerakan sosial baru. Subjek-subjek itu juga sudah muncul sebelum tema Moderasi Beragama bergulir. Lalu, mengapa Moderasi Beragama tidak tampak berorkestrasi? Apakah kampus (PTKI) ikut mengidap “kerumitan legalistik tradisionalisme dan intelektualitas modernisme” sebagaimana disinyalir oleh Rickleffs (2013) bagi kaum moderatisme. Atau, mungkin, ini hanya kekakuan gerak karena lilitan teknokrasi. Ataukah ini bagian dari gejala matinya kepakaran (death of expertise)? Atau ideologi kecendekiawanan sudah benar-benar luntur? Entah!

Baca Juga  Smart City, Impian Kita Semua

Padahal di kalangan masyarakat mulai tumbuh kesadaran dan praktik sosial-budaya yang mencerminkan resistensi dan resiliensi terhadap gejala dan bahasa politik identitas keagamaan yang membelah. Aspirasi lepas dari radikalisasi sosial-keagamaan cukup kencang. Di Bima, yang dikenal sebagai wilayah ‘zona merah’, muncul deklarasi anti radikalisme, lalu bertebaran komunitas-komunitas anti-kekerasan. Semua muncul begitu saja, tanpa kepemimpinan intelektual.

Di kalangan mahasiswa di Bima, misalnya, terdapat corak intelektualisme yang bisa handal dalam menghadapi serbuan gerakan transnasional, namanya “peer group based intellectualism” (Wahid & Wardatun 2023). Dengan ini mereka bisa berdialog dengan sejawat yang berbeda latar belakang, hasilnya lahir praksis dialog yang konstruktif. Artinya, banyak upaya untuk menciptakan ruang publik dialogis. Mandiri, swadaya, dan independen. Tanpa “projek”. Tanpa dirigensi kampus.

Apa yang terjadi di tingkat akar rumput ini tidak bisa serta-merta diklaim sebagai bagian dari gerakan sosial baru. Hanya saja, ini menjadi tanda bahwa masyarakat masih punya pranata sosial-budaya untuk kohesi sosial. Tinggal bagaimana kampus menentukan modus keterlibatan. Jika tidak, kampus (PTKI) akan kehilangan kesempatan ditulis dengan tinta emas dalam sejarah intelektualisme dan gerakan perubahan sosial.[]

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *