TUHAN menyelupkan “sosial” dalam proses pencampuran bahan baku penciptaan manusia, sehingga melekat dalam pisik dan psikis manusia sebagai makhluk yang enggan untuk menyendiri. Bahkan kita bisa memastikan bahwa manusia itu dikatakan ada jika ia berada dalam sebuah komunitas. Dari sini kita menyadari bahwa diri ini tidak mungkin tercerabut dari hubungan sosial atau hubungan kemanusiaan.
Ada dua hal yang mesti kita ingat dalam kehidupan kita sebagai makhluk yang tidak kuat untuk hidup menyendiri, yakni kebaikan orang kepada kita dan keburukan kita kepada orang lain. Sebaliknya, ada dua hal pula yang harus kita lupakan yaitu kebaikan kita kepada orang lain, dan keburukan orang lain kepada kita. Dengan mengingat keburukan kita kepada orang lain, maka kita senantiasa ingat untuk bertobat dan dididik untuk meminta dan memberi maaf. Sedangkan mengingat kebaikan orang lain, mengajari kita untuk senantiasa bersyukur dan mendidik kita untuk pandai berterima kasih.
Kita telah diingatkan oleh Tuhan bahwa yang membahayakan diri bukanlah perbuatan orang lain, yang memberikan kebaikan kepada diri bukanlah perbuatan orang lain. Yang mendatangkan kebaikan dan keburukan kepada diri kita adalah perbuatan kita sendiri. Jadi wajar kalau Nabi dengan tegas mengatakan “ibda’ binafsik” Mulailah dari dirimu sendiri (dalam segala hal).
Orang biasanya memandang kebaikan dalam hidup ini seperti melihat kertas putih yang diberi titik hitam. Pasti mata kita akan tertuju pada titik hitam dengan mengabaikan ruang yang lebih besar pada kertas putih tersebut. Itulah karakter manusia yang senantiasa memandang kesalahan kecil diantara ribuan kebaikan. Satu kesalahan menggugurkan ribuan kebaikan.
Dalam sebuah komunitas, ini tidak boleh terjadi. Kita harus lebih bijak melihat kebenaran dan kebaikan yang ada pada saudara-saudara kita, di mana kebaikan pasti lebih banyak yang pernah dilakukan ketimbang kesalahan. Dengan cara pandang seperti itu pasti kita bertengger dengan nyaman di tengah perkumpulan dan tidak akan pernah kehilangan dan dihilangkan dari rantai karib kerabat. Sekecil apa pun kebaikan orang lain jangan pernah kita nodai oleh karena amarah dan emosi sesaat.
Ada sebuah kisah menarik di kalangan ulama sufi bagaimana menghargai dan menghormati jasa dan kebaikan orang lain sekecil dan sebarapa pun jumlahnya. Alkisah ada seorang raja yang memiliki 10 anjing ganas untuk menghukum menteri dan orang-orang kerajaan yang melakukan kesalahan. Jika sang Raja tidak berkenan, maka menteri dan orang-orang kerajaan yang bersalah akan dilempar ke kandang anjing agar dicabik-cabik oleh binatang ganas tersebut.
Suatu hari seorang menteri membuat keputusan yang salah dan membuat raja sangat murka. Maka diperintahkan agar sang menteri dimasukkan ke dalam kandang anjing yang ganas itu. Menteri berkata: “Paduka Raja, saya telah mengabdi padamu selama 10 tahun, tapi paduka tega menghukumku seperti ini. Atas pengabdianku selama ini, saya mohon kebijakanmu, saya minta hukumanku ditunda 10 hari lagi, setelah sepuluh hari, paduka Raja boleh memasukkan aku ke kandang anjing yang ganas itu”.
Sang Raja pun mengabulkan permintaannya. Sang menteri bergegas menuju kandang anjing-anjing tersebut dan meminta izin kepada penjaga untuk mengurus anjing-anjingnya. Ketika ditanya untuk apa? Maka dijawab: “Setelah 10 hari nanti engkau akan tahu”. Karena penjaga kandang mengetahui bahwa yang datang itu menteri, maka diizinkan juga untuk mengurus anjing-anjing itu.
Selama 10 hari itu sang menteri memelihara, mendekati, memberi makan bahkan akhirnya bisa memandikan anjing-anjing tersebut hingga menjadi anjing yang sangat jinak padanya.
Sepuluh hari kemudian tibalah waktu eksekusi. Disaksikan oleh Raja, dimasukkanlah sang menteri ke kandang anjing, tetapi Raja begitu kaget saat melihat anjing-anjing itu justru jinak kepada sang menteri. Maka Raja bertanya; Wahai menteri, apa yang telah engkau lakukan terhadap anjing-anjing tersebut? Jawab menteri: ”Saya telah mengabdi pada anjing-anjing ini selama 10 hari dan mereka tidak melupakan jasaku. Tapi paduka Raja… Saya telah mengabdi padamu selama 10 tahun, tapi paduka tega menjatuhkan hukuman ini pada saya”.
Terharulah sang Raja, meleleh air mata penyesalan dari bibir matanya dan air mata malu pada dirinya sendiri. Lalu dibebaskanlah sang menteri dari hukuman dan dimaafkan.
Cerita ini mengingatkan kita agar tidak mudah mengingkari dan melupakan berbagai kebaikan yang kita terima dari orang-orang terdekat kita, hanya karena kejadian sesaat yang tidak mengenakkan. Jangan mudah menghapus kenangan dan persahabatan yang telah terukir bertahun-tahun lamanya hanya karena hal-hal kecil yang kurang kita sukai. Apalagi jika penilaian kita kepada saudara kita lebih didominasi oleh subyektifitas kita. Jangan sampai kita kalah dengan hewan dalam kisah di atas dalam menghargai sebuah kebaikan dan bakti.
Nabi dengan santun mengingatkan, “La yasykurullah man la yasykurunnas” Tidak dikatakan bersyukur pada Allah bagi siapa yang tidak tahu berterima kasih pada manusia.
Mari kita belajar untuk menghargai dan mengingat kebaikan orang lain, belajarlah untuk mengambil sisi baik dari saudara kita dengan mengingat kebaikan-kebaikannya yang bisa jadi itu yang akan menjadi penolong pada suatu masa di mana tidak ada pertolongan selain pertolongan Tuhan. Renungkanlah apa yang Tuhan kalamkam dalam lembaran surahnya di al-Baqarah ayat 237; “..dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.”[]
Ilustrasi: pixabay.com
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram
Alhmdulillah…,bnyak ilmu yg di dapat dari tulisan ayahanda Dr.H. maemun zubair,,
In shaa allah akan selalu bermanfaat untuk semua pembacanya,, barakallahufiikum ??