KETIKA dua orang peneliti bertemu, beberapa waktu lalu di Mataram (Lombok), perbincangannya tidak jauh-jauh dari soal-soal yang rumit. Soal masyarakat dan keagamaan. Tetapi karena tempat ngobrolnya di kedai kopi, perwacanaan mereka menjadi lebih ringan dan rileks. Kami yang ‘nguping’ awalnya merasa begitu akademik, tetapi pada akhirnya tertarik juga untuk ikut menyimak.
Pertemuan antara Prof. Dr. Muhammad Adlin Sila, Kepala Puslit Bimbingan Masyarakat Agama dan Layanan Keagamaan Kementerian Agama RI, dengan Dr. Abdul Wahid, Dosen Sosiologi Agama UIN Mataram dan direktur Alamtara Institute, kali ini membincangkan tentang artikel jurnal terbaru dari Greg Fealy yang membahas isu islamisme dan demokrasi kontemporer Indonesia. Artikel itu sempat viral dibagikan ke group-group WA, dan dibahas luas oleh kalangan akademisi. Dalam perbincangan itu, Dr. Wahid lebih banyak memposisikan diri sebagai penanya, dan Prof. Adlin Sila sebagai narasumber, sementara saya menyimak dan mencatat.
Menjawab pertanyaan Dr. Wahid, apa yang problematik dari artikel Greg Fealy, Adlin Sila mengatakan: “Greg sebenarnya melihat gerakan islamis dalam konteks keseimbangan demokratisasi, tapi tidak mendukung ideologinya. Gerakan islamis sebagai sebuah kebebasan berpendapat masih dalam koridor. Meskipun pemerintah tidak setuju dengan ideologi Islamis, tetapi pemerintah harus menggunakan cara-cara yang demokratis.”
“Apalagi dalam studi-studi tentang agama Ibrahimik, terbentuk wawasan pada kelompok-kelompok itu dan mereka percaya, bahwa pertanda dia rasul akan banyak mendapatkan tantangan dan penderitaan sehingga kenyataan itu mereka jadikan sebagai legitimasi dan ideologi dan menganggap apa yang mereka perjuangkan adalah benar.” ucap Prof. Adlin Sila.
“Kadang mereka juga mengindentifikasikan dirinya sedang berjuang seperti para nabi. Sehingga, tadinya mereka yang hanya simpatisan dan moderat, menjadi ikut-ikutan membela gerakan.” tambah Dr. Wahid.
Sekarang, yang menjadi problem adalah radikalisasi di mana masyarakat umum terpapar dan terpropaganda oleh paham radikal melalui media sosial. Mereka hadir dengan wajah Islam yang lebih ramah sembari menyusupi ideologi khilafah dan jihad sedikit demi sedikit. Sebagai responsnya, pemerintah menggencarkan kontra radikalisasi.
Menurut Prof. Adlin Sila, kontra radikalisasi ini berbeda dengan konsep deradikalisasi yang mencoba menetralisir kembali otak-otak para pelaku jihadis. Persoalannya, jika yang kontra ini dijadikan target dan kemudian pemerintah masuk untuk mengintervensi, akan muncul kesan bahwa Negara membatasi orang-orang beragama. Kemudian hal ini dijadikan senjata oleh kelompok-kelompok radikal untuk menarik simpatis pada kelompok masyarakat yang belum dipapar paham radikal.
Terakhir, dalam perbincangan itu, diharapkan pemerintah paham secara baik konsep ekstremisme dan radikalisme, sehinga pada saat menangani kasus teroris atau gerakan radikal di Indonesia tidak salah sasaran, salah nembak, dan salah metode dan pendekatan.
Untuk diketahui oleh kita semua, meskipun HTI bubar, demikian juga PKI bubar, namun ideologinya masih tetap ada. Karena untuk mematikan ideologi itu tidak bisa. Maka, cara yang bisa kita lakukan adalah memoderasi atau mengurangi supaya mereka tidak menggunakan kekerasan. Itu juga yang menyebabkan mengapa konsep-konsep khilafah dan jihad tidak dihapus di buku-buku pelajaran agama. Karena ketika dihapus, bukan hanya kalangan jihadis yang marah, kalangan moderat pun juga akan ikut marah. Meskipun demikian, kita masih bisa kendalikan, dengan cara memindahkan konsep jihad yang tadinya berada di dalam konsep fiqh, ke konsep sejarah dan kebudayaan Islam.[]
Mahasiswa Studi Agama-agama, Eksponen Kalikuma Mataram: Penyuka Musik dan Buku
Mantabb ini