Gerakan kembali kepada Al Qur’an dan Hadits telah meluas di seluruh negara Islam. Dari Mesir, Maroko hingga Indonesia. Karena dilakukan secara serampangan dan hanya mengambil secara harfiah teks-teks keagamaan, akhirnya gerakan back to Qur’an and Sunnah itu akhirnya menimbulkan masalah baru di kemudian hari di dunia Islam.
Tindakan semacam ini tentu sangat merugikan Islam, gerakan sempalan tersebut kebanyakan hanya mampu memperbaiki dunia Islam bagian luarnya saja. Hal ini belum mampu memberikan solusi akan permasalahan dunia Islam sendiri, lebih-lebih menjawab tantangan abad modern. Tanpa dasar pemikiran yang matang gerakan semacam itu akhirnya juga mengalami kemandekan, walau prospeknya sangat besar, apalagi di perkotaan.
Para aktivis back to Qur’an and Sunnah ini berharap bahwa problem dunia sekarang bisa diselesaikan dengan Al Quran dan Sunnah semata. Hal ini dilakukan demi menjaga eksistensi Islam agar tetap mendapat tempat di ruang-ruang publik dan menjadi win-win solution. Padahal tidak segampang itu menjawab permasalahan kompleks ini. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah menjaga eksistensi Islam sendiri. Ibarat makhluk hidup, napas Islam harus tetap bugar dan tidak boleh tampil loyo di hadapan publik.
Hal inilah yang menjadi semangat dari Abdul Wahid (selanjutnya AW) dalam buku terbarunya Dua Suara Tuhan. Buku yang terdiri dari tiga puluh enam esai ini mencoba membimbing kita untuk melihat Islam bukan hanya sebagai doktrin tetapi juga sebagai etos gerakan. Dengan judul kecil Pergumulan Etos Agama dan Budaya di Ruang Publik kembali mempertegas bahwa agama benar-benar dilepas dan bertaruh untuk memberi solusi di dunia.
Baca juga: Dua Pendengaran Manusia: Catatan untuk Dua Suara Tuhan
Beberapa kekurangan memang terlihat dalam buku ini, karena terfokus pada pengelompokkan perbab esai-esainya, sehingga melupakan sinkronisasi dan keajegan ide yang dibawa agar saling terhubung setiap esai-esai itu. Dus, pembaca akan sulit memahami pesan apa sebenarnya yang hendak disampaikan. Ditambah ketiadaan indeks membuat semakin sulit untuk melacak kata-kata penting. Pembaca harus sabar membolak-balik per halaman dulu, jika ingin membaca ide apa yang disampaikan AW lewat buku ini. Secara umum, dalam buku ini ada dua upaya AW yang coba saya baca.
Tafsir dan Rekayasa Gerakan Sosial Islam
Ada empat bab besar yang menjadi garis pemisah dalam buku ini. Namun, dalam hal ini saya tidak akan membedah perbabnya. Saya akan melihat dari sisi semangat utama buku ini yakni gerakan sosial. Ada dua puluh empat artikel yang membahas gerakan sosial termasuk masalah-masalahnya. Buku yang ditulis secara nomaden ini, memang tidak sepenuhnya diniatkan sebagai “manifesto” gerakan sosial an sich. Tetapi juga, terdapat tema-tema sufisme, sejarah, etnografi dan sedikit nuansa politik sebagai bumbu penyedap.
AW mengakui bahwa ia amat rindu dengan gagasan Ilmu Sosial Profetik dari Kuntowijoyo. Untuk tidak menyebutnya mati, gagasan tersebut memang kerap mati suri karena belum ada yang benar-benar melanjutkan gagasan-gagasan dari Kuntowijoyo.
Melalui ikhtiar ini, kelihatannya AW ingin melanjutkan gagasan tersebut, walau sedikit berbeda, karena AW memilih Surah Thaha sebagai basis gerakan sosial Islam. Kelihatannya AW lebih terinspirasi dari kisah Nabi Musa dibanding trilogi sosial profetik: humanisasi, liberasi dan transendensi ala Kuntowijoyo dengan Surah Ali Imran-nya.
Baca juga: Buku dan Perspektifnya: Jara Mbojo Kuda-kuda Kultural (1)
Tanpa berniat mendahului AW, saya mencoba membuat sebuah rekayasa sosial bagaimana gerakan sosial itu bisa dilakukan dengan mengambil semangat utama yang tidak sesuai dengan urutan posisi esai-esai dalam buku ini. Pertama, yang memang harus digalakkan dalam sebuah gerakan sosial adalah “ideologi” sebagai basis epistemologis. AW sadar betul akan hal ini, karena itu AW mencoba memercikkan dan menggeser ayat-ayat Al Qur’an yang sakral ke dalam ranah-ranah publik yang profan untuk mencoba menjawab masalah-masalah sosial.
AW mencontohkan bagaimana umat Islam merasa minder bahkan gelagapan dalam mencermati fenomena-fenomena sosial. Umat Islam belum merasa ada hal “lain” dalam setiap ritus-ritus peribadatannya. Termasuk sembrononya umat Islam dalam menghadapi Covid-19 ini. Padahal Islam telah memiliki landasan yang sempurna, tinggal menggali landasan itu untuk kita jadikan sebagai basis praksis dan gerakan sosial.
Maka dari itu, puncak dari basis gerakan sosial Islam ala AW itulah ia mengajukan tesis Surah Thaha sebagai landasan untuk gerakan sosialnya. Dengan landasan historis yang begitu kuat, AW melihat ini sebagai ayat yang harus terus digali oleh kita.
Kedua, aktor-aktor penggerak, di mana sebagai umat Islam kita harus lebih dahulu menjadi insan yang tercerahkan dan peduli dengan berbasis “ideologi” tadi. Umat yang mau turun tangan, terlibat dan “berkotor” dengan masyarakat. Bukan hanya itu, sebagai subjek yang amat penting dalam rekayasa sosial ini, AW prihatin dengan belum tergalinya fungsi-fungsi sosial dari lulusan lembaga-lembaga keislaman di tengah-tengah umat. Hal ini termanifestasi dalam tulisannya berjudul: Antara Ulama dan Cendekiawan, Tuan Guru dan Masyarakat Multikultural dan Menimbang Ulama Organik.
Jika aktor-aktor ini sudah memiliki basis kesadaran yang kuat, maka tidak akan sulit menggerakan mesin-mesin ini untuk menyebar dan menjadi suluh di tengah-tengah umat melalui keterampilan dan etos kerja yang sudah mumpuni. Ketiga, Sebagai modal sosial yang tak kalah penting, kehadiran Surau, Langgar dan Masjid sebagai tempat mobilisasi massa. Tempat untuk menyebarkan “ideologi” gerakan itu. Dengan begini, kerja-kerja aktor-aktor agama ini bisa menjadi lebih mudah.
Mereka tak sungkan membersamai umat. Aktor-aktor ini diharapkan mampu beradaptasi dalam keadaan masyarakat yang multikultural, mampu mendialogkan perbedaan-perbedaan, mampu menyatukan masyarakat yang beda masjid, beda gaya beragamanya. Mereka menjadi pelita lewat Surau, Langgar dan Masjid-masjid kampung. Melakukan “pembaharuan” kajian agama dalam masyarakat yang bosan dengan ceramah yang itu-itu saja. Sekali lagi, teologi sosialnya harus mampu menggerakkan!.
Melampaui Sektarianisme
Dalam posisi tafsir-tafsirnya, AW sebenarnya berusaha untuk tidak terikat dalam sebuah mazhab tafsir atau hanya mengambil dari satu penulis tafsir saja. Bahkan AW mencoba menafsirkan ayat-ayat itu sendiri. Kadang-kadang AW mengambil referensi dari Tafsir Baidhowi, kadang juga ditulisan lain AW mencoba menyesuaian dengan tafsir Ibnu Katsir, tafsir al Tabari dan tafsir al Muyassar.
Kecenderungan yang ditunjukkan AW ini, ia ingin terlihat “merdeka” dan lebih bebas dalam berijtihad. Karena jika kita hanya terus bertumpu pada tafsir-tafsir sebelumnya, produksi ilmu pengetahuan yang baru tentu akan mandek. Dalam beberapa hal tersebut saya rasa AW berhasil melakukan hal itu. Sehingga ia berhasil menjamin bahwa dengan adanya produksi ilmu pengetahuan yang terus-menerus itu dan penuh kebaruan, eksistensi Islam untuk lebih mampu masuk dan berkelindan dalam ranah-ranah sosial memiliki peluang yang lebih besar.
Baca juga: Buku dan Perspektifnya: Jara Mbojo Kuda-kuda Kultural (2)
Dalam konteks keindonesiaan, AW sebenarnya ingin mendayung di antara dua karang dan AW berhasil sampai di pelabuhan. Di antara dua karang maksudnya, AW tidak terkooptasi dengan salah satu sisi NU dan Muhammadiyah yang menjadi judul buku ini Dua Suara Tuhan adalah dua suara yang terpancar dari NU dan Muhammadiyah.
AW lebih senang main dua kaki. Karena jika dilihat dari latar belakangnya, AW memang seorang penganut sinkretisme yang turun-temurun dan bahkan dalam beberapa esai dalam buku ini, AW mencoba tampil sebagai nahdliyin yang kritis dengan mempertanyakan Islam Nusantara-nya NU. Di sisi lain, corak-corak pemikirannya menunjukkan ia seorang pembaharu tulen yang banyak dipengaruhi Kuntowijoyo, Ali Shariati dan belakangan Amin Abdullah.
Cara berpikir yang sudah melampaui isu-isu sektarian semacam ini yang memang dibutuhkan Islam. AW memberi kesimpulan “tak mengapa mereka berbeda, asal tidak bertikai, umat penganutnya sudah melihat musuh bersama” ini membuktikan AW memang ingin segera melampaui sektarianisme dan konflik kepentingan dua golongan itu yang membosankan. Biarkan saja jalan kerjanya masing-masing untuk melawan musuh bersama. Dengan begitu, sekali lagi AW ingin tampil “merdeka” demi menjaga eksisensi Islam.
Identitas Buku
Judul: Dua Suara Tuhan: Pergumulan Etos Agama dan Budaya di Ruang Publik
Penulis: Abdul Wahid
Penerbit: Alamtara Institute bekerja sama dengan Fakultas Ushuludin dan Studi Agama UIN Mataram
Cetakan: Mei, 2020
Jumlah Halaman: XIV + 229 Halaman
ISBN: 978-602-9281-19-4
Ilustrasi: Salah satu referensi sampul buku Dua Suara Tuhan.
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe