Dua tahun lalu saya dipercaya menjadi moderator sebuah diskusi film Kartini di kampus. Diskusi dihadiri beberapa dosen dan banyak mahasiswa.
Karena ditunjuk, saya mengiyakan. Agar tak terlalu kelihatan monoton, sebagai moderator saya berusaha membuat kutipan kecil dari tulisan-tulisan Kartini.
Baca juga: Sultan Agung dan Penanggalan Jawa Islam
Saya mencari bukunya, kumpulan korespondensi dengan Stella dan Abendanon. Saya berusaha membaca cepat. Dalam bacaan itu, bagi saya ide-ide Kartini begitu abstrak. Seperti umumnya membaca surat, begitu membosankan.
***
Pagi tadi, sebelum grub WhatsApp dipenuhi ucapan hari Kartini dari beragam logo instansi, saya membaca esai Iqbal Aji Daryono di Detik.com. Iqbal melakukan pembelaan kepada Kartini yang dianggap sebagian kalangan tak terlalu berjasa. Ya, hanya menulis dan mengirim surat, apa susahnya, apalagi bagi Kartini yang sedari awal sudah dari trah darah biru. Tidak mengangkat senjata dan berdarah-darah layaknya Cut Nyak Dien, Laksamana Malahayati, atau Martha Christina Tiahahu. Atau dengan aksi nyata layaknya Rahmah El Yunusiah yang membangun sekolah. Tapi Iqbal melakukan pembelaan lewat kontribusi Kartini dalam bidang literasi dan lebih kepada upaya pemahamannya untuk ilmu pengetahuan dan kedudukan perempuan. Gugatan Kartini kepada Kiai Soleh Darat menjadi alasan Iqbal untuk memberikan alasan bahwa Kartini berperan dalam dunia literasi dan pemahaman bahwa perempuan juga punya hak sama dalam kehidupan.
Sorenya, saya membaca sebuah tulisan dari Adian Husaini, ketua DDII yang menulis banyak buku tentang ‘anti’ Barat dan liberalisme dan kawan-kawannya itu. Dalam tulisan tersebut keberpihakan Adian terlihat jelas, dengan mengutip pendapat dua sejarawan, Tiar Anwar Bachtiar dan Hardja W Bachtiar yang mempertanyakan peran Kartini sehingga disebut sebagai ‘ibu’ bagi emansipasi dan pembangunan perempuan Indonesia yang setiap tahunnya selalu diperingati. Apakah tidak ada perempuan lain, hingga kita memanggil Kartini saja (seperti judul novel Pram)? banyak, tapi alasan Adian dalam tulisannya, mereka kurang terkenal karena tidak ‘bekerja sama’ dengan Belanda dan upaya pendistorsian peran tokoh-tokoh Islam di Indonesia sangat kentara. Orientalis, Snouck Hurgronje selalu menjadi momok akan hal itu. Itulah yang menjadi penyebab Indonesia hanya mengenal Kartini saja dalam buku-buku sejarahnya.
Baca juga: Akademisi Indonesia dan Keberpihakan
Jika kita mencermati dua tulisan di atas, maka kita akan bertemu dengan dua pemikiran dan dua pandangan yang amat jauh. Satunya ‘membela’ Kartini, yang kedua ‘mempertanyakan’ Kartini.
Dengan amat sangat hati-hati saya mencoba ingin membuat kanalisasi dari dua kutub pemikiran ini, bukan untuk membuatnya punya kesimpulan tapi sedikit ingin berbagi pendapat saja.
Mungkin akan terdengar klise. Sebagai bangsa yang pernah dijajah oleh Belanda, kita harus mengakui ‘hegemoni’ Belanda dalam kehidupan berbangsa kita. Ini bukan hanya saja terjadi di bidang sejarah, hukum pun kita masih menggunakan hukum Belanda. Apakah itu salah? tidak sama sekali, karena bagaimana pun sebagai bangsa yang baru merdeka untuk mengurus begitu banyak kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mengganti peraturan sekejap kilat sangatlah sulit bukan. Sehingga apa pun kata orang Londo itu, sedikit banyaknya juga pasti kita ikuti. Termasuk dengan Kartini ini.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah Seorang Kartini beruntung berhubungan dengan Abendanon yang berinisiatif mengumpulkan dan membukukan hasil korespondensinya dengan Kartini. Bahkan dalam bahasa Belanda yang diterjemahkan menjadi buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang terkenal itu.
Pertanyaannya, walaupun tokoh-tokoh perempuan selain Kartini juga aktif menulis dan menyebarkan pikirannya lewat media massa, adakah buku-buku kumpulan pikirannya itu yang tersebar hari ini di masyarakat? Sependek pencarian saya, belum pernah saya temukan. Yah, paling banter biografi yang ditulis orang lain tentang tokoh itu.
Saya teringat celoteh dari Prof. Taufik Abdullah saat mengisi diskusi di Gedung PW Muhammadiyah DIY sekitar tiga tahun lalu. “Sejahat-jahatnya orang Belanda, mereka itu rajin sekali mencatat apapun yang ada dan mengumpulkannya, beda sama orang kita, sudah malas mencatat, kalaupun ada catatannya malah dihilangkan”.
Walau itu bernada satir, sebenarnya itu adalah kritikan tajam yang harus segera orang Indonesia cum sejarawan benahi. Terutama dalam hal arsip, tulisan, catatan hingga publikasi-publikasinya. Sekali lagi bukan hanya biografinya, tapi catatan dan tulisannya sendiri.
Kalaupun saya dibilang tidak netral karena tidak menyebut Siti Aisyah Teriolle, yang menulis karya monumental La Galigo yang sangat tebal. Jika dicocokkan dengan argumen di atas, mengapa ia juga tak dikenal orang Indonesia? kembali, naskah La Galigo itu masih berbahasa Bugis, ini juga menandakan bahwa ia masih menunjukkan kelokalitasannya, belum menasional bahkan berinternasioal seperti Kartini dengan bahasa Belanda. Pun naskah La Galigo masih banyak tersimpan rapi di Perpustakaan di Belanda. Upaya penerjemahannya masih dengan alasan klasik khas Indonesia banget: dana penerjemahan yang mandek. Walaupun sudah ada beberapa jilid yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Pertanyaannya, itu kapan dilakukan? naskah jilid ketiganya baru 2015 ini sobat, dari dua belas jilid naskah tersebut. Inilah masalah kita pembaca, masalah republik ini. Dengan demikian siapa yang lebih dikenal? teman-teman tahu sendiri jawabannya. Walaupun di sini tidak dari sisi upaya pendistorsian Islam, seperti pendapat Adian Husaini tadi.
Itu dari sisi karya dan publikasi. Lain lagi jika dilihat dari sisi historiografi. Wacana penulisan sejarah Indonesiasentris yang diwacanakan sejak kongres sejarah pertama Indonesia itu belum menemukan titik terangnya. Sejarah yang Indonesiasentris itu bagaimana sih? sejarah yang bersih dari pengaruh tahun 65 itu seperti apa? atau sejarah yang khas reformasi yang sudah terbebas dari kepentingan Orde Baru itu kelanjutannya sudah sampai mana?
Baca juga: Jatuh-bangun Etos Intelektual-Ulama dan Gerakan Kultural yang Bisa Dilibati
Begitulah nasib penulisan sejarah kita, tertatih-tatih di bawah bayang-bayang perhatian sebelah mata dari pemerintah.
Bagaimana kita mau mengenal tokoh perempuan lain, selain Kartini ‘hasil’ orang Londo itu, jika setiap tahun kita dihantui isu penghapusan pelajaran sejarah dari kurikulum pendidikan nasional kita. Plus, isu hilangnya pelajaran Agama. Tambah ruwet lagi urusannya.
Yang terbaru lagi, kamus sejarah nasional jilid 1 yang tidak ada lema KH Hasyim Asy’ari juga tidak ditemukannya kosa kata Pancasila dalam kamus itu. Ini adalah indikasi awal akan tidak teliti dan kurang seriusnya kita mengurus sejarah. Kemendikbud lewat Dirjen Kebudayaannya Hilmar Farid, hanya mengeluarkan statement “itu baru draftnya saja, ada oknum yang membocorkan dan menerbitkannya tanpa sepengetahuan Kemendikbud.”
Keren sekali bukan, sejarah kita. Oke begini saja, sistem macam apa yang dipakai Kemendikbud hingga draft itu bisa terbit sebelum waktunya? Ini aneh, di tingkat kementerian, yang sistem dan administrasi njilimet dan ketat saja bisa berubah seperti sistem komunitas atau organisasi yang belum terdaftar di notaris. Begitulah negara mengurus sejarah kita: sembrono dan ugal-ugalan. Rasa-rasanya kita memang belum selesai dengan sejarah kita.
Intinya, jika masih menginginkan sejarah dan generasi kita baik, perbaiki sejarah dan cintai sejarah agar kita selesai dalam perdebatan yang menguras energi bangsa setiap tahunnya. Mari kita sama-sama berbenah.
Ilustrasi: Tribunnewswiki.com
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe