MERENUNGI dan merefleksi rute perjalanan kehidupan yang telah kita lampaui sangatlah penting, bahkan sebuah keniscayaan dalam rangka muhasabah diri, menengok rentetan aktivitas kehidupan kita ke belakang untuk lebih awas dalam menjalani dan menatap kehidupan ke depan. Yang pasti hidup yang sudah dan sedang kita jalani merupakan dinamika peristiwa yang fluktuatif; kadang baik—kadang buruk, kadang indah—kadang suram, kadang bahagia—kadang sedih, dan seterusnya.
Dalam hal ibadah pun kita dianjurkan untuk flashback ke belakang sebagai evaluasi diri dengan menelisik amalan-amalan yang sudah lalu untuk ditambal sulam selagi masih ada kesempatan, bahasa Nabi, “wa atbi’issayyiatal hasanata tamhuha”. Iringilah perbuatan yang buruk dengan yang baik niscaya dapat menghapuskannya.
Ramadhan sebagai wahana dan momentum untuk melakukan kilas balik dari kehidupan kita sebelas bulan ke belakang, kita dapat merenung saat melakukan aktivitas ibadah shaum seakan-akan memasuki satu lorong kehidupan yang sunyi untuk membaca dan menerawang tentang diri dan aktivitas yang pernah kita jalani.
Mengutip kalimat Prof. Komaruddin Hidayat, bahwa ibadah puasa yang dilakukan dalam bulan Ramadhan ibarat memasuki sebuah lorong waktu, yang membuat suasana tenang dan damai di tengah keramaian dan hiruk pikuk kehidupan.
Suasana yang dihadirkan Ramadhan inilah yang perlu kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk membaca diri sambil menjelajahi perjalanan spiritual puasa selama satu bulan.
Sebagai makhluk yang nisbi, hadirnya Ramadhan dengan nuansa ibadah yang kompleks adalah kesempatan emas bagi kita untuk dapat mengambil bagian pada semua stand ritual ibadah yang ditawarkan sebagai ikhtiar penyempurna dari kekurangan, kelemahan, dan kealpaan yang pernah terjadi dalam sebelas bulan yang sudah berlalu.
Ingatlah bahwa hidup ini dinamis dan terus bertumbuh, ada saat bagi kita untuk harus kembali dan melakukan penjelajahan diri sebagai makhluk yang senantiasa berkelana sepanjang waktu. Ada saatnya untuk berpulang pada refleksi ke dalam diri menyoal esensi dari iman dan keberagamaan kita selama ini.
Ramadhan membuka ruang refleksi untuk berkontemplasi (merenung sambil munajat) memikirkan dan menelisik pergolakan aksi dan ambisi kehidupan yang panjang yang mungkin selama ini cukup melelahkan. Saatnya untuk sejenak melatih diri mengurangi atau berhenti dari dominasi hal-hal yang sifatnya duniawi dan fokus kepada hal-hal yang bernuansa ilahiah dan ukhrowi.
Bulan Ramadhan harus kita jadikan momentum pembaharuan diri yang utuh dan luhur dalam pemuliaan martabat kita sebagai manusia beriman. Kita dipanggil secara khusus oleh Allah untuk masuk ke dalam heningnya suasana surgawi—menjalin relasi yang harmonis secara personal (pribadi) dengan Sang Khalik, sebagaimana firmanNya di surah ke-2 ayat 183, “Ya ayuhalladzina amanu kutiba alaikumus shiyam…” Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa (di bulan Ramadhan).
Dikalangan ulama tafsir menjelaskan bahwa apabila ada ayat yang diawali dengan panggilan khusus “Hai orang yang beriman” bahwa perintah yang mengiringi panggilan itu adalah ujian atas keimanan yang kita sandang, seberapa kuat, seberapa konsisten dan seberapa tinggi komitmen iman kita.
Puasa yang mengiringi panggilan Tuhan secara khusus dan indah itu adalah dalam rangka menguji keimanan kita untuk selalu berada dalam kepatuhan, tidak ragu, dan tidak bernegosiasi dengan Tuhan atas kewajiban yang dititahkan. Kemudian menguji agar kita senantiasa dalam posisi ikhlas, karena ibadah puasa itu amat sangat rahasia antara kita dengan Tuhan. Menguji seberapa besar kemauan kita untuk berkurban demi Tuhan, mengurbankan keinginan dan mengurbankan daya upaya untuk tidak memberontak atas perintah Tuhan.
Selanjutnya Tuhan juga menguji seberapa tinggi semangat perjuangan kita dalam melawan ego dan nafsu. Kata Rasul: Jihad paling berat adalah melawan hawa nafsu. Ujian berikutnya adalah seberapa pandai kita mengambil i’tibaratas kelemahan diri, berlapar dalam sehari saja terasa sangat lelah, sehingga kita benar-benar memahami diri sebagai makhluk yang sangat lemah.
Maka sebagai hamba yang terpilih dengan sebutan “beriman”, kita harus merasakan balutan keheningan dari ibadah shaum bersama ibadah-ibadah pengiringnya, seperti shalat Tarawih, tilawah al-Qur’an, qiyamullail, berinfak, memberi bantuan sekedarnya untuk kaum dhuafa, dan berderma dalam konteks yang lain di jalan Tuhan. Rentetan aktivitas spiritual tersebut sangat berguna untuk menjaga sekaligus merefleksikan kedalaman iman dan loyalitas keberagamaan kita.
Mari kita persembahkan diri kita secara utuh dan totalitas lahir dan batin selama di bulan Ramadhan untuk senantiasa bersama Tuhan dalam seluruh sikap dan prilaku kita, baik dalam sikap sosial maupun aktivitas keagamaan. Jangan sampai kesempatan emas Ramadhan yang hadir dalam rentangan usia kita terlewatkan begitu saja tanpa kesan spesial dan indah dengan Tuhan semesta alam.
Pemahaman dan keyakinan kita tentang konsep ketauhidan harus kita realisasikan sebagai pengalaman keagamaan yang berwujud relasi yang intim dan sangat personal dengan sang Maha, yakni Tuhan dalam semua tindakan, pikiran, perkataan, sikap, dan perasaan kita sepanjang bulan Ramadhan.[]
Ilustrasi: pixabay.com
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram