TUHAN menjanjikan derajat yang amat tinggi bagi para pelaku puasa di bulan Ramadhan yakni taqwa, dan Tuhan maha berkomitmen—tidak pernah ingkar dengan janjiNya. Derajat taqwa yang dijanjikan itu telah Tuhan siapkan untuk diambil oleh para pelaku puasa di penghujung Ramadhan.
Semua orang beriman sudah paham bahwa taqwa itu adalah trofi terindah dan paling tinggi nilainya diantara sekian macam trofi balasan yang disediakan Tuhan dalam aktivitas ibadah yang dilakukan hambaNya.
Jika kita boleh berandai-andai. Seandainya Tuhan menunggu kita di finis penghujung perjalanan Ramadhan dengan menyiapkan trofi ketaqwaan yang sengaja dihajatkan bagi para alumni Ramadhan, kira-kira sudah siapkah kita mendekat kepada Tuhan untuk meminta trofi ketaqwaan itu? Sudah merasa pantaskah kita kalau berdiri di hadapan Tuhan menerima trofi ketaqwaan? Sudah cukup percaya dirikah kita dengan kinerja spiritual dan sosial selama Ramadhan untuk menerima trofi ketaqwaan?
Tuhan tidak menarget syarat yang terlalu rumit bagi hambaNya untuk dapat meraih trofi ketaqwaan yang nilainya sangat mulia dan tinggi itu. Tuhan hanya meminta kepada kita agar supaya selama melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramdhan untuk menjadi hambaNya secara utuh dan total.
Sebelum kita melangkah mengambil trofi ketaqwaan di sisi Tuhan, soallah diri kita masing-masing, apakah semenjak tanggal 1 Ramadhan hingga 30 Ramadhan kita sudah benar-benar menjadi hamba Tuhan yang utuh dan total? Ingatlah bahwa untuk menjadi hamba Tuhan yang sesungguhnya, kita hanya diminta untuk “sami’na wa atho’na”, Mendengarkan dan mengindahkan seluruh titah Tuhan.
Sikap “sami’na wa atho’na” ini amat sangat rahasia, tidak dapat dibongkar kerahasisannya oleh orang lain, dia menunggal dengan hati, pikiran dan prilaku. Dia bukan komitmen dalam bentuk pengakuan, tetapi substansi dalam wujud siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Dan untuk mewujudkan sifat yang mensifati Rasul itu dalam diri kita, Tuhan telah memberikan testimoni yang bisa dirujuk melalui praktik para sahabat pendamping Nabi SAW.
Shiddiq telah dipraktikkan oleh sahabat yang bernama Abu Bakar, yang diberikan gelar Asshiddiq dikarenakan apapun yang datang dari Allah dan RasulNya tidak pernah ditentang walau dengan penentangan didalam hatinya. Dia selalu membenarkan, baik dengan lisan maupun dengan perbuatannya. Dia mengerjakan apa yang dinyatakan benar secara total dan sangat yakin tanpa keraguan sedikit pun, apalagi unsur kekufuran. Jika kita telah menerima dan melaksanakan perintah puasa itu dengan ikhlas, yakin, dan tanpa unsur-unsur lain yang mencederai keyakinan dan keikhlasan kita, maka kita telah shiddiq terhadap kebenaran perintah puasa.
Amanah sebagai sikap satunya hati, kata dan perbuatan telah dipraktikkan oleh sahabat Nabi yang menjadi sekretaris wahyu yakni Zaid bin Tsabit, beliau menyimak lafadz wahyu dari Rasul, disimpan didalam otak dan dadanya, lalu ditulis sesuai dengan yang tersimak sehingga dapat menjadi mushaf yang terbaca dengan teratur. Andai Zaid bin Tasbit tidak amanah, mungkin mushaf al quran akan menjadi kitab yang diragukan. Jika kita telah mampu bersikap dan berprilaku yang jujur terutama jujur dengan diri kita sendiri dalam mempuasakan Ramadhan, berati kita sudah amanah dalam menjalankan perintah berpuasa.
Tabligh menjadi salah satu sifat yang dapat membumikan kebenaran dan kehebatan ajaran Islam, dan ini telah dipraktikkan oleh sahabat Nabi yang bernama Umar dan Ustman yang memberikan tauladan dari praktek nyata tentang Islam yang rahmatan lil alamin. Jika kita sudah mampu menebar kerahmatan dalam bulan Ramadhan, berarti kita sudah bertabligh tentang kemuliaan dan kebenaran syariat puasa.
Fathonah adalah memiliki kecerdasan dan menerima dengan masuk akal seluruh ajaran Nabi, dan ini telah dipraktikkan oleh Sahabat Nabi yang bernama Ali bin Abi Tholib yang bergelar Babul Ilmi. Seluruh ajaran dan konsep Islam dipahami oleh Ali bin Tholib secara kaffah sehingga seluruh persoalan dapat diselesaikan dengan adil, arif, dan bijaksana. Jika kita telah melaksanakan aktivitas Ramadhan dengan pemahaman dan ilmu, berarti kita sudah Fathonah terhadap kebenaran perintah berpuasa.
Jadi dengan kepribadian “sami’na wa atho’na” yang teraplikasi lewat pengejawantahan sifat Shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah dalam melaksanakan aktivitas ibadah shaum selama satu bulan, maka dialah yang pantas memperoleh trofi ketaqwaan. Dengan terbentuknya kepribadian “sami’na wa atho’na” akan melahirkan kepribadian sebagai hamba Tuhan yang totalitas, yakni melaksanaan seluruh aktivitas spiritual dengan senang dan gembira, termasuk dalam melaksanakan shaum, melaksanakan tarawih, melaksanakan tahajjud, membaca al-qur’an, melakukan shalat dhuha, dan kesenangan serta kegembiraan saat dapat memberi sebagian yang dia miliki untuk seseorang yang membutuhkan.
Melaksanakan aktivitas spiritual dengan penuh kesenangan dan kegembiraan itulah Idul Fitri yang bermakna kembali pada titik nol, yakni kembalinya hamba-hamba Tuhan kepada kesadaran diri untuk sami’na wa atho’na setelah melakukan penempaan secara pisik dan psikis—kembali menjadi pribadi baru yang senantiasa membingkai seluruh aktivitas kehambaannya kepada Tuhan dengan bingkai bahagia dan gembira.[]
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram