Berbicara tentang sosok dan karya Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya Pram) tidak bisa terlepas dari relasi sastra, sejarah dan politik. Hubungan tiga entitas keilmuan ini dalam perkembangannya memang cukup dinamis. Ada kalanya harmonis juga tak jarang ada riak-riak kecil dalam beberapa polemik yang ada. Terutama, ketika campur tangan politik (kekuasaan) mendominasi relasi itu.
Dalam sejarah perkembangan sastra Indonesia kontemporer, politik (kekuasaan) terlihat jelas ingin mengangkangi jalannya sastra dan sejarah. Periode Pemerintahan Orde Baru terlihat jelas, tindakan semacam pembajakan dan razia buku lumrah terjadi. Namun yang paling disayangkan tentu pembakaran naskah –termasuk naskah Pram– yang sampai akhir hayatnya, Pram belum mengikhlaskannya.
Baca juga: Tuan Imam: Representasi Ulama-Umara di Bima
Hal ini, tak lain untuk memuluskan agenda yang disebut oleh mereka sendiri “pembangunan nasional” yang dicita-citakannya. Seolah-olah hanya suara dari rezim yang berkuasalah yang harus diikuti oleh seluruh masyarakat. Dampak dari sikap itu meluber ke ranah sastra dan penafsiran tunggal sejarah, demi memuluskan agenda itu.
Dalam buku Perdebatan Sastra Kontekstual (1985) yang disunting Prof. Ariel Heryanto, sebenarnya ingin mendudukkan dengan jelas posisi sastra Indonesia itu. Karena seolah-olah bahwa sastra Indonesia pada masa kontemporer ini kurang mendapat perhatian. Bahkan dari kalangan masyarakat Indonesia sendiri.
Kesadaran semacam itu tak lain juga dipantik oleh keadaan yang dialami oleh Pram dengan karya-karyanya yang tidak menjadi “babon” di negerinya sendiri. Hal ini amat menyedihkan di saat negara tetangga menggunakan karya-karya Pram menjadi bacaan wajib bagi murid di tingkat SLTA-nya. Selain itu, menurut Hilmar Farid, nasib yang tragis yang dialami Pram dengan karyanya itu, tak lain, adalah konfrontasi langsung Pram dengan Orde Baru di saat Orde Baru sedang menggunakan kekuatan militernya untuk mengangkangi dan ingin melegitimasi sastra dan sejarah untuk kekuasaannya.
Dengan fakta demikian, tak sulit bagi Orde Baru dalam “mematikan” Pram. Pram yang hanya single fighter tidak bisa berbuat banyak. Seperti biasanya dunia ide-ide dan wacana, di atas kertas fisik Pram “dimatikan”, tetapi kerja-kerja dan penyebaran ide-idenya tak bisa dibendung. Begitulah yang dialami Pram. Semakin diberangus Orde Baru, karya-karya Pram malah semakin membuat anak-anak muda gandrung dan terprovokasi untuk agenda perlawanan.
Pram dan Gerakan Perlawanan Kebudayaan
Dalam bukunya Bumi Manusia, Pram, yang saat itu sedang menceritakan pengalaman hidup seorang pemuda yang getol membela hak-hak yang ditindas oleh praktik kolonialisme. Menurut pembacaan saya, sinyal semacam ini adalah indikasi Pram melakukan “perlawanan kebudayaan” untuk memprovokasi generasi. Lihat saja, Budiman Sudjatmiko (pentolan PRD), Puthut EA (aktivis/penulis) yang pada masa-masa Orde Baru gencar melakukan perlawanan. Atau angkatan yang terdahulu, Prof. Ariel Heryanto dan Arief Budiman.
Baca juga: Bukan Menangisnya Baudrillard
Dengan banyaknya tokoh-tokoh muda yang terpengaruh dengan wacana yang disebar oleh Pram. Orde Baru dengan reaksi yang tanpa pikir panjang (seperti biasanya orde baru) menyebar isu bahwa Pram itu “kiri” dan menyebarkan stigma-stigma “komunis”, “ateis”. Supaya orang-orang tidak lagi mempercayai Pram.
Dengan lahirnya generasi kritis itu, upaya pengkerdilan tak berhasil. Malah sebaliknya, makin menguatkan agenda-agenda perlawanan civil society yang memang sudah muak dengan praktik Orde Baru yang otoriter dan menghalangi kebebasan. Dalam karyanya yang lain, selain roman dan trilogi Pulau Buru yang terkenal itu. Pram banyak juga menulis buku-buku yang berkaitan dengan soal-soal korupsi dan intrik-intrik pemerintahan dengan gaya yang lebih serius.
Tak bisa disangkal, Pram menulis karya-karya selalu disesuaikan dengan keadaan situasi dan kondisi sosial. Apa yang kita sebut hari ini sebagai “sosiologi sastra”, peran Pram dalam mempromosikan ide tersebut jelas dan harus kita apresiasi. Kajian sosiologi sastra yang hari-hari ini banyak dilakukan oleh sastrawan dan intelektual sastra, agar sastra bukan hanya sekadar sebagai hiburan dan bacaan semata. Namun, kerja dan ruang lingkup sastra harus dijadikan lebih luas dan menyasar kepentingan perubahan sosial dengan mengajukan ide “sastra sebagai alat perlawanan”.
Legacy yang Abadi
Dalam hal legacy Pram sebenarnya menjadi role model sastrawan Indonesia. Idealisme, keberanian dan kemerdekaan dalam berekspresi walau harus berurusan dengan rezim adalah sebuah teladan yang harus dimiliki oleh seluruh sastrawan Indonesia. Bagaimana sastrawan yang tidak mudah terpengaruh dan terjerembab dalam kepungan “harta” politik (kekuasaan).
Baca juga: Perempuan yang Menyuluh Obor: Tribute untuk Atun Wardatun
Jauh dari itu, hal yang perlu dilakukan sastrawan muda terhadap sastra lewat Pram adalah pikiran kritis dalam membaca sejarah bangsa yang banyak sekali hasil daur ulang kepentingan Orde Baru. Arah sejarah bangsa yang antikolonialisme harus terus diupayakan agar bangsa Indonesia ini tumbuh dalam keadaan yang normal sebagai bangsa.
Dalam hal inilah, bentuk represifitas orde baru terhadap masyarakat adalah bentuk lain sebagai kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri terhadap anak bangsa sendiri. Yang akhirnya kita sebagai bangsa melawan bangsa kita sendiri. Sama dengan adagium yang dicetus Ali Syariati yang menyebut dalam sejarah perkembangan agama di dunia ini kebanyakan kita sebagai agama Islam cenderung sebenarnya melawan agama kita sendiri.
Perang-perang yang terjadi setiap saat dan waktu yang kita jalankan adalah atas motif agama dan pelaku agresor dan perang yang senang menjajah adalah orang yang beragama. Oleh sebab itu, dengan adanya sosok Pram ini, kita harus banyak belajar bagaimana konsistensi dan kemerdekaan berkarya dan menulis sebagai anak bangsa yang katanya sudah merdeka dari kolonialisme dan imprealisme yang menindas dan mematikan nalar dan naluri bangsa Indonesia. Pram, panjang umur perjuangan.
Ilustrasi: CNN Indonesia
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe