ADA sebuah buku yang mau saya selami di sini. Buku itu adalah terjemah dan komentar dalam bahasa Inggris atas salah satu karya tulis Sayyid Qutb (1906-1966), tokoh Islamis radikal dari al-Ikhwan al-Muslimun. Karya itu sendiri aslinya berjudul al-‘Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam. Ia kemudian diterbitkan dalam sejilid buku oleh E.J. Brill dengan judul Sayyid Qutb and Islamic Activism (1996) setelah diterjemahkan dan dianotasi oleh William E. Shepard. Qutb dan pemikirannya tercatat dalam sejarah modern Islam. Ia berpengaruh, bahkan secara internasional.
Berdasarkan tulisan-tulisannya yang bisa kita nikmati, Qutb meyakini bahwa dirinya sedang menjadi sosok pejuang Islam. Di sini saya tak hendak membahas sosok Qutb. Objek telaah artikel ini adalah tulisan Qutb yang menjelaskan soal Islam, politik, dan keadilan sosial dalam buku Sayyid Qutb and Islamic Activism. Dari sana kita akan tahu beberapa hal: seperti model keyakinan Qutb terhadap agama (Islam), penafsirannya, dan cita-cita politiknya.
Baca juga: Pancasila Sebagai Civil Religious: Paradigma Alternatif Menuju Indonesia Harmoni
Di dunia ini ada banyak sekali Muslim yang terpengaruh oleh Qutb. Dalam literatur akademik sendiri muncul istilah Qutbisme (ideologi khas Qutb). Mengenal lebih jauh perihal pemikirannya tentu bisa membantu dunia Islam untuk mengambil sikap – apakah akan selalu permisif terhadap ide-ide Islamisme, Islam politik, bahkan radikalisme agama; atau justru menjadi lebih rasional, inklusif, dan universal?
Klaim atas Kesempurnaan Islam
Pesan pertama yang akan diterima oleh pembaca dari poin-poin yang dijelaskan sendiri oleh Qutb dalam buku ini adalah integrasi dan hubungan organis antara teologi, kosmologi, dan politik dalam keyakinan Islam. Meski begitu, buku ini sama sekali bukan naskah akademik dan ilmiah. Ia adalah naskah misionaris; ditulis untuk meyakinkan orang lain tentang kesempurnaan agama yang Qutb anut.
Tak sedikit pembaca modern yang mengagumi Qutb, salah satunya karena alasan kadar intelektualitas, keindahan bahasa tulis, dan pengalaman hidup Qutb di dunia Barat. Namun, membaca isi dan gagasan dari tulisan-tulisannya, seharusnya membuat kita sadar bahwa ia tak lebih dari sosok pendakwah, dan bukan intelektual.
Beberapa menyematkan sifat ideolog terhadap dirinya. Kenyataannya, tidak ada epistemologi ilmiah dalam tulisan-tulisan sang ideolog, selain klaim-klaim sepihak dan apologetik tentang kejayaan dan kesempurnaan Islam (Rahardjo, 2012).
Siapa pun yang hendak meringkas pemikiran Qutb, akan sangat mudah melakukannya. Di kepala Qutb, Islam adalah ajaran sekaligus komunitas satu-satunya yang dapat mengalahkan jahiliyah modern (yaitu peradaban modern), karena Tuhan itu sendiri yang menghendaki demikian. Bagi Qutb, Tuhan berbicara sangat jelas dalam kitab suci-Nya, sejelas kata-kata penyiar radio yang setiap pagi Anda dengarkan.
Baca juga: Memimpikan “Mazhab” Baru Studi Islam
Dan, dari apa yang Qutb pahami sendiri dari firman-firman Tuhan, ia meyakini bahwa umat Islam adalah satu-satunya obor di dunia, sementara dunia itu sendiri dalam keadaan gelap gulita. Islam adalah komunitas beriman satu-satunya, sementara seluruh manusia yang tersisa adalah gerombolan yang tersesat. Dengan penuh keyakinan, Qutb menyatakan bahwa Islam memiliki tugas untuk meluruskan seluruh aspek kehidupan di muka bumi (Shepard, 1996).
Agama ini sudah lengkap, sehingga pantas jika ia ikut mengurusi seluruh aspek kehidupan juga secara lengkap, kata Qutb. Tak ada aspek dalam hidup, baik individual maupun sosial, yang dilewatkannya. Karena lengkap dan sempurnanya ia, maka manusia harus menerimanya demi keselamatan mereka sendiri (Shepard, 1996). Qutb berbicara seolah Tuhan adalah ayah yang galak dan serba tahu, yang ingin mendikte seluruh dimensi kehidupan anak-anaknya.
Over-Simplikasi atas Peradaban Islam yang Kaya
Ada hal fatal yang dilakukan Qutb. Itu adalah anggapannya bahwa firman Tuhan begitu jelas dan telanjang di hadapan akal manusia. Bagi Qutb, mustahil ada bias dan kesalahpahaman yang bisa muncul tatkala orang beriman membaca firman-Nya. Qutb sangat yakin, apa yang ia pahami (secara dangkal, sempit, dan tekstualis) dari kitab suci dan kehidupan Nabi, adalah apa yang memang Tuhan dan Nabi-Nya sendiri maksud.
Mengapa anggapan ini fatal? Sebab, kitab suci yang berjarak seribuan tahun dari kita, yang sudah melalui episode-episode penafsiran kompleks dalam sejarah umatnya, diterima oleh Qutb seolah-olah kitab itu baru turun kemarin, kepada dirinya sendiri. Qutb melakukan simplifikasi ekstrem terhadap khazanah intelektual dan sastra dalam Islam. Ia tak mempunyai metode ushul–fiqh dalam pemahaman hukum dan teologinya.
Ia tak menggunakan instrumen ilmu bayan, badi’, dan balaghah untuk menguraikan perumpamaan dan alegori dalam kitab suci. Baginya, seluruh ayat adalah ayat yang jelas, dan harus dimaknai secara harfiah dan tekstual. Ketika kitab suci berbicara soal Tuhan yang maha kuasa di alam semesta, Qutb berpikir itu berarti bahwa umat kesayangan Tuhan ini harus membuat sang Tuhan (dengan diwakili syariah-Nya) sebagai penguasa satu-satunya di muka bumi.
Baca juga: Mengenang Kang Jalal, Pejuang Keterbukaan
Over-simplifikasi terhadap instrumen-instrumen intelektual dalam tradisi Islam yang sangat kaya ini, tercermin dengan sangat jelas dalam kata-kata Qutb sendiri, bahwa konsepsi Islam yang benar, bisa kita peroleh dengan cukup merujuk pada pemahaman harfiah sejilid Al-Quran dan rekaman-rekaman perkataan harfiah sang Nabi (Shepard, 1996).
Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan filsuf Muslim yang lain adalah batu sandungan dalam sejarah Islam, yang membuat kita tersesat dari memahami Islam yang sesungguhnya (Shepard, 1996). Itulah pandangan Qutb. Ia memutuskan mata rantai tradisi intelektual yang kaya, dan mengklaim bahwa apa yang ia pahami adalah model Islam satu-satunya.
Pemikiran yang Lahir Akibat Amarah dan Dendam
Qutb menuliskan semua keyakinannya dalam berjilid-jilid buku, lalu para pengagumnya melihat tulisan tersebut sebagai ideologi yang paling murni Islami. Ada banyak pengagum Qutb di antara mahasiswa-mahasiswi Muslim di Indonesia. Bagi mereka, Qutbisme adalah satu-satunya jalan yang akan membawa dunia Islam bisa menghancurkan jahiliyah modern. Mereka melihat dunia sebagai medan perang antara kesesatan dan kebenaran.
Pandangan Qutb tampak logis, lugas, dan mudah dicerna. Tentu saja, mudah memengaruhi umat Islam yang memang sedang marah akibat penindasan tiada henti dari kolonialisme dan imperialisme Eropa terhadapnya. Kita harus ingat, konteks waktu dan situasi di mana ideologi Qutb ini lahir adalah hari-hari ketika banyak negeri Muslim baru saja lepas dari imperialisme Barat (Rahardjo, 2012).
Amarah memang bisa membuat pikiran menjadi dangkal. Qutb melihat satu-satunya penyelesaian bagi masalah keadilan sosial yang sesungguhnya, bagi seluruh dunia, adalah melalui supremasi Islam, dan bukan lewat jalan kerja sama dengan sesama manusia. Qutb tak mempunyai keyakinan yang optimis terhadap orang lain dan peradaban lain yang bukan Muslim (Rahardjo, 2012).
Tak ada keadilan sosial dalam sistem politik demokrasi, republik, dan negara-bangsa. Tak ada keadilan sosial dalam sistem ekonomi kapitalisme, sosialisme, dan komunisme. Hanya ada satu jalan keluar untuk mewujudkan keadilan sejati, yaitu menyerahkan urusan mengatur dunia ke tangan syariat Islam. Karena, hanya syariat Islam yang merupakan sistem hukum komprehensif, lengkap, dan adil, sebab ia berasal dari Tuhan yang maha adil (Shepard, 1996).
Apa yang dibuat manusia dengan nama demokrasi dan kapitalisme, dalam pandangan Qutb, adalah produk dan hasil kerja setan di dunia modern. Manusia, bagi Qutb, tak bisa dipercaya, dan hanya Tuhan yang bisa dipercaya. Siapa Tuhan itu sendiri, jika Anda tanya, maka jawabannya adalah Tuhan yang berbicara lewat lidah Qutb dan para pengagumnya.
Keadilan, dan Bukan Kebebasan
Dialektika modern mengenai kondisi dan situasi peradaban manusia, selalu terjadi antara kubu pembela kebebasan individu vis a vis pembela keadilan sosial (Allawi, 2009). Islam sebagai ajaran religius yang merasuk sampai ke hati kaum yang beriman, tentu saja mengandung ajaran moral supaya manusia cermat memilih tindakan dan perilaku yang bisa mengakomodir baik itu kebebasan individu, maupun keadilan sosial.
Wahyu suci Muhammad mengecam orang-orang yang rajin beribadah namun tak peduli pada penderitaan anak yatim. Tapi, kalau sudah begini, wahyu bukan hanya menegur para kapitalis, ilmuwan, dan filsuf; namun juga menyindir para sufi dan penceramah yang berapi-api mengajak manusia ke surga.
Qutb punya keyakinannya sendiri. Keyakinan itu berbunyi bahwa harmonisme alam semesta, di mana manusia sebagai salah satu elemennya, hanya dapat terjadi jika hukum Tuhan ditegakkan. Keadilan dan harmonisme adalah dambaan setiap manusia, menurut Qutb, dan cara mewujudkannya adalah dengan membuat mereka tunduk pada hukum-hukum besi dari Tuhan (yaitu syariat Islam) (Shepard, 1996).
Jika mereka menolak, maka Qutb menyodorkan solusi kekerasan. Tak ada kebebasan manusia untuk mencapai kebebasan individual dan keadilan sosial. Semua itu hanya bisa diraih dengan tunduk dan patuhnya seluruh individu terhadap kemauan Qutb. Qutb sendiri menyebutnya sebagai kemauan Tuhan (Shepard, 1996).
Dalam paradigma modern, persoalan sistem sosial dan pemerintahan harus dibangun dengan fondasi ide dan teori, yang terbukti bisa diterapkan, dan terbukti bisa mencapai cita-citanya. Ada mekanisme validasi dan falsifikasi. Soal validitas bisa diukur dengan mengajukan bukti-bukti, baik itu rasional maupun empiris; sementara soal falsifikasi, semua sistem harus bersedia dikoreksi, atau bahkan dianulir tatkala terbukti gagal, atau menyimpang dari cita-citanya (Naqvi, 2013).
Dunia modern tidak khawatir untuk menilai, lagi dan lagi, apakah pilihan mereka akan demokrasi dan kapitalisme itu sudah tepat atau belum. Kita siap untuk melakukan negosiasi dan falsifikasi sekalipun atasnya. Sosialisme pernah runtuh, dan kita tidak menangisinya. Kini, sosialisme hidup kembali dengan bermutasi menjadi sosialisme-demokrat yang hidup di negara-negara Skandinavia. Sementara itu, kapitalisme terus berjalan, seiring dengan menambahkan altruisme ke dalamnya (Harari, 2014).
Namun, dalam paradigma Qutb, tak akan ada yang namanya negosiasi, validasi dan (apalagi) falsifikasi atas Islam, sebuah sistem yang maha sempurna. Inilah awal kelahiran ideologi Islamisme Qutb. Bagi Qutb, jika manusia tak mampu menggapai kondisi keadilan sosial, itu terletak pada belum lengkapnya aplikasi syariat Islam di muka bumi. Bahkan, orang paling shaleh dan Islami sekalipun, jika ia gagal mewujudkan keadilan sosial, maka Qutb akan menuduh orang tersebut munafik dan gagal menerapkan seluruh syariat Islam.
Baca juga: Menguji Gagasan Demokrasi Takwa Buya Hamka
Akhirulkalam, seandainya Qutb melanjutkan ide-ide keadilan sosial Islam ini secara lebih halus, rasional, dan ilmiah, barangkali keadaan pemikiran Islamisme akan bisa jadi lebih baik. Sayangnya, semangat keadilan sosial berbasiskan wahyu suci ini dikawinkan dengan absolutisme politik (sebuah penyakit kronis peradaban manusia sejak zaman pra-modern, sebenarnya). Qutb melihat bahwa keadilan sosial Islami hanya bisa diwujudkan dengan kekuasaan absolut umat Islam atas dunia.
Qutb menjadi utopis di sini. Sangat disayangkan, karena ideologi Islamismenya tidak berakar kuat dalam epistemologi empiris, dan tidak memiliki metodologi penerapan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ide-idenya pun menjadi gerakan politik yang radikal.
Meski ia banyak menulis ide-ide Islamisme tersebut dalam bentuk prosa yang indah (bahkan juga dalam bentuk tafsir Al-Quran), namun, pengikutnya tak akan menggubris soal keindahan sastrawi dari sosok Qutb. Yang akan selalu diingat adalah identitas dari ide itu sendiri, yaitu upaya radikal mengubah tatanan dunia (jahiliyah) modern.
Ide keadilan sosial Qutb, pandangannya tentang integrasi teologi, kosmologi, dan politik, sama sekali tidak aneh dan problematik jika diukur secara ilmiah. Akan tetapi, ide lainnya soal absolutisme kekuasaan (syariat) Islam, dan eksklusivisme kelompok yang dia usung, itulah yang justru menjadi kerangka utama dari ideologi Islamismenya.[]
Ilustrasi: Republika.com