“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada-Nya dan hari kemudian..”
At-Taubah: 18
Dalam sejarah Islam, tepatnya pada era Nabi Muhammad dan para sahabat setelahnya, masjid memainkan peran yang sangat penting bagi tumbuh kembangnya peradaban Islam. Hampir semua aktivitas yang berkaitan dengan tata kelola keagamaan dan kepemerintahan diperbincangkan di masjid. Sehingga ruang masjid merupakan titik sentral bagi pengembangan dan permulaan lahirnya peradaban Islam itu sendiri.
Seiring berjalannya waktu, fungsi masjid mengalami pergeseran—dari yang awalnya merupakan “ruang publik”—yang menampung berbagai aktivitas umat muslim—kini hanya sebatas sarana ritual keagamaan. Pergeseran fungsi masjid ini sedikit tidak dilatarbelakangi oleh pandangan yang menganggap masjid sebagai “tempat suci” atau—ungkapan yang sering kita dengar sebagai “rumah tuhan”. Karena sifatnya yang suci, maka masjid tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas di luar dari kegiatan ritual keagamaan. Begitu kira-kira.
Anggapan masjid sebagai “tempat suci” atau “rumah tuhan” ini sedikit perlu diluruskan. Dalam hal ini, yang duduk perkarannya adalah ketidak-mampuan untuk membedakan —mana wilayah yang sacral, dan mana wilayah yang profan. Meski masjid sebagai tempat untuk melakukan ritual keagamaan (sakral), namun tak bisa juga pungkiri adanya ruang lain selain ruang ritual yang ada di dalamnya (profan). “Salah duga” terhadap aspek sakralitas dan profanitas terhadap masjid inilah yang menyebabkan masjid kurang berkembang.
Pemahaman terhadap akan yang sakral dan profan ini, tidak hanya dalam konteks pemahaman tentang masjid saja, namun juga pemahaman keislaman secara umumnya. Perdebatan mengenai simbol, seperti busana umat muslim yang masih berkembang sampai dengan detik ini juga merupakan bukti atas ketidakmampuan membedakan aspek sakralitas dan profanitas dalam agama. Yah, meski di dalam Islam terdapat banyak sekali simbol, namun simbol bukanlah Islam itu sendiri. Sikap yang memprofankan yang sakral dan yang mensakralkan yang profan inilah yang kemudian melahirkan kecenderungan beragama secara simbolik (artifisial).
Sakral memiliki arti “suci” sedangkan profan bermakna sebaliknya. Kesakralan bukan tertuju pada bangunan masjid yang sifatnya simbolik —karena kesakralan berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya misteri dan abstrak (non-material). Maka semua yang bersifat simbolik, seperti masjid merupakan wilayah yang profan. Bahkan masjid itu sendiri merupakan bangunan konkrit yang di dalamnya terdapat unsur-unsur material, seperti tanah, batu, krikil, semen, air dan lain sebagainya. Sehingga bangunan masjid sama halnya seperti bangunan-bangunan pada umumnya.
Material yang menjadi komponen bangunan masjid juga sama seperti material yang terdapat dalam komponen bangunan rumah saya— atau bangunan-bangunan yang ada pada tempat hiburan lainnya. Lantas apa yang membedakan? Jika yang membedakan hanya aktivitas ritual keagamaannya, di pojok bangunan rumah saya pun juga tersedia ruangan 3×3 meter untuk aktivitas ritual keagamaan, seperti halnya yang dilakukan oleh orang-orang di masjid.
Baca juga: Pembaharuan dari Masjid Kampung
Dalam konteks ini, saya ingin menegaskan bahwa wilayah kesakralan masjid hanya terletak pada saat umat Muslim melakukan aktivitas ritual keagamaan. Kesakralan hanya berlangsung saat ketikan umat Muslim bercengkrama dengan Tuhan-nya (hablumminallah), setelahnya— adalah waktu untuk bercengkrama dengan sesama (habluminnanas) melalui aktivitas yang lebih luas; seperti aktivitas pendidikan, sosial, budaya, ekonomi, politik dan aktivitas yang bermanfaat lainnya.
Itulah mengapa pentingnya pemahaman akan yang sakral dan profan ini haruslah “diselesaikan” terlebih dahulu, sebelum kita memasuki pada persoalan tentang bagaimana memakmurkan masjid dalam skala yang lebih luas. Sebab, dua aspek ini nantinya akan memberi pemahaman bahwa masjid merupakan ruang yang sangat fleksibel —sekaligus menggambarkan keseimbangan Islam sebagai agama yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Masjid Sebagai Ruang Publik
Seperti yang telah saya tegaskan di awal, bahwa masjid merupakan titik sentral yang menghimpun berbagai aktivitas masyarakat Muslim, sehingga masjid tidak hanya sebatas tempat mengekspresikan spiritual keagamaan saja, tetapi juga ruang untuk mengekspresikan kereativitas dan aktivitas yang bermanfaat lainnya. Maka dalam hal ini masjid juga merupakan fasilitas atau ruang publik yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ritualisasi keagamaan —yang sifatnya cenderung privat, namun juga merupakan ruang rekreasi dan bahkan destinasi bagi masyarakat Muslim.
Masjid ibarat rumah yang di dalamnya dihuni oleh sebuah keluarga, dan hal pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana menata masjid —agar tidak hanya menciptakan rasa nyaman secara spiritual, namun juga nyaman secara sosial. Hal ini perlu dipertimbangkan secara serius, mengingat kemajuan zaman telah mengubah pola perilaku masyarakat, maka masjid pun juga harus mengimbangi pola perilaku-perilaku umat muslim di era sekarang ini. Paling tidak, penataan masjid harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat muslim; seperti menyediakan akses internet, taman, fasilitas pendidikan, budaya dan kesenian, serta fasilitas penunjang yang bermanfaat lainnya.
Contoh, di beberapa masjid perumahan yang pernah saya kunjungi, keadaannya hampir sama, dan amat memprihatinkan. Sangat sedikit warga yang menyempatkan waktu untuk berjamaah ke masjid. Paling mentok—jumlahnya hanya satu atau dua baris (syaf) saja. Mirisnya, para pengurus (ta’mir) masjid hanya bisa menyalahkan keadaan tersebut. Bahkan suatu waktu, saya pernah mendengar ungkapan salah seorang penceramah yang dengan serampangan membandingkan tingkat keramaian masjid dengan tingkat keramaian tempat “hiburan” lainnya. “Saat ini, umat muslim lebih ramai di tempat-tempat hiburan— ketimbang di masjid. Ini adalah tanda-tanda kiamat.” Ungkapnya.
Cara membandingkan itu terdengar sangat “lucu”, karena tempat yang dibandingkan berbeda secara fungsional. Wajar jika kenyataanya masjid saat ini sangat sepi, karena saat sekarang— jika hanya ingin menjalani ritual saja, orang bisa melakukannya secara berjamaah di rumah dengan keluarganya masing-masing. Belum lagi faktor meningkatnya aktivitas dan produktivitas masyarakat, membuat mereka tak memiliki waktu yang banyak untuk ke masjid. Itulah mengapa inovasi masjid ini menjadi sangat penting. Karena jika tata kelola masjid masih dengan gayanya yang kaku, maka masa depan masjid akan berakhir sama seperti masa depan “kitab-kitab suci agama” cetakan (konvensional)— yang lambat laun semakin tergantikan dengan kitab-kitab suci yang telah digitalisasi.
Dilema Masjid di Era Revolusi Digital
Laju kebudayaan dengan segala kecanggihan teknologinya telah mengubah sesuatu yang awalnya konvensional menjadi elektronik; buku-buku dan kitab-kitab suci agama telah didigitalkan. Bahkan hampir setiap aktivitas manusia juga telah dilakukan secara virtual—termasuk aktivitas keagamaan itu sendiri. Masalahnya adalah kita tak bisa menghindari kenyataan ini, sebab kita sedang hidup dan menjadi bagian di dalamnya. Pencampuran entitas, peleburan esensi, dan simpang-siurnya nilai-nilai memang merupakan konsekuensi dari zaman modern. Semua seakan tak lagi dapat dibedakan, bahkan absurd dan kabur. Keadaan ini penting untuk disadari— dan memang harus segera mulai memikirkan bagaimana seharusnya menata masjid di era digital seperti saat sekarang ini.
Mengingat ruang virtual adalah “dunia baru” bagi peradaban kontemporer dewasa ini, maka ruang-ruang virtual ini menjadi sangat penting bagi eksistensi dan masa depan masjid —dan sebaliknya, menutup diri dari dunia virtual hanya akan menyebabkan kita terpental dan terkubur oleh peradaban yang semakin maju. Maka mau tidak mau, suka atau tidak suka —masjid harus segera mengambil bagian dan beradaptasi dengan keadaan zaman, sehingga masjid tetap eksis atau tidak menjadi bangunan megah yang kaku dan “mati”.
Baca juga: Kematian: Keniscayaan yang Alamiah
Konsep yang ingin ditawarkan di sini adalah “digitalisasi masjid”—yakni suatu upaya mendorong masjid untuk terlibat secara aktiv dalam ruang-ruang virtual. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk kembali memaksimalkan fungsi masjid di era revolusi digital. Hal pertama yang harus dilakukan adalah merubah tata kelola masjid dengan sentuhan-sentuhan kekinian. Pengurus masjid (takmir) mulai harus memikirkan untuk membentuk beberapa anggota yang ahli dibidang conten creator. Tugas mereka adalah merekam segala aktivitas di masjid sekaligus membuatkannya channel YouTube dan memanfaatkan platform medsos lainnya.
Cara ini akan sangat menguntungkan bagi masjid. Bahkan ketika aktivitas virtual ini dikelola secara baik dan konsisten, maka masjid dapat menghasilkan pendapatan yang cukup menjanjikan. Anda mungkin pernah menonton salah satu chanel YouTube “ngaji filsafat” yang dipelopori oleh Dr. Fahrudin Faiz dan teman-teman ta’mir Masjid Jenderal Sudirman, Yogyakarta. Salah satu masjid yang menurut saya sangat intens melakukan kajian-kajian filsafat. Meski tampilan video mereka terlihat sederhana, namun jumlah subscriber dan penontonya chanel YouTube mereka telah mencapai ratusan ribu.
Menurut saya, Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta tersebut patut untuk dicontoh oleh masjid-masjid yang saat ini masih terlelap dalam tidur panjangnya. Tidur panjang itu harus segera dibangunkan. Harapan saya, dengan kemunculan Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta ini dapat membangunkan sekaligus menyadarkan masjid-masjid yang ada di berbagai daerah dari mimpi panjang mereka tentang kejayaan Islam masa lampau. Sebab, “percuma membangun banyak masjid yang bermegah-megah jika pada akhirnya hanya sekedar untuk dijadikan tempat ritual keagamaan saja. Bukankah ini pemborosan yang tidak perlu?
Lalu Bagaimana dengan Lombok NTB, daerah yang dijuluki “Pulau Seribu Masjid” itu?
Lombok tidak hanya terkenal dengan banyaknya masjid, namun dalam sejarahnya juga termasuk sebagai masyarakat muslim (muslim society) yang mewarisi peradaban Islam Melayu. Maka untuk menjaga warisan peradaban itu, menurut saya adalah dengan memakmurkan masjid. Cara-cara ini juga dilakukan pada era Nabi dan masa sahabat yang memulai membangun peradaban Islam dari masjid. Dengan artian, “menata masjid berarti menata peradaban.” Mengingat masjid merupakan lambang sekaligus gambaran keadaan Muslim yang ada di sekitarnya. Maka keruntuhan masjid juga merupakan keruntuhan Islam itu sendiri, (Ghazalba, 1994: 268).
Baca juga: Ketika Idola-Fans Bertemu, Diskusinya Asyik Biarpun Pesannya Berat
Seperti yang kita lihat, keadaan masjid di Lombok sebenarnya juga hampir masih sama dengan keadaan masjid di beberapa daerah Indonesia lainnya. Tata kelola masjidnya pun masih jauh dari kata maju. Padahal dengan keberadaan seribu masjid di Lombok seharusnya bisa menjadi daerah contoh dengan tingkat produktivitas kegiatan kemasjidannya. Namun kenyataannya justru sebaliknya, dan seribu masjid itu layaknya “miniatur-miniatur” yang hanya memperindah daerah. Jika satu Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta saja mampu untuk merangkul dan membimbing ratusan ribu orang kepada pengetahuan, lalu bagaimana dengan Lombok melalui seribu masjidnya?
Sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa “menata masjid sama dengan kita menata peradaban.” Artinya, untuk membangun peradaban yang lebih baik ke depannya, Lombok harus dengan sangat serius menata masjid-masjidnya. Mudah saja, di sini saya ingin menawarkan konsep literasi masjid, yakni gerakan “Satu Masjid Satu Perpustakaan.” Coba bayangkan jika seribu masjid yang ada di Lombok masing-masing difasilitasi satu perpustakaan. Jika hal ini benar-benar terealisasikan, maka bukan hal yang tidak mungkin jika kejayaan peradaban Islam akan kembali seperti semula. Sehingga mimpi dalam tidur panjang tadi akan menjadi kenyataan yang kedua kalinya.
Gerakan Amal Virtual
Di era digital seperti sekarang ini, masjid tidak hanya dituntut eksis di dunia nyata namun juga harus eksis di dunia maya. Maka tak heran jika gerakan-gerakan keagamaan mulai dilakukan secara virtual. Maraknya pengajian-pengajian keagamaan di beberapa platform media sosial, seperti YouTube, Instagram, Facebook dan lain sebagainya merupakan “realitas baru” di zaman sekarang.
Kecenderungan aktivitas-aktivitas keagamaan yang divirtualisasikan ini pada puncaknya nanti akan melahirkan apa yang disebut sebagai amalan virtual. Jika dulu manusia cenderung dengan sesuatu yang sifatnya konvensional, maka sekarang dan ke depannya akan segera tergantikan dengan sesuatu yang sifatnya virtual. Bahkan orang-orang tidak lagi repot membawa uang “ribuan” dan “recehan” untuk dimasukan ke dalam kotak amal, karena cukup dengan menekan tombol subscribe, like dan share konten chanel YouTube masjid akan menjadi amalan tersendiri bagi para jemaahnya.
Saya membayangkan jika konsep ini dapat direalisasikan oleh salah satu masjid terbesar di Lombok, yakni Islamic Center Mataram. Juga saya membayangkan adanya perpustakaan terbesar yang ada di dalamnya. Keberadaan perpustakaan di masjid otomatis akan mendorong lahirnya aktivitas pendidikan di dalamnya dan sekaligus menjadi gerakan awal dalam upaya mengembangkan dan memakmurkan masjid. Harapan dari adanya aktivitas pendidikan di masjid ini akan mendorong lahirnya aktivitas-aktivitas yang bermanfaat lainnya. Maka kata kuncinya (keyword) adalah “pemantik” atau melakukan rekayasa sosial untuk menarik minat generasi-generasi Muslim milenial terhadap masjid. Tentu ini menjadi tugas kita bersama sebagai umat Muslim.
Ilustrasi: Tempo.co
Mahasiswa Studi Agama-agama, Eksponen Kalikuma Mataram: Penyuka Musik dan Buku