Perilaku Orang Terpimpin

Salah satu visi kenabian Muhammad saw adalah memperbaiki budi pekerti manusia. Tentu hal itu bukanlah perkara mudah, tetapi itulah tugas utama yang Tuhan percayakan kepadanya. Visi itu berkesinambungan dan menjadi warisan sekaligus wasiat untuk kita lakukan dan tegakkan sebagai umatnya secara turun temurun hingga akhir zaman.

Tuhan membahasakan visi itu dengan pilihan diksi yang sangat indah yakni Muhammad sebagai rahmat bagi semesta alam. Artinya dalam pribadi Muhammad saw dan orang-orang yang mewarisi ajarannya (baca: pengikut) ada rasa kasih sayang, kedamaian, dan ketenteraman yang harus ditebar kepada seluruh makhluk di semesta raya ini (rahmatan lil alamin).

Sebagai rahmatan lil alamin dengan visi  menyempurnakan dan memperbaiki budi pekerti, Muhammad saw berkomitmen menghiasi dirinya dengan prilaku orang terpimpin, yakni memperlihatkan dan memancarkan budi pekerti dari dalam dirinya, yang pantas dan patut untuk ditiru oleh siapapun yang pernah berjumpa dengannya (uswah hasanah). Tidak ada cara lain, selain membuat dirinya menjadi contoh dan tauladan, karena beliau dilahirkan dan diutus di tengah-tengah lingkungan yang diwarnai degradasi moral—pasti akan sulit bagi beliau untuk menemukan contoh tauladan dari orang lain di sekitarnya.

Dalam kesehariannya, Muhammad saw adalah orang yang memiliki sikap rendah hati. Di hadapan siapa pun, entah dia non muslim, orang asing, atau rakyat jelata, Muhammad saw tidak pernah memperlihatkan dirinya memiliki nilai lebih dibandingkan dengan orang lain. Tidak pernah sombong di hadapan seiapapun, sekalipun di hadapan pendosa dan pemabuk. Beliau amat bersahaja, sehingga siapapun yang datang kepadanya tidak pernah merasa tidak pantas. Bahkan karena sikap rendah hati, tawaddu’, bersahaja, dan tidak sombong itulah, semua yang pernah bertemu dengannya memiliki kerinduan untuk ingin bertemu lagi, malahan ada beberapa sahabat yang tidak ingin berpisah dengannya hatta dalam satu detik.

Baca Juga  Terpaku di Antara Dua Rute

Kemudian merendahkan pembicaraan dalam setiap berbicara dengan lawan bicaranya, sehingga siapapun yang berkomunikasi dengannya, tidak pernah kecewa, kesal, dan tersinggung, tidak pernah merasa terhina dan direndahkan, tidak pernah merasa digurui, dan tidak pula merasa dituturi seperti antara bawahan dan atasan. Dengan merendahkan pembicaraan, Muhammad saw memiliki daya magnet bagi siapapun yang pernah berkomunikasi dengannya, untuk selalu ingin bertemu dan merindukan untuk berdialog dengannya.   

Perangai yang diperlihatkan dalam bermuamalah adalah sopan santun. Dengan siapapun dia berjumpa, beliau memberi kesan mendalam atas kesopanannya, sopan dalam sikap, sopan dalam prilaku, dan  sopan dalam pilihan bahasa. Dengan modal kesopanan itulah beliau dikenang, diingat, dan dirindu-rindukan untuk ingin bertemu dengan beliau. Bila berbicara dengan siapapun, pantang bagi beliau untuk memalingkan wajah dari lawan bicaranya. Bila lawan bicara sedang berbicara, beliau menyimak dengan fokus dan khidmat menyimak seluruh isi pembicaraan dari lawan bicaranya, tidak memutus kalam di tengah pembicaraan orang dan tidak pula mendahului pembicaraan lawan bicaranya.    

Bila mendapat giliran berbicara, pilihan-pilihan diksi bahasa dikemas dalam nada yang halus dan santun. Pantang bagi beliau berbicara kasar, sehingga kesan yang dirasakan dari lawan komunikasinya adalah bahwa kalimat yang keluar dari pembicaraan Muhammad saw selalu menyejukkan, dan bahkan lawan bicara tidak mampu mengimbangi kehalusan bahasanya, sehingga setiap lawan bicaranya selalu berbicara “seperlunya” di hadapan beliau.

Menerima orang lain apa adanya menjadi kesan pertama yang dirasakan orang asing yang baru bertemu untuk pertama kalinya dengan beliau. Beliau memandang siapapun yang datang menjadi bagian dari dirinya, sehingga prinsip yang dipegang adalah menghormati orang—berarti menghormati diri sendiri, memperlakukan baik terhadap orang—berarti memperlakukan baik terhadap diri sendiri, menghardik orang—sama artinya menghardik diri sendiri, merendahkan orang—semakna dengan merendahkan diri sendiri. 

Baca Juga  Puasa: Resonansi "Aku", "Kamu", "Dia", "Kami" dan "Kita"

Jujur menjadi pakaian dan busananya dalam beraktivitas dan berinteraksi. Kesan jujur bukan saja dirasaan oleh orang muslim dan mukmin kala itu, bahkan pengakuan jujur itu didapatkan pula dari orang-orang yang memusuhi beliau. Al amin menjadi label yang hanya pantas melekat pada beliau, sampai saat ini belum ada satu manusiapun di bumi ini yang merasa pantas menyematkan label itu.

Beliau tidak hanya jujur dalam berbicara, akan tetapi jujur dalam seluruh sepak terjangnya, termasuk jujur dalam mendengar, jujur dalam pengelihatan, jujur pikiran, jujur dalam perilaku (tidak dibuat-buat), dan  jujur dalam hati. Sehingga beliau menjadi pribadi yang satunya kata dengan perbuatan.  

Perilaku-perilaku mulia yang diperlihatkan Muhammad saw di atas dalam istilah manajemen adalah “prilaku orang terpimpin” yang menjadi perilaku yang diwarisi kepada umatnya sepanjang waktu, untuk kita tegakkan dan terapkan dalam keseharian kita, dalam tugas dan profesi apapun. Prilkau terpimpin itulah yang dipuji Tuhan dalam firmanNya di surah Ali Imran ayat 110, “Kuntum khairo ummatin ukhrijat linnas, ta’muruna bil ma’ruf watanhauna anil munkar ”, Kamu adalah umat terbaik  yang dikeluarkan untuk manusia, yang menyerukan kabaikan dan pantang mendekati dan melakukan kemungkaran.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *