Kalah, salah satu keadaan yang menjadi momok untuk sedapat mungkin dihindari oleh siapa saja. Menjadi orang kalah sebenarnya tidak saja akan kita alami dalam nuansa persaingan, akan tetapi dalam menjalani kehidupan sehari-hari pun, tidak kita sadari sebenarnya banyak di antara kita yang sesungguhnya menjadi orang kalah.
Kekalahan yang dimaksud ialah dalam makna kerdil dan lemah dalam mempertahankan keteguhan prinsip, yang menyebabkan hilangnya kemerdekaan hati dan pikiran di dalam mengelola diri dan merawat kehidupan. Kekalahan itu bisa saja kalah oleh diri sendiri, kalah oleh orang lain, kalah oleh kekuasaan, dan bahkan kalah oleh kehidupan itu sendiri.
Baca juga: Negeri yang Rentan
Apabila dalam menjalani kehidupan normal, kita tidak menjadi diri kita sendiri, kita tidak mampu berpikir jernih, tidak dapat berpikir sehat, dan sering berperilaku tidak wajar. Maka sesungguhnya kita telah menjadi orang kalah.
Mari kita runut beberapa indikasi dari orang-orang yang kalah, siapa tahu secara tidak sadar, kita juga termasuk dalam kelompok orang-orang kalah.
Hawa nafsu sering kali mendominasi akal sehat, terutama dalam posisi untuk harus berbuat yang positif. Menunda waktu untuk berbuat baik, berkompromi dengan diri sendiri untuk tidak disiplin, atau berdamai dengan hati untuk melakukan pelanggaran dan kesalahan, maka dalam aksi yang demikian itu sesungguhnya kita telah menjadi orang yang kalah.
Amarah seringkali menjadi ciri dari sikap dan perilaku kita, terutama dalam posisi melindungi diri dan menaikkan harga diri. Marah yang tidak pada tempatnya, marah yang tidak beralasan, marah yang meluap-luap sampai melampaui batas wajar, menjadi tameng untuk menutupi kesalahan dan kelemahan diri. Pada posisi dan suasana seperti ini sesungguhnya kita termasuk orang yang kalah.
Berdusta atau berbohong senantiasa kita lakukan dengan enteng dan tanpa beban, terutama dalam mencari simpati dan empati dari siapa saja, atau untuk menaikkan posisi kita menjadi lebih baik di mata siapa saja, atau untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang wajar di hadapan siapa saja, maka pada saat kita dusta dan bohong itu sesungguhnya kita telah menjadi orang yang kalah.
Baca juga: Sikap dan Perilaku sebagai Investasi
Munafik dalam tataran praktis, di mana dalam berinteraksi sering kali ingkar janji, sering membual dalam berkomunikasi, pura-pura lupa terhadap komitmen yang disepakati, maka pada kondisi seperti itu sesungguhnya kita telah menjadi orang yang kalah.
Dalam kehidupan bermuamalah di tengah masyarakat, acap kali secara tidak sadar kita merasa tersaingi, entah dalam prestasi, prestise, atau capaian-capaian hidup lainnya, di mana orang lain tidak pernah merasa membuat persaingan, maka pada keadaan seperti itu sesungguhnya kita telah menjadi orang yang kalah.
Terkadang, tiba-tiba ada rasa di dalam diri kalau kita tidak dihormati, tidak dihargai dan tidak disegani, tidak diperhitungkan, tidak diramahi—diperlakukan biasa saja, atau merasa tidak diperlakukan ekslusif, maka pada saat itu sesungguhnya kita telah menjadi orang yang kalah.
Kemudian ada saat dalam ruang dan kesempatan di mana kita merasa bodoh atau merasa pintar, lebih miskin atau lebih kaya dibanding yang lain. Sehingga sikap dan perilaku kita menjadi tidak wajar, sikap dan perilaku kita kaku, tidak pantas, tidak terbuka, dan tidak bersahabat, omongan kita seperti tidak mencerminkan diri kita yang sebenarnya, maka pada saat itu kita sedang menjadi orang kalah.
Dalam menjemput obsesi, sering kali kita berperilaku yang berlebihan, berbicara lebih dari yang sepantasnya, berdonasi lebih dari kemampuan, memberi perhatian dan penghormatan lebih dari yang wajar, atau dengan diksi lain senantiasa mencari muka, maka pada kondisi seperti itu sesungguhnya kita sedang menjadi orang yang kalah.
Selanjutnya dalam merespon kekhilafan dan kealpaan, menyikapi kegagalan dan resiko, senantiasa berlindung dari kebiasaan menyalahkan orang lain, kebiasaan memposisikan orang lain sebagai biang kerok, atau dalam istilah yang populer adalah kebiasaan mencari kambing hitam untuk memperisai diri, maka pada sikap yang demikian sesungguhnya kita telah menjadi orang yang kalah.
Dalam menyikapi suatu perbebedaan, menghadapi situasi untuk harus memilih dan merespon sesuatu dengan prinsip yang tegas, tetapi selalu menunjukkan sikap mendua, memperlihatkan muka yang ambigu, dan memilih diksi bahasa atau kalimat yang tidak tegas, yang intinya ingin mencari aman dalam dua situasi yang berbeda, maka pada perilaku yang demikian itu, kita sesungguhnya termasuk orang yang kalah.
Pada saat berhadapan dengan orang yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, menunjukkan sikap menghamba yang berlebihan, mengedepankan perilaku yang takut kehilangan pengakuan, memberi hormat lebih dari penghormatan yang wajar, maka pada sikap yang demikian itu, sesungguhnya kita telah menjadi orang yang kalah.
Baca juga: Perilaku yang Mati Rasa
Penting kita sadari bahwa sikap dan perilaku orang yang kalah tidak pernah memerdekakan hati, ketenangan dan kedamaian akan selalu terpasung, dan pemikiran serta imajinasi tidak lagi tajam, pada akhirnya akan berpengaruh pada sikap dan perilaku yang tidak wajar dan tidak terdidik. Dalam bahasa Tuhan di dalam surah al Kahfi ayat 103 dan 104, itulah orang yang sia-sia dalam mengelola hidupnya.
“Qul hal nunabbi’ukum bil akhsarina a‘mala. Alladzina dholla sa‘yuhum fil hayatid dunya wa hum yahsabuna annahum yuhsinuna shun‘a”. Artinya “Katakanlah, Apakah ingin Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang perbuatan-perbuatannya paling merugi?’. (Mereka itu) orang yang usahanya sia-sia dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka itu berbuat sebaik-baiknya.”
Menyadari konsekuensi dari sikap dan perilaku orang kalah, maka senantiasalah kita mendidik diri untuk sedapat mungkin menjauhkan diri dari perilaku dan sikap orang kalah, dengan cara selalu mawas diri dan pastikan diri ini terhubung dengan Zat Yang Maha Suci.
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram