Ayat populer tentang perintah untuk melaksanakan ibadah puasa Ramadan sebagai suatu kewajiban yang sering disuarakan oleh para mubalig, terdapat pada surah al Baqarah ayat 183, “yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ‘alallażīna ming qablikum la’allakum tattaqụn”. Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Sekilas kita menangkap maksud dari ayat di atas hanyalah sebagai landasan bahwa puasa Ramadan itu kewajiban bagi umat Islam. Namun jika kita telisik dan telaah lebih mendalam tentang muatan yang dikandung, kita akan menemukan bahwa ayat tersebut sesungguhnya merupakan ayat kompetitif yang Tuhan sampaikan kepada umat Muhammad saw.
Kalimat “sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kamu” merupakan penegasan Tuhan bahwa amalan puasa ini adalah amalan kompetitif dengan umat sebelum kita, jangan sampai umat sebelum kita lebih unggul dalam peraihan poin-poin pahala dari pelaksanaan puasa ketimbang kita.
Umat-umat sebelum kita diketahui memiliki usia yang sangat panjang, antara 1000 hingga 1500 tahun, sementara batas umur bagi kita umat Muhammad saw antara 60 hingga 70 tahun. Maka taruhan dari amalan puasa adalah amalan yang harus kita laksanakan dengan sangat serius, maksimal, dan sungguh-sungguh, dalam rangka mengimbangi kuantitas dan volume nilai dari amalan umat terdahulu yang memiliki umur sangat panjang.
Para sahabat Nabi saw yang paham dengan ayat 183 surah al Baqarah di atas sebagai ayat kompetitif, mereka menyikapinya dengan cara menciptakan dan menjalani pola hidup yang berbeda dari sebelas bulan di luar Ramadan, yakni menjalankan pola hidup seperti orang sedang menjalani hukuman di penjara.
Kita pasti punya bayangan bagaimana kehidupan orang yang sedang menjalani hukuman tahanan di dalam penjara; segalanya terbatas dan seluruh gerak geriknya diprotek.
Dalam kaitannya dengan makanan dan minuman misalnya, orang yang sedang dalam tahanan diberi makan sangat terbatas dan pasti sangat sederhana, maka para sahabat berusaha untuk menyederhanakan pola makan layaknya sedang makan di dalam penjara. Tidak berlebihan, tidak mewah, dan tidak memilih-milih makanan—berusaha untuk sesederhana mungkin.
Kebebasan bepergian yang biasa dilakukan oleh para sahabat, di bulan Ramadan mereka berusaha membatasi dirinya seperti orang yang berada dalam tahanan rumah atau tahanan kota. Dia berusaha untuk tidak bebas bepergian, sehingga lebih banyak waktunya untuk berdiam membaca ke dalam dirinya dari pada ngacir ke mana-mana.
Kemudian tidur di dalam penjara pasti tidaklah senyaman orang yang tidur di rumahnya, maka tatkala Ramadan para sahabat membuat dirinya untuk tidak nyenyak tidur di malam hari, sehingga malam-malamnya di sepanjang Ramadan dilalui dengan lebih banyak terjaga untuk qiyamullail.
Kebiasaan bagi penghuni penjara dominan menyesali dan merenungi seluruh perbuatan yang mengantarkannya masuk ke dalam penjara, maka selama bulan Ramadan, para sahabat Nabi saw menghabiskan waktunya untuk mengevaluasi dirinya (muhasabah) dan melakukan amalan-amalan yang membersihkan jiwa dan raganya.
Dari segi kepatuhan, rata-rata para penghuni penjara sangat patuh dengan aturan yang ada di dalam tahanan, maka pada sahabat Nabi saw berusaha untuk menjadi hamba Tuhan yang sangat patuh pada aturan yang digariskan Tuhan, baik dalam aktivitas jual beli atau muamalah, aktivitas sosial kemasyarakatan, apalagi dalam aktivitas ibadah.
Dari segi kebiasaan hidup, para penghuni penjara diikat oleh tata tertib dan jadwal yang sangat ketat, mulai pagi hari hingga menjelang tidur. Para sahabat Nabi saw dalam menjalani rutinitas ibadah di bulan Ramadan berusaha untuk mempola dirinya taat pada jadwal yang sengaja direncanakan sepanjang Ramadan, mereka bikin target-target maksimal dalam seluruh aktivitas kebaikan yang dijalankan.
Itulah gambaran bagaimana para sahabat nabi memaknai ayat puasa sebagai iktibar bagi kita dalam mempuasakan Ramadan. Dan idealnya seperti itulah seharusnya kita mempola ibadah kita di bulan Ramadan, untuk memenangkan kompetisi dengan umat-umat terdahulu yang memiliki kesempatan melakukan ibadah puasa lebih panjang atau lebih sering dibanding kita, dikarenakan usia mereka jauh lebih panjang ketimbang kita.
Kita harus lebih serius menjalani ibadah puasa ini, kita harus berusaha lebih intensif mengambil bagian pada perebutan poin-poin nilai ibadah yang disiapkan Tuhan pada seluruh jenis ibadah, baik sunnah maupun fardhu. Nabi saw menjelaskan bahwa amalan-amalan sunnah di bulan Ramadan diberi imbalan setara dengan ibadah fardhu, bahkan ibadah fardhu dilipatgandakan nilainya melebihi nilai di luar bulan Ramadan.
Maka janganlah kita abai dengan ibadah-ibadah sunnah, seperti shalat tarawih—janganlah sampai ada satu malam pun dari salat tarawih yang terlewatkan, qiyamullail di pertengahan malam kita usahakan sekalipun hanya dua rakaat sebelum makan sahur, salat dhuha kita usahakan untuk dapat kita tunaikan setiap pagi, membaca al-Qur’an hendaknya menjadi amalan rutin di sela-sela kesibukan kita, sedekah sesuai kemampuan kita harus dapat kita lakukan.
Dengan memberi ruang dan perhatian khusus pada ibadah-ibadah sunnah untuk dapat kita kerjakan selama bulan Ramadan, maka kita akan dapat melampaui keunggulan umat sebelum kita dari sisi predikat ketakwaan yang Tuhan janjikan bagi pelaku puasa.
Dosen Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Mataram