Tatkala Orientasi Amaliah Bergeser

AKTIVITAS amaliah yang kita jalankan dalam kehidupan ini idealnya berorientasi ukhrawi, artinya amalan apa yang kita kerjakan, kapan, dan di manapun tujuannya untuk kebahagiaan di akhirat nanti.

Komitmen untuk orientasi akhirat dalam setiap aktivitas amaliah kita harus diperkuat, terutama untuk menjaga agar pendirian kita tetap kokoh dan tidak mudah terombang-ambing oleh pengaruh yang datang dari luar diri, yang dapat menggeser nilai amaliah dari orientasi ukhrawi kepada orientasi dunawi.

Mengapa harus berkomitmen—terutama komitmen diri dengan hati dan pikiran kita sendiri? Karena orientasi dari aktivitas amalan itu terkadang start-nya ukhrawi, namun dalam perjalanan proses atau di ujung proses pelaksanaannya bisa bergeser menjadi orientasi duniawi.

Dan ketahuilah bahwa setiap amalan yang bergeser orientasinya dari ukhrawi ke duniawi, semakna dengan amalan yang sia-sia, karena nilainya tidak tersimpan sampai di kehidupan akhirat.

Banyak kondisi dan gejala yang dapat kita rujuk sebagai iktibar dan pembelajaran di dalam menyangga komitmen diri, agar tetap eling dari awal sampai akhir proses amaliah yang kita jalankan, tidak bergeser nilainya, apalagi tergerus.

Ketika hendak melakukan salat berjamaah ke masjid atau musala misalnya, sambil berjalan menelusuri jalan panjang dari rumah dengan orientasi ukhrawi tentunya, tiba-tiba di tengah perjalanan atau di ujung perjalanan tersirat rasa di hati bahwa perjalanan itu agar dilihat oleh siapa pun sebagai bentuk ketaatan atau bagian dari memakmurkan masjid atau musala, maka seketika itu orientasi amaliah kita bergeser dari ukhrawi ke orientasi duniawi.

Tatkala mengeluarkan sedekah dengan niat yang tulus ingin berbagi, sambil memohon kepada Tuhan agar apa yang dilakukan senantiasa di dalam keberkahan-Nya—sehingga aktivitas amaliah itu berorientasi ukhrawi, namun di tengah prosesi atau di penghujung prosesi sedekah itu tiba-tiba terselubung rasa bangga di lubuk hati bahwa kita dikenal sebagai orang yang gemar bersedekah atau dermawan, maka seketika itu orientasi amaliah kita bergeser dari ukhrawi ke orientasi duniawi.  

Baca Juga  Saatnya Memerdekakan Hati

Sewaktu akan melakukan silaturahmi, sambil melangkah dengan niat yang tulus semata-mata berkunjung untuk menyambung tali silaturahim—sebagai wujud penegasan bahwa apa yang dilakukan berorientasi ukhrawi, akan tetapi saat silaturahim berlangsung, pada saat bertemu, mengobrol, dan bercerita, tiba-tiba pembicaraan berkembang menjadi gibah atau membicarakan aib saudara yang lain, maka seketika itu orientasi amaliah kita bergeser dari ukhrawi ke orientasi duniawi. 

Semasa melakukan aktivitas di ruang sosial atau ruang publik, sambil beraktivitas disertai ketulusan hati melakukan apa saja yang bernilai sosial dan kemanusiaan—pastinya aktivitas tersebut berorientasi ukhrawi, namun dalam proses perjalanan tugas sosial kemanusiaan itu, tiba-tiba bersikap dan berperilaku tidak manusiawi atau menjalankan tugas sosial hanya sebagai pencitraan diri, maka seketika itu orientasi amaliah kita bergeser dari ukhrawi ke orientasi duniawi.

Dengan niat yang tulus bangun di pertengahan malam, tentunya untuk mengadu dan dialog rahasia dengan Tuhan melalui salat malam—pastinya berorientasi ukhrawi, karena tak seorang pun tahu bahwa kita secara khusus bangun karena ingin bermesraan dengan Tuhan, namun di akhir proses tiba-tiba kita mengabarkan kepada khalayak tentang aktivitas rahasia itu, maka seketika itu orientasi amaliah kita bergeser dari ukhrawi ke orientasi duniawi.

Itulah beberapa gejala yang dapat kita jadikan rujukan agar kita berhati-hati menjaga orientasi amaliah yang kita jalankan. Tuhan telah memberikan sindiran terhadap siapa saja yang tidak mampu menjaga orientasi amaliahnya sebagaimana difirmankan di surah al Ra’du ayat 26:   

“wa fariḥụ bil-ḥayātid-dun-yā, wa mal-ḥayātud-dun-yā fil-ākhirati illā matā’.” Terjemahannya: Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).

Sebagai penguat komitmen dan kehati-hatian diri dalam menjaga orientasi amaliah kita, kiranya sangat bijak apabila kita camkan sejumput kisah hikmah tentang seseorang yang tidak pandai menjaga orientasi amaliahnya. 

Ada satu kisah seorang wanita salihah dan dermawan bernama Zubaidah, seorang istri dari Raja Harun Ar Rasyid. Beliau terkenal karena kedermawanannya, salah satu bukti kedermawannya, apabila kita sedang melintasi jalan menuju arafah, kita dapat menyaksikan tembok yang sangat panjang, ternyata tembok tersebut dibangun oleh Zubaidah pada zaman Harun al Rasyid sebagai tembok yang membendung air untuk memberikan air minum kepada para jama’ah haji.

Baca Juga  Rasa yang Terbuang dan Hilang

Begitu dermawannya Zubaidah sehingga ada seorang kerabatnya sampai penasaran dengan balasan apa yang akan Tuhan berikan di sisi-Nya. Akhirnya kerabatnya itu bermimpi bertemu Zubaidah, didalam mimpi sahabatnya bertanya kepada Zubaidah; apa yang Tuhan berikan kepadamu dengan kedermawananmu selama di dunia? Apalagi dengan bendungan yang kamu bikin untuk jama’ah haji?

Zubaidah dalam mimpi sahabatnya menjawab; saya tidak mendapatkan apa-apa dari apa yang saya dermakan selama di dunia, karena saya melakukannya dengan riya’. Saya mendapatkan kenikmatan dan keridhaan Tuhan hanya dari salat malamku yang rutin aku kerjakan. 

Apa yang diurai dari sekelumit kisah di atas, dapat memberikan pemahaman bahwa aktivitas yang kita jalankan jangan sampai orientasinya bergeser dari ukhrawi ke duniawi. Kita harus senantiasa menjaga agar tetap istikamah pada orientasi ukhrawi dari awal hingga ujung proses, karena hanya amalan yang berorientasi ukhrawi yang akan terselamatkan nilainya hingga di pengadilan Tuhan nanti.

Ketidakmampuan kita menjaga orientasi amalan sama maknanya kita telah melakukan transaksi menukar kenikmatan akhirat yang tiada taranya dengan kenikmatan dunia yang hanya sesaat, sebagaimana Tuhan sampaikan melalui firman-Nya di surah al Taubah ayat 38: “a raḍītum bil-ḥayātid-dun-yā minal-ākhirah, fa mā matā’ul-ḥayātid-dun-yā fil-ākhirati illā qalīl”. Terjemahannya: Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *