KATA SIAPA Covid-19 hanya menyisahkan ketakutan, kematian dan beban psikologi yang amat sangat. Kata siapa Covid-19 hanya berdampak kepada manusia semata yang terus tergiring untuk hidup dan dipaksa untuk beradaptasi dalam suasana kebaruan ini. Tak banyak yang tahu, berkah Covid-19 juga merambas kearas-aras yang jauh, termasuk dalam hal kearifan lokal dan kebudayaan.
Salah satu kearifan lokal itu adalah rimpu. Budaya rimpu memang respresentasi budaya Islam dalam hal berpakaian bagi perempuan yang di komodifikasi oleh masyarakat Bima, NTB, dan mendapat legitimasi dari Kesultanan Bima sekitar abad-XVI M. Jika budaya mainstream kita kenal dengan burkak atau cadar dalam masyarakat Arab,
Masyarakat Bima akrab dengan rimpu-nya yang membalut tubuh para perempuannya. Tentu, dengan segala kearifan lokal lain yang mengikutinya. Misalnya dengan kain yang digunakan untuk rimpu yakni terdiri dari dua sarung nggoli yang ditenun oleh masyarakat lokal kemudian dipakai membalut seluruh tubuh perempuan dan hanya menyisahkan bagian mata (Rahman, 2014: 16-17).
Dengan ciri seperti itu, tak mengherankan jika budaya rimpu dalam masyarakat perempuan Bima menjadi salah satu solusi bagi pengendalian penyebaran Covid-19. Kewajiban menggunakan masker sebagai pelindung diri, bisa kita ubah paradigmanya dengan menggunakan rimpu sebagai salah satu alternatif lainnya.
Menjaga Momentum
Karena pada masa kenormalan baru ini, kita dihadapkan pada kenyataan yang benar-benar baru, bahwa hanya kesadaran untuk konsisten dalam memproteksi diri dari kontak fisik dengan orang lain yang mewajibkan kita untuk memakai masker. Dus, fungsi masker itu, bisa juga kita ganti dengan rimpu ini. Jadi momentum masa kenormalan baru ini sebaiknya kita juga gunakan untuk upaya pelestarian kearifan lokal yang hampir ditinggalkan ini.
Baca juga: Bercadar: Agensi, Literasi, dan Narasi Kebangsaan
Adapun beberapa alasan bahwa rimpu ini mampu menggantikan masker yakni: pertama, kain sarung nggoli yang menjadi bahan utama dalam rimpu ukurannya tebal dan masih ditenun dengan mesin tenun tradisional yang disebut muna. Sehingga bahaya virus itu terhirup bisa diminimalisir.
Kedua, kain tenun nggoli bisa menyesuaikan dengan suhu dan cuaca. Apabila cuaca dingin, sarung nggoli bisa menghangatkan, begitu juga sebaliknya. Dengan begini rimpu bisa menjadi fleksibel.
Dengan dua keunggulan di atas, menurut hemat saya, rimpu yang menjadi salah satu kearifan lokal masyarakat Bima yang kini sedang tersisih oleh beragam mode pakaian baru, kini harus mampu berinovasi dan menemukan momentum bangkitnya pada masa kenormalan baru ini dengan sedikit inovasi dan kreasi dalam motif tenun nggoli dan pemanfaatannya.
Rimpu dulu hanya sebagai pakaian sehari-hari oleh para perempuan Bima. Kini juga sebagai pakaian pelindung diri dari Covid-19. Tentu dengan tidak meninggal aspek filosofis dan nilai (values) yang terkadung di dalam motif dan corak tenun nggoli yang merupakan representasi nilai-nilai masyarakat Bima.
Melawan Hegemoni Budaya
Perkembangan mode pakaian (fashion) selalu beriringan dengan perkembangan zaman. Tren hijrah dalam masyarakat modern dewasa ini dengan segala macam aksesoris yang melengkapinya membuat mode-mode pakaian lokal tersisih ke pinggir-pinggir pusat perhatian. Nyatanya rimpu yang menjadi pakaian tradisional tak kalah Islaminya dan mampu menutup aurat perempuan dengan baik.
Tentunya, jika orang-orang yang mengenakan burkak atau cadar tidak perlu menggunakan masker lagi dengan alasan sudah mampu menutup bagian mulut dan hidungnya dengan pelindung yang baik (Republika, 21/5/2020). Mengapa kita tak melirik rimpu sebagai salah satu alternatinya, yang notabene sudah sejak lama telah digunakan untuk menutup mulut dan wajah perempuan dalam masyarakat Bima?.
Baca juga: Jilbab dan Simbolisasi Agama di Ruang Publik
Pada masa kenormalan baru inilah, saya kira, kita harus menarik kembali budaya rimpu ke tengah-tengah pusat perhatian masyarakat, utamanya generasi muda. Hal ini selain meng-counter hegemoni mode pakaian dan beragam inovasi masker pada masa Covid-19 ini, juga sebagai upaya pelestarian budaya lokal dengan prospek yang sangat bagus untuk pengembangan ekonomi kreatif pada masyarakat desa sebagai penenun sarung nggoli yang menjadi bahan utama rimpu tersebut.
Selain itu, dalam masa kenormalan baru ini, masyarakat dituntut untuk mampu mandiri terutama dalam hal perekonomian, hal ini menjadi angin segar bagi para pelaku usaha tenun tradisional di desa-desa. Karena sarung nggoli belum bisa diproduksi massal dengan mesin-mesin tenun yang canggih. Disinilah perlawanan budaya itu perlu dilakukan. Sebagai upaya penyadaran (internalization) bahwa kita juga punya kebudayaan sendiri yang secara estetis dan fungsi hampir sama dengan budaya baru yang kita gunakan sekarang (Wahid dalam Munir, 2017: XXIII).
Upaya melawan hegemoni budaya baru tersebut yang dengan mode-mode baru yang tentu menggiurkan mata adalah sebuah keharusan apabila kita ingin kearifan lokal yang kita miliki masih terus bertahan dan dilestarikan. Kapan waktu untuk memulainya? sekarang, pada masa kenormalan baru ini.
Harapannya, dengan upaya diatas, selain kita berharap bisa terjaga dari Covid-19 ini secara bersamaan kita bisa melestarikan kearifan lokal yang kita miliki ini. Kalau bukan kita yang menjaga, merawat dan melestarikannya. Lalu, siapa lagi?[]
Daftar Bacaan
Munir, Badrul. 2017. Perlawanan Budaya Sudut Pandang Seorang Birokrat. Mataram: Regional Institute 104.
Rahman, Fachrir. 2014. Islam di Bima, Kajian Historis Islamisasi Era Kesultanan. Mataram: Alamtara Institute.
https://m.republika.co.id/berita/qao4se366/dua-wajah-cadar-dan-penggunaan-masker-di-prancis (Diakses pada 12 Oktober 2020 pukul 19:30 WITA).
Ilustrasi: iinzahra12.
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe