Belum sepekan, Hari Pancasila kita peringati. Seperti biasa, media sosial dipenuhi twibbon dan doa-doa untuk kebaikan Pancasila. Selain itu, ada beberapa pihak yang terus mengeksploitasi isu kelahiran Pancasila. 1 Juni, 22 Juni atau 18 Agustus. Siklus selalu berulang dan setiap tahun begitu.
Di samping harapan, tentu saja ada ratapan. Harian Kompas, edisi (31/5/2021) memuat berita yang cukup penting. Di kolom opini ada tulisan Prof Syafi’i Ma’arif dan Prof Franz Magnis Suseno. Secara umum kedua tulisan itu ingin menjamin bahwa Pancasila dalam kondisi bagaimanapun dalam peristiwa apapun masih mampu menjadi ideologi negara dan pemersatu bangsa. Dengan pendekatan sejarah, Prof Syafi’i Ma’arif memberi garansi itu. Prof Magniz, lebih menekankan kedudukan Pancasila dengan tidak ada lagi yang kembali mempertentangkan agama (lebih-lebih Islam) dengan Pancasila.
Baca juga: Pancasila Sebagai Civil Religious: Paradigma Alternatif Menuju Indonesia Harmoni
Namun, pada headline-nya edisi itu, Kompas, seakan ingin “menampar” pemegang otoritas Pancasila hari ini. Di mana, harus diakui bahwa agama Penghayat Kepercayaan masih di anak tirikan oleh negara dan masyarakat. Karena public service belum selamanya dinikmati oleh kelompok agama ini.
Penyakit akut yang dialami pemegang otoritas Pancasila ini harus segera dicarikan vaksin penawar. Jangan sampai Pancasila kembali ditarik ke gelanggang politik untuk kembali melegitimasi kekuasaan dan menggunakan Pancasila untuk memukul kelompok minoritas. Karena sejauh ini, terkesan Pancasila memang hanya dimiliki oleh kelompok masyarakat mayoritas saja cum partai tertentu.
Dalam pergulatan mencari Pancasila, Bung Karno melakukan refleksi yang mendalam tentang apa yang terkandung dalam bumi Indonesia ini. Tentu saja, nilai itu sangat universal. Sehingga dengan sebuah kearifan, nilai-nilai yang dulu tumbuh subur di Nusantara tidak semuanya dianggap “haram” dalam kehidupan bernegara kita.
Pancasila dari sejak awal pembentukannya telah bersinggungan langsung dengan ide-ide asli bangsa ini. Tentang kepercayaan, iman, tuturan, simbol, toleransi, multikultalisme dan nilai-nilai. Akar sejarah Pancasila ini sangat kokoh. Sehingga siapa pun yang hendak mencerabut akarnya dan mengangkangi Pancasila untuk kepentingan pragmatis-politis selalu mendapat “sanksi” dari publik: kecaman, hujatan dan ketidakpercayaan publik akan semakin meningkat.
Lokalitas dan Nasib Masyarakat Adat
Nilai-nilai lokalitas yang selama ini hidup dan tumbuh selalu tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Sebaliknya, pemerintah kian hari semakin bermain-main dengan isu masyarakat adat. Padahal, kita tahu selama ini masyarakat adat telah menjadi garda terdepan penjaga kearifan lokal Indonesia. Karena sebenarnya menjaga kearifan lokal sama dengan menjaga Pancasila.
Pancasila dan kearifan lokal lahir dari rahim yang sama yakni masyarakat terdahulu (adat) yang berkomunikasi, membentuk relasi personal dengan pencipta, manusia dan masyarakat lain. Puncak relasi itu, adanya pembentukan konstruksi kebudayaaan bangsa Indonesia. Dengan kesadaran sejarah ini, mestinya negara aktif dalam mempertahankan dan melindungi hak-hak masyarakat adat dalam kebijakan, pelayanan dan menjamin ruang publik-nya.
Baca juga: Islam, Ideologi dan Tafsir Kesetaraan Pancasila
Dalam sebuah pertemuan, saya berbincang dengan beberapa aktivis masyarakat adat yang memperjuangkan hak-haknya. Saya terenyuh mendengar kawan-kawan sesama aktivis dijebloskan ke penjara. Juga, semakin aktifnya korporasi dalam melebarkan tanah-tanah mereka hingga menjangkau wilayah-wilayah adat.
Dengan niat ekspoitasi dan bisnis, selalu saja hutan dan pohon-pohon masyarakat adat dirusak dan dijarah. Dengan dalih income dan pembukaan sawah baru, oksigen-oksigen yang dihasilkan dari hutan tersebut kian menipis. Bersama menipisnya kesempatan hidup dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat.
Padahal, dengan menjaga dan memenuhi hak-hak masyarakat adat, pemerintah sebenarnya sedang memberi oksigen baru untuk Pancasila. Sebaliknya jika pemerintah dengan sadar melakukan pembiaran semacam itu, pemerintah sedang memperpendek oksigen dan nyawa Pancasila agar semakin mendapat kepercayaan publik.
Pancasila dan Lingkungan Hidup
Menurut data Forest Watch Indonesia selama tahun 2000-2017 Indonesia telah kelihalangan 23 juta hektar ini disebabkan deforestasi hutan untuk lahan kelapa sawit. UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, seakan punya taring yang kuat dalam menghalau deforestasi, belum lagi mimpi buruk omnibus law yang mendapat penolakan. Sekali lagi, Pancasila kita belum mampu menahan laju itu.
Baca juga: Menjadi Relawan, Menjadi Pancasilais
Harus diakui, isu dunia hari ini sedang tertuju pada isu-isu lingkungan dan perubahan iklim. Dengan momentum peringatan yang tidak begitu jauh, sebenarnya kita harus mulai menggeser paradigma Pancasila lebih jauh dari arena pertandingan politik ke arena yang lebih segar dalam isu-isu lingkungan. Untuk menjamin bahwa Pancasila cum pemerintah juga peduli dengan lingkungan hidup kita
Karena tak bisa kita lepaskan, bahwa dengan perusakan hutan yang terjadi di Indonesia, untuk menjamin bahwa-kemanusiaan yang adil dan beradab-itu masih menjadi semangat bernegara, harus kita tagih, pertanyakan dan desakkan implementasinya. Menciptakan kemanusiaan tanpa memperdulikan lingkungan hidup tempat manusia hidup itu sama seperti kita membangun rumah, dan kita sendiri yang merobohkan rumah itu. Seperti cita-cita awalnya, Pancasila sebagai way of life harus tercermin dalam kebijakan negara yang pro lingkungan hidup.
Ilustrasi: GuruPendidikan.com
Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe