Perdebatan Orang Bima tentang Konsepsi Tuhan dan Lainnya

MEMAHAMI al-Qur’an dengan pendekatan bahasa ibu ternyata menarik. Ada tantangan yang harus dilewati, tetapi setelah mampu menerobosnya, hati terasa plong dan cerah. Makna-makna al-Qur’an, yang dekat maupun yang jauh, rasanya dapat dengan mudah disentuh. 

Ada tantangan linguistik, berupa banyaknya musykilat, kerumitan dan kompleksitas kata (mufradat) dan makna al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri punya i’jaz (kemukjizatan) dalam susunan kata maupun maknanya. Luas dan dalam melebihi samudera.

Ada juga tantangan etis. Misalnya ada ketakutan “tidak sopan” jika menggunakan nama Tuhan (Allah) dan kata gantinya (dhomir) seperti yang digunakan untuk manusia. Lalu dicari modus linguistik yang bisa mengatasi antroposmorfisme dalam mendefinisikan Tuhan.

Baca juga: IAIN (di) Bima: Pendefinisian tentang Masyarakat dan Komitmen Keilmuan

Itulah antara lain yang dirasakan oleh tim penerjemah dan tim validator al-Qur’an ke Bahasa Bima. Mereka bertemu dan bekerja sejak tahun lalu (2021) sampai sekarang (8/6/2022) di bawah bimbingan para pakar seperti Prof Ahmad Thib Raya, Dr Kamaludin Yusro, Dr (alm) Syahrir Idris, dan beberapa budayawan.

Banyak kata, kalimat, frase, konsep yang tidak ada padanannya dalam Bahasa Bima. Ini diperberat oleh perbedaan karakter linguistik antara bahasa Arab al-Qur’an, bahasa Indonesia, dan bahasa Bima. Menegosiasikan ketiga karakter bahasa itu jelas menjadi pergumulan tersendiri.

Tim penerjemah dan tim validator harus berkerut dahi lagi tentang gaya bahasa (balaghah, arudh, mantiq) rasa dan psikologi bahasa (zauq), konteks (siyaqul qalam), dan seterusnya. Belum lagi bahasa Bima sendiri sebagai bahasa sasaran terbilang unik. Varian logat atau dialek (lahajat) beragam. Fenomena prefiks, sufiks, kata ganti, pemenggalan kata, sedemikian rumitnya.

Perdebatan tentang Tuhan

Konsep kunci yang paling sering dan sengit didebatkan adalah konsepsi Tuhan. Terutama ketika menerjemahkan kata ‘Allah”. Bisa dimaklumi, karena konsep ini memuat suatu realitas tertinggi (ultimate reality) atau yang Mahasakral (the holy).

Para penerjemah dan validator, sebagai manusia beriman, takut terjebak ke dalam desakralisasi atau deleveling adikodratinya Tuhan. Padahal Ia “laisa kamitslihi syai’un”. Maka sedemikian rupa mereka membungkus cara pandang tentang Tuhan/Allah itu melalui modus kebahasaan.

Baca juga: Jatuh-bangun Etos Intelektual-Ulama dan Gerakan Kultural yang Bisa Dilibati

Baca Juga  Substansi Hijrah

Orang Bima secara umum menyematkan konsep Tuhan dengan kata Ruma (R kapital). Pada saat yang sama, kata itu sering dipakai sebagai pengganti kata Allah. Tetapi modus yang satu ini tetap problematik, karena orang Bima mengenal konsep ruma sangaji (raja), ruma ro rato (kaum bangsawan).

Maka dicoba modus lain. Ada frase “Ruma Tala” padanan dari Tuhan/Allah Yang Maha Tinggi. Kata “Tala” sendiri secara harfiah berarti “bicara”, tetapi sebetulnya bentuk perubahan bunyi dari kata “ta’ala” (tinggi). Jika kata ini dipakai maka akan merancukan dengan konsep ruma bicara, nama jabatan untuk perdana menteri dalam sistem Kerajaan Bima.

Bagaimana jika langsung saja pakai kata Allah, tidak usah di-Bima-kan? Bisa saja. Tapi orang Bima tampaknya penganut teologi Asy’arian-Maturidian: tidak mengucapkan kata “Allah” tanpa embel jabatan dan sifatnya. Jika berdoa mereka tidak berkata, “E, Allah…,” melainkan, “E, Rumaku Ruma Allah Ta’ala” (Wahai Tuhanku Allah).

Maka disepakati “Ruma Allah Ta’ala” sebagai terjemahan kata “Allah”. Dengan frase ini, sebagaimana terungkap dari diskusi intensif 3 kali (dua di Lombok dan sekali Bima) serta diskusi-diskusi WhatsApp Group, orang Bima ingin menegaskan adanya unsur lokalitas dalam struktur pemahaman keagamaan mereka.

Ada argumen yang tersirat dari diskusi-diskusi itu, Tuhan/Allah itu esensi yang universal, tak terhingga, mengatasi ruang dan waktu, melampaui kreativitas umat manusia dalam menerapkan konsep atau simbol untuk menandai-Nya. Maka diyakini, soal nama adalah soal manusia dan kreativitas kebudayaan. Soal profan.

Lalu, mengapa harus disepakati suatu keseragaman ungkapan untuk menyebut Tuhan Allah dalam konteks orang Bima? Bukankah adanya variasi penyebutan tentang Tuhan Yang Maha Esa itu menunjukkan kekayaan ekspresi kebudayaan?

Di sini tampak ada dilema. Tetapi bukan orang Bima kalau tidak bisa memecahkan dilema. Maka muncul argumen lain lagi, bahwa kesepakatan ini menjadi tanda yang terang benderang tentang konsepsi Tuhan bagi orang Bima. Bahwa monoteisme ala Bima hendaknya dipahami dari kesatuan konsepsi tentang Allah Yang Esa itu.

Dekonstruksi ala Bima

Dari balik argumen-argumen tentang konsepsi Tuhan ini, dan konsep-konsep etika keagamaan al-Qur’an lainnya, terdapat isyarat berlangsungnya dialektika kreatif atau pergumulan intens orang Bima dengan kitab suci. Dalam dialektika itu ada pengayaan makna dan penegasan identitas lokal, bahkan ada dekonstruksi.

Aspek dekonstruksi itu, misalnya, tercermin dari penggunaan kata “Jabara’i”. Dapat diduga kata ini musytarak (bentukan) dari kata Jibril, nama Malaikat utama dalam pandangan orang Islam. Orang Bima meminjam dan wodu (membengkokkan) kata “Jibril” menjadi “Jabara’i” untuk menciptakan makna lain, yakni Jibril dengan wajah yang ditakuti.

Kata “Jabara’i” pada akhirnya digunakan sebagai konsep untuk menggambarkan sesuatu yang berwujud “tidak jelas” atau misteri. Misalnya dalam ungkapan, “Dou jabara’ie…” artinya, orang itu misteri, susah ditebak, dan maunya sendiri. Pada gilirannya kata ini mengandung makna yang pejoratif. Mari namai ini sementara sebagai “dekonstruksi negativa”.

Baca juga: Moderasi Beragama dalam Kearifan Dou Mbojo

Baca Juga  Konsep Ekofeminisme dalam Mantra "Inaku Dana, Amaku Langi" (1)

Dekonstruksi sebaliknya, dekonstruksi positiva, terlihat dari cara orang Bima melembutkan sesuatu yang dianggap menakutkan menjadi tidak lagi menakutkan. Misalnya dalam penggunaan frase “Ama Kalimao” bagi sang maut. Dengan label “ama” (bapak) maka kematian yang semula menakutkan oleh modus ini dijinakkan menjadi begitu bersahabat.

Hal-hal seperti di atas dapat dibaca sebagai modus kultural orang Bima menghadirkan makna-makna kitab suci menjadi kaya, yang semula bermakna jauh menjadi dekat. Juga dapat dibaca sebagai modus untuk menyentuh makna al-Qur’an dengan cara lokal. Dan modus ini terlihat begitu kreatif, tanpa menghilangkan aspek sakralitas dan spiritualitasnya.

Spiritualitas sebagaimana tercermin dari kasus-kasus kecil ini, berlaku pada semua masyarakat beragama. Yang berbeda adalah praksis lokalitasnya. Cara semua manusia beragama mendefinisikan Tuhan itu tipikal. Sebagaimana kata Rudolf Otto, orang melihat Tuhan sebagai yang misteri, mengagumkan sekaligus menakutkan (misterium fascinosum tremendem).

 Nah, orang Bima, tampaknya menganut doktrin ini dengan caranya sendiri yang unik: membikin takut hal yang mestinya mengagumkan, dan membuat kagum untuk sesuatu yang mestinya menakutkan.[] 
 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *